Rindu itu tidak terbendung, ego akan kikis habis dengan sendirinya.
Aroma kopi menguar memenuhi seluruh pori ruangan, Arkais menikmati harum ekspresso itu sambil membuka segel plastik pembungkus novel terjemahan keluaran terbaru karya penulis asal Brasil.
Saat tiba di halaman terakhir bab pertama, gadis yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul mendorong pintu kaca kafe. Di wajahnya yang kini tampak lebih dewasa, rekah senyum yang terbit itu terlihat lebih manis. Arkais meneguk ludah, Aura telah menjelma menjadi perempuan yang berbeda, ia terlihat makin memesona.
“Udah lama Ark?” tanya Aura dua langkah sebelum sampai ke meja.
Arkais menggeleng, “Belum, kopi pesananku juga belum sampai.”
Arkais menoleh sambil mengangkat tangan, memberi kode kepada pelayan kafe agar membawakan daftar menu untuk memesan menu baru.
“Kamu tadi pesen makanan apa Ark? Atau bawa resep sendiri lagi?”
Aura membolak-balikkan daftar menu sambil pura-pura berpikir akan memesan apa. Padahal sejak awal ia sudah tahu dimana letak menu yang akan ia pesan. Bahkan ia mungkin sudah hafal kode menu pesanan yang akan ia tulis.
“Aku pesan paket ‘sampai muntah-muntah’ bakar, minumnya jus rujak .” Ujar Arkais.
“Kamu ini makan banyak tapi gak gendut-gendut, body goals cewek-cewek zaman sekarang. Sayangnya, kamu cowok,” Aura terpingkal. Apalagi setelah melihat ekspresi datar lawan bicaranya yang notabene sudah menjalani berbagai cara untuk bisa jadi gemuk.
Aura sepertinya telah menemukan menu yang akan ia pesan, tangannya terampil menuliskan kode menu dengan deskripsi bahan dan cara pembuatan lebih panjang dari teks undang-undang dasar negara. Bayangkan saja, untuk merangkum kurang lebih 33 daftar menu makanan dan minuman. Buku menu kafe ini lebih tebal dari majalah flora dan fauna yang ada di perpustakaan sekolah.
“Jadi, sudah berapa banyak cerita yang kamu tulis untuk proyek buku barumu Ra?”
“Belum terlalu banyak, kamu udah mulai nulis lagi? Aku udah gak sabar pengen denger puisimu dinyanyikan Andagio lagi Ark.”
“Belum, setiap mau nulis semua imajinasiku lari tunggang-langgang. Aku gak pintar menyusun kalimat indah seperti kamu Ra,” Arkais menutup novel yang menganga menganggur di hadapannya.