PUTRI SENJA DAN REMAH ROTI

Maz Li
Chapter #10

Rentjana

Meja di sudut ruangan, sebuah jendela besar yang menghadap ke parkiran perpustakaan. Sepi yang menenangkan. Telah lama Arkais tidak berkunjung ke tempat favoritnya ini. Sejak ia bertemu Aura, ia kini memiliki lebih banyak tempat favorit, terutama tempat-tempat yang menyajikan panorama senja terbaik di kota Bengkulu.

Ia menarik kursi yang diselimuti debu tipis. Selama ia tidak berkunjung sepertinya tidak ada yang pernah menduduki kursi itu. Dadanya mengembang menghirup aroma ruangan yang masih tetap sama seperti dulu, keheningan juga membuatnya cepat kembali akrab dengan rasa nyaman.

Ia mengeluarkan komputer jinjing dari tasnya beserta dengan headphone dan sebuah buku catatan berwarna hitam yang belum juga penuh selama setahun terakhir. Ia menengadah, menatap langit-langit perpustakaan yang biasa-biasa saja. Di sana ia melihat banyak sekali ide-ide berterbangan menembus plafon dan awan-awan yang menaunginya. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu mencoba mengumpulkan ruh para leluhur dari segala penjuru. Ia ingin minta restu kembali ke dalam dunia imajinasi.

Beberapa saat berlalu, bola matanya bergerak cepat. Tiba-tiba wajahnya jatuh tertunduk, ia menghela napas panjang. Ia mengutuki diri sendiri. Bayangan wajah Aura yang baru saja melintas di kepalanya membuat segala ritual sebelum menulis menjadi buyar seketika. Ia mengurut glabellanya sambil melirik ke arah gawai yang tergeletak di atas meja. Lampu pemberitahuan pesan masuk belum berkedip. 

Arkais tertawa kecil, ia mengakui kebiasaan barunya itu sebagai kebodohan. Apa yang sebenarnya ia harapkan dari Aura. Ia kembali membuat sebuah labirin pemikiran yang rumit di kepalanya, mencoba untuk membatasi pikirannya sendiri. Ia berusaha untuk menolak merasa diperlakukan secara istimewa, ia berusaha untuk menolak merasa dianggap lebih, dan ia dengan tegas menolak untuk berharap lebih.

Arkais menatap meja di seberang, tempat dulu Aura sering duduk dan asik sendiri. Ia kembali menghela napas, lalu menarik pandangannya dari meja kosong itu. Ia mengusap wajah, mencoba kembali fokus pada tujuan awalnya datang ke perpustakaan. Ia mengenakan headphone, memutar musik secara acak, lalu merapatkan kursinya ke arah meja.

Komputer jinjing di hadapannya telah menyala, garis hitam yang berdiri berkedip-kedip itu telah siap meninggalkan jejak kata-kata pada lembar kerja yang kini masih putih bersih. Cukup lama Arkais menatap garis yang berdiri berkedip itu. Ia termangu, lalu lintas di kepalanya macet total. Ide-ide yang tadi berterbangan menguap entah menjadi apa. Lagu-lagu yang biasanya mampu mengiringi arus pikirannya kini terdengar seperti kaleng rombeng, berisik.

“Tidak biasanya Tuan Remah Roti terlihat murung,” Arkais terlonjak kaget dengan kemunculan Aura yang tiba-tiba.

“Eh, Ra. Kamu ngapain di sini?”

“Loh, emangnya gak boleh aku ada datang ke sini?”

“Ya boleh sih, ini kan tempat umum.”

“Kamu terganggu ya Ark?”

“Enggak ko Ra,”

“Kalau terganggu ya gak apa-apa juga sih. Aku emang niat gangguin kamu.” Ujar Aura sambil tertawa.

“Heh?” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Arkais dengan ekspresi wajah bego.

Sudah lebih dari enam bulan mereka kenal, makin terbuka sisi-sisi tersembunyi yang mereka perlihatkan. Kata orang, semakin seseorang nyaman dengan keberadaan orang di dekatnya. Ia akan menunjukkan lebih banyak sisi tersembunyi dalam dirinya. Arkais mulai berpikir, apakah ini pertanda Aura nyaman dengan keberadaannya?

Lihat selengkapnya