Jatuh selalu terjadi pada tempat dan waktu yang tepat.
Arkais memandangi punggung Aura, gadis pecinta senja itu sedang asik bermain dengan ombak. Hampir setiap sore ia menyempatkan diri untuk ke pantai dan memandangi Matahari yang perlahan tenggelam di langit barat. Jika tidak bisa ke pantai, maka ia akan menatap langit pukul enam sore, ia tidak peduli apakah langit itu berwarna jingga atau kelabu karena hujan badai. Ia hanya memastikan Matahari tetap pulang ke peraduan barat dengan selamat.
Arkais memandangi punggung itu, menatap setiap inci ditiap bagiannya. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada sayap yang akan keluar dari celah tulang belikat milik Aura. Di depan matanya, Matahari mulai turun pelan-pelan, langit mulai sedikit menjingga. Cuaca cerah melengkapi suasana hati Arkais yang sedang diliputi oleh perasaan melankolis romantis.
Dalam hati, ia mendongengkan sebuah penggambaran atas dirinya sendiri. Dongeng itu bercerita tentang kisah seorang lelaki yang tinggal di sebuah belantara gelap nan terasing. Gadis yang sedang asik bermain ombak itu adalah makhluk bumi yang menemukannya. Ia adalah makhluk bumi yang menarik tangannya untuk keluar dari penjara pepohonan rasa takut. Ia adalah makhluk bumi yang membuat Arkais terkesima melihat cakrawala baru di luar belantaranya yang nyaman, aman, dan terasingkan.
Gadis bernama Aura itu adalah makhluk bumi yang mengenalkan warna jingga pada sorenya yang biasa-biasa saja. Di suatu tempat tanpa zona waktu, Arkais mengizinkan dirinya untuk jatuh begitu dalam ke suatu prasangka yang paling ia takuti. Ia mengizinkan dirinya untuk mengakui bahwa ia sedang jatuh dalam pesona seorang makhluk bumi yang ternyata tidak bersayap.
Gadis itu melambaikan tangan, meminta Arkais untuk bergabung dalam keseruan dunianya. Arkais berlari kecil ke sisi Aura.
“Mohon izin bergabung Tuan Putri Senja,” ujar Arkais dengan tubuh membungkuk.
“Apa yang kamu tawarkan wahai Tuan Remah Roti?” Aura melipatkan kedua tangannya di depan dada. Bertingkah seolah-olah ia adalah seorang putri kerajaan.
Arkais memasang wajah kesal. Ia tidak menyangka akan disebut sebagai remah roti oleh Aura. Padahal sebelumnya ia selalu mendapatkan julukan yang cukup keren dari orang-orang, seperti Pria Gunung Es, Si Penyepi, atau Mister Misterius.
“Sebagai remah roti, izinkanlah saya melekat dekat dengan bibir Tuan Putri Senja. Sehingga pangeran pujaan tuan putri akan mendapat kesempatan untuk membersihkannya. Itu akan menciptakan rona merah pada wajah tuan putri. Saya suka melihat wajah tuan putri merah merona.” Arkais memasang senyum termanisnya.
“Jadi, kamu rela wajahku disentuh oleh orang lain wahai Tuan Remah Roti?”
Arkais menghela napas, “jika demikian, izinkan saya menjadi remah roti yang tertinggal di saku jaket tuan putri.”
“Kenapa?” tanya Aura penasaran.