Semalaman Arkais dihantui rasa bersalah. Jika diingat-ingat ini kali pertama ia ingkar janji pada Adagio. Semua pesan yang ia kirim melalui brbagai aplikasi daring belum ditanggapi oleh Adagio. Setelah matahari terbit, ia memutuskan menemui langsung Adagio di indekosnya.
Sepanjang jalan menuju tempat Adagio, begitu banyak skenario yang ia buat untuk meyakinkan sahabat satu-satunya itu bahwa ia benar-benar tidak bisa menghadiri undangannya semalam.
Ketika Arkais datang, Adagio sedang rebahan sambil bersantai di ayunan, jari-jarinya lugas memetik gitar. Sudut matanya menangkap kedatangan Arkais, tetapi ia memilih untuk mengacuhkan kedatangan sahabatnya itu. Ia tetap bermain gitar sambil berayun dan menghisap rokok.
Ia bahkan membiarkan Arkais melewatinya saat ke dapur. Ia tertawa kecil ketika mendengar suara air mendidih, lalu terdengar pula suara gesekan sendok dan gelas. Tidak lama setelah itu ia bisa menghirup aroma kopi yang menguar di udara. Ia menunggu Arkais keluar membawa dua cangkir kopi dan mulai berbasa-basi.
Benar saja, tidak lama kemudian Arkais keluar dengan membawa dua cangkir kopi hitam panas. Ia meletakkan satu cangkir di dekat Adagio yang masih sok tidak peduli. Ia masih asik berayun sambil memetik senar gitar.
“Semalam hujan deras Gi, pori-pori tubuhku melebar. Kalau aku paksa menerabas hujan, tubuhku bisa penuh air.” Ujar Arkais memulai basa-basi. Sebuah alasan yang tidak masuk akal. “Bagaimana semalam, aku dengar sukses besar?” tambahnya lagi.
Adagio masih asik berayun sambil bermain gitar, berpura-pura tidak mendengar.
“Oke aku minta maaf.”
Adagio mematikan sisa rokoknya di asbak. Ia masih memetik senar gitar sambil berayun. Suara lirihnya terdengar jelas di sela-sela petikan senar gitarnya.
Sayup tetapi jelas terdengar oleh Arkais, ia mulai bicara, “Aku punya sebuah kisah, ada seorang penyihir hebat yang takut pada keramaian. Ia memiliki seorang sahabat satu-satunya yang berprofesi sebagai pemusik jalanan. Namun, sahabatnya itu adalah pemusik yang buruk. Ia seringkali diusir ketika sedang bermain musik di depan toko atau kedai. Meski begitu, pemusik jalanan itu tetap saja bahagia. Ia menjadikan penolakan orang-orang sebagai motivasinya untuk belajar menjadi lebih baik lagi. Selama bertahun-tahun, pemusik jalanan itu belajar dan terus belajar hingga akhirnya orang-orang bisa menikmati permainan musiknya. Ditambah lagi dengan suaranya yang memang merdu sejak lahir. Tetapi, ada satu hal yang tidak berkembang, ia tetap tidak bisa menulis lagu. Ia hanya menyanyikan lagu milik orang lain yang sedang digandrungi banyak orang kala itu.” ia menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya.
“Suatu hari, sang penyihir mendapati kesedihan muncul di wajah sahabat satu-satunya itu. Namun ia enggan bertanya, ia membiarkan semesta sendiri yang memberitahunya. Hingga waktu itu akhirnya datang. Di suatu malam, si pemusik jalanan mengutarakan keinginannya untuk mengikuti sayembara musik. Namun, sayembara itu mewajibkan pesertanya untuk membawakan sebuah lagu yang baru kali pertama diperdengarkan. Selama berhari-hari ia gelisah, ia tidak mampu membuat syair lagu yang benar-benar membuatnya puas. Sedangkan tenggat waktu sayembara makin dekat.” Adagio berhenti lagi, matanya menerawang langit-langit. Lalu kembali melanjutkan ceritanya.
“Sang penyihir merasa kasihan pada si pemusik jalanan. Semalaman ia mengasingkan diri ke dunia keheningan. Keesokan harinya, ia menemui sahabatnya. Ia memberikan sebuah syair dengan malu-malu. Cukup sekali saja bagi si pemusik jalanan melihat barisan kata-kata dalam syair itu, ia langsung bisa membayangkan betapa menakjubkannya syair itu jika dibuat menjadi sebuah lagu. Si pemusik jalanan senang bukan kepalang, hanya dalam waktu beberapa jam, ia telah dapat menyempurnakan syair itu menjadi sebuah lagu yang sangat indah. Lagu yang menghantarkan si pemusik jalanan menjadi pemusik terkenal di negeri ini. Namun...”