PUTRI SENJA DAN REMAH ROTI

Maz Li
Chapter #12

Curug Sembilan

Air kolam bergelombang, membuat bayangan langit bergoyang di permukaan. Semburat jingga telah menyala di balik bukit. Serangga malam telah lelah bernyanyi, bersiap pulang ke rongga-rongga tubuh pohon. Malam berakhir, daun-daun mulai beruraikan air mata embun.

Terang di mata Aura dan Rin terbit lebih pagi dari Matahari. Mereka memeluk tubuh sendiri karena dingin menyusutkan pori-pori di sekujur tubuh. Suasana rumah Arkais membisikkan suara ketenangan, hutan yang masih tumbuh di halaman belakang mengirimkan aroma pagi yang menyengarkan.

“Kalian sudah bangun?” Mereka menoleh, Adagio bersungut menepati sisi kosong di sebelah Rin.

Wajah Rin memerah, ia memalingkan wajahnya. Sempurna sudah pagi ini, dua matahari telah bersinar terang. Mereka memandangi matahari yang mulai beranjak dari punggung bukit. Perlahan, sinar jingga mulai memenuhi seluruh langit. Menggulung temaram menuju biru dengan gumpalan-gumpalan awan tipis yang menebal.

“Hoi! Ayo sarapan dulu sebelum berangkat,” ternyata sejak tadi Arkais telah berdiri di belakang mereka.

Setelah sarapan pagi, mereka berkemas. Mempersiapkan hal-hal yang dianggap perlu dibawa untuk pergi ke air terjun Curug Sembilan yang berlokasi di Desa Tanah Hitam, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara. Mereka harus bersiap sejak pagi karena lokasi air terjun berada cukup jauh dari rumah Arkais. Belum lagi nanti ketika sampai di pintu masuk menuju air terjun mereka harus berjalan kaki kurang lebih 2-3 jam.

Tepat pukul 07.30 pagi, mereka berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Ketika melintasi area persawahan kemumu, Aura dan Rin kembali terpesona melihat burung-burung pipit terbang, membentuk formasi di atas hamparan padi yang telah menguning. Deru air di dua sisi sungai yang mengapit jalan membuat mereka semakin bergairah memulai perjalanan.

Sejam kemudian mereka sampai di kaki bukit menuju air terjun. Setelah berbasa-basi dengan warga sekitar yang menunggui areal parkir. Arkais mengajak mereka membentuk sebuah lingkaran, lalu meminta Adagio untuk memimpin doa.

Selesai berdoa, mereka menatap jalan setapak di depan mereka. Arkais menghela napas panjang kemudian mengambil langkah lebih dulu, diikuti oleh Rin dan Aura, Adagio berada di posisi paling belakang.

Langkah demi langkah mereka jejakkan, beberapa kali mereka berpapasan dan menyapa petani atau pencari rotan saat melewati perkebunan. Obrolan ringan mengiringi perjalanan mereka. Matahari makin meninggi, keringat mulai membanjiri seluruh tubuh. Rin beberapa kali menyeka keringat di wajahnya, deru napas Aura terdengar memburu. Arkais memberi instruksi agar mereka istirahat sejenak.

“Gimana, masih kuat?” tanya Arkais sambil tertawa.

Rin dan Aura masih mengatur napas, beberapa kali meneguk air minum dengan ganas. Di atas potongan kayu besar, Adagio duduk santai sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Selain bermusik, ia juga rajin berolahraga, sehingga perjalanan ini belum cukup untuk membuatnya mengeluh.

“Masih jauh ya Ark?” ujar Aura sambil menyeka wajahnya.

“Lumayan, ini kayaknya baru setengah perjalanan. Masih kuat kan?”

Lihat selengkapnya