Udara segar dari napas pepohonan dan suara rimba menyambut mereka di muka pintu masuk Wisata Alam Palak Siring. Mereka mulai menuruni tangga di sisi jurang. Mitosnya jika ada dua orang yang menghitung jumlah anak tangganya secara bersama-sama maka hitungan mereka tidak akan pernah sama. Warga sekitar biasa menyebutnya dengan tangga seribu. Padahal sebenarnya, jumlah anak tangga yang terletak di sisi jurang itu tidak sampai seribu undakan.
Mereka berjalan bersisian, saling sunyi. Satu persatu anak tangga mereka tapaki, terus menurun, beberapa kali Aura berhenti. Ia terkesima oleh burung-burung dengan bulu warna-warni terbang di ranting-ranting pohon. Ia riang melihat induk tupai yang berpindah dari satu dahan ke dahan lain, bahkan ia terlihat begitu ayu saat menatap puncak-puncak pepohonan yang bergoyang disapu angin.
Sebuah penunjuk arah yang terbuat dari kardus memberi informasi mengenai keberadaan bunga rafflesia. Mereka merapatkan tubuh ke pembatas tangga, melihat sebuah jalan setapak di seberang pagar tangga. Arkais memberi kode agar mereka turun ke sana. Aura awalnya ragu, tetapi Arkais menyebrang lebih dulu. Aura dengan cepat ikut melompati pagar tangga. Pelan-pelan, Arkais membantu Aura turun menyusuri jurang.
Di bawah sebuah pohon yang cukup besar, ada bunga rafflesia yang sedang mekar sempurna. Bunga itu cukup besar dengan diameter kurang lebih mencapai 70-90 cm. Di sekitarnya, ada beberapa bongol bunga rafflesia yang belum mekar, mereka terlihat seperti sayur kol berwarna merah tua.
Aura menatap bunga itu lamat-lamat. Ini pertama kalinya ia melihat bunga rafflesia, terlihat ketakjuban terpancar di wajahnya.
“Akhirnya aku bisa melihat bunga yang menjadi ikon Provinsi Bengkulu,” lirihnya sambil mengabadikan momen itu melalui kamera gawainya.
Ia memberi kode pada Arkais untuk mendekat, dengan ragu Arkais mendekat. Kemudian, Aura mengangkat gawainya cukup tinggi, ia melakukan swafoto bersama Arkais. Aura tersenyum sangat manis, sedangkan Arkais tersenyum cukup aneh. Tentu saja, ia sedang mencoba menahan jantungnya yang hampir meledak. Sedekat itu, berdua saja dengan Aura. Ia merasa menjadi seorang kesatria yang menjadi pelindung satu-satunya bagi seorang seorang putri dari Kerajaan Matahari Tenggelam.
“Lanjut kita?” ajak Arkais setelah mereka cukup lama mengangumi keindahan bunga rafflesia.
Mereka mendaki bukit jurang yang licin, lalu melompati kembali pagar tangga. Setelah sejenak mengambil napas, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sayup-sayup, suara deru air terjun mulai terdengar halus di telinga. Suara jangkrik dan hewan-hewan kecil lainnya melengkapi orkestra alam asri bumi desa Kemumu. Tanpa terasa, mereka telah sampai di jembatan. Aura berhenti di tengah jembatan, menikmati air terjun dari atas. Sedangkan Arkais yang lumayan takut dengan ketinggian memilih menepi dan menunggu Aura di seberang.
Ia menatap Aura yang tersenyum kecil, Aura dengan latar belakang anak tangga, jembatan, sungai, deru air terjun dan suara binatang kecil. Sungguh perpaduan semesta yang sempurna di mata Arkais.
Setelah puas memandangi air terjun dari atas, Aura berjalan bak seorang putri yang melakukan catwalk di tengah aula istana. Mereka kembali berjalan bersisian menuju air terjun. Saat kembali menuruni anak tangga ke arah air terjun, Arkais menuntun Aura, mereka berjalan sangat hati-hati. Sebab, anak tangganya berlumut dan licin.
Aura duduk sejenak ketika mereka sampai di sisi sungai. Seperti pemandu wisata profesional, Arkais mengajak Aura naik ke sebuah batu besar di tengah sungai. Dengan hati-hati mereka melompati bebatuan, berpindah dari satu batu ke batu lain. Arkais dengan tangkas naik ke atas batu besar lalu mengulurkan tangan, membantu Aura naik.
Mereka duduk bersebelahan, menatap air terjun setinggi pohon kelapa yang menciptakan deru air yang agung. Mereka duduk tanpa berkata-kata. Mata Aura menyapu pandang ke sekelilingnya, menikmati panorama tumbuhan rambat yang menutupi dinding jurang di setiap sisi air terjun. Serta keindahan bunga-bunga yang tidak ia ketahui namanya.
Tanpa sadar, mereka telah melewatkan satu jam hanya menatap sekeliling air terjun tanpa saling berkata apapun. Entah mereka terlalu asik menikmati pemandangan atau mereka terlalu pengecut dan takut untuk memulai percakapan.
“Kamu mau lihat irigasi peninggalan Belanda itu Ra?” Arkais berdiri sambil menyibak rambutnya dengan jemari.
“Ayok.” Jawab Aura singkat.
Mereka kembali mendaki anak tangga yang licin, sesampainya di atas, mereka berbelok ke kiri menyusuri sungai irigasi. Aura sedikit merapatkan tubuhnya ke Arkais, ia sedikit takut masuk ke hutan rimba yang sunyi. Wisata Alam Palak Siring memang terkadang sangat sepi pengunjung, hanya ramai di hari-hari tertentu seperti hari lebaran atau liburan anak sekolah.
Beberapa ekor kera berteriak dari atas pohon, menyambut kedatangan Aura dan Arkais. Mereka melompat dari satu dahan ke dahan lain, berpindah pohon lalu menghilang. Hanya beberapa ekor saja yang masih berani menunjukkan diri.
“Ark, masih jauh gak? Kok sepi banget ya?” Wajah Aura tampak sedikit cemas.
“Enggak kok Ra, itu di depan.” Arkais menunjuk sebuah bangunan pintu air yang cukup tinggi.
Sesampainya di pintu air, mereka hanya berdiri menatap air yang mengalir deras.
“Keluar yok Ark,” ajak Aura. Padahal mereka belum lama tiba di sana.
Arkais mengangguk cepat, ia meraih tangan Aura tanpa sadar saat menuruni tangga. Sesampainya di bawah ia secara spontan melepaskan pegangan tangannya sambil meminta maaf. Aura hanya tertawa kecil.
Mereka kembali menyusuri tepian irigasi, dedaunan yang tumbuh dari ribuan ranting pohon berusia puluhan tahun meneduhkan panas tengah hari. Mereka berjalan sangat pelan, sesekali menendang daun-daun kering yang terserak.