Aura tersenyum menyambut kedatangan Arkais.
Dengan santai Arkais menarik salah satu kursi, lalu duduk sambil berbasa-basi. Ia cukup terkejut dan menjadi canggung ketika menyadari ada seorang gadis lain yang duduk di meja mereka. Gadis itu tersenyum, matanya bulat berwarna coklat terang dengan bulu mata lentik. Rambutnya terurai panjang, Arkais menebak gadis itu merupakan idola di kalangan para lelaki di sekitarnya.
“Ark, kenalin ini Serindang Bulan.” Aura merangkul gadis yang malu-malu itu.
“Aku Arkais Rekata, panggil saja Ark.” Tangan Arkais membelah meja, tangan lain menyambutnya.
“Serindang Bulan, panggil aku Rin,” balasnya sambil mengangguk.
Setelah saling berkenalkan dan memperkenalkan mereka membicarakan hal-hal umum seputar perkuliahan. Tidak seperti biasanya, Aura berbicara lebih banyak. Dengan lugas dan lucu ia menceritakan kisah awal persahabatannya dengan Serindang Bulan.
Ia bilang, semua berawal dari sebuah kejadian pada suatu sore sepulang sekolah. Kala itu, Rin pulang berjalan menyusuri trotoar sendirian. Baju putih-merahnya kotor, ia tidak sengaja terpeleset ketika melintasi lapangan sekolah. Ia kesal sendiri, apalagi Kang Apex yang biasa menjemputnya datang terlambat kala itu.
Di tengah bibir manyun dan omelan lirihnya, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Matanya menangkap sesosok makhluk yang membuat bulu kuduknya berdiri. Kakinya gemetaran, beberapa meter di depannya, seekor anjing berdiri menghadang jalan. Anjing itu menatapnya penuh ancaman, lidahnya yang menjulur di antara gigi taring meneteskan air liur tanpa henti. Rin bergidik, kakinya gemetaran. Tidak terasa air mata membanjiri wajah hingga membuat bajunya basah. Ia mundur pelan-pelan hendak lari. Namun, anjing itu menyalak dan langsung mengejarnya.
Rin berlari pontang-panting, jatuh beberapa kali, berdiri dan kembali berlari sambil berteriak. Ia terus berteriak sambil berlari bahkan beberapakali memejamkan mata. Saat ia membuka mata, sekelebat bayangan keluar dari balik pagar sebuah rumah, Rin menoleh ke belakang. Telah berdiri seorang gadis sebayanya dengan gagah berani. Ia menghadapi anjing yang kini makin keras menyalak dan menggeram.
Gadis itu masih berdiri diam, seolah-olah ia tidak memiliki rasa takut. Dengan gerakan mengejutkan, ia melompat ke arah si anjing dengan berteriak keras. Anjing itu terkejut dengan keberanian lawannya, ia melompat ke belakang, lalu lari menjauh sambil mengikik. Setelah ada jarak cukup jauh, anjing itu berhenti, ia kembali menyalak. Gadis itu kembali berteriak sambil mengejar dan melemparkan batu atau barang-barang di sekitarnya. Anjing itu kembali berlari hingga hilang dari pandangan.
Gadis itu menghampiri anak perempuan yang masih duduk terengah-engah. Tubuhnya masih gemetaran, suara sesegukan masih mengiringi air matanya yang terus mengalir deras. Beberapakali tangannya mencoba menghapus sisa-sisa air mata itu. Gadis penolong mengulurkan tangan, membantunya berdiri. Lalu menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.
Seorang wanita yang Rin duga sebagai ibu dari gadis penolong itu keluar rumah sambil sedikit berteriak.