Arkais meminta tas Aura, lalu ia menyimpannya di dalam bagasi motor agar aman dari hujan.
Entah apa yang ada di pikiran Arkais, tiba-tiba ia menarik Aura ke tengah kerumunan hujan lebat. Aura terkejut bukan kepalang, ia berlari menenduh kembali sambil uring-uringan. Awalnya Aura enggan ikut bermain hujan bersama Arkais. Bebarapa kali Arkais kembali menariknya, ia juga terus kembali ke bawah teras pertokoan, tetapi Arkais terus memaksa. Akhirnya Aura menyerah, dengan wajah kesal ia berdiri di tengah hujan menatap Arkais.
“Oh ayolah Ra, kalau kamu menunjukkan wajah murung seperti itu, hujan akan menghukum kamu dengan penyakit demam. Tertawalah, biarkan hujan membersihkan segala resah kita Ra.” Arkais merentangkan tangan, seakan ingin membiarkan setiap hujan yang jatuh memeluknya.
Aura mengusap wajahnya sambil tertawa kecil.
“Kamu sesuai banget sama nama kamu ya Ark, Kuno! Selalu saja membawa suasana seperti adegan film romantis tahun sembilan puluhan. Kamu dengar aku Ark? Kamu kuno!” Teriak Aura sambil tertawa.
“Biarin, bodo amat!” balas Arkais dengan berteriak juga.
Aura menatap wajah Arkais, lelaki itu tersenyum sambil merentangkan tangan, menerima segala terpaan hujan. Dada Aura mengembang, perasaan hangat itu kembali memenuhi sekujur tubuhnya. Ia sendiri sudah lupa kapan terakhir kali hujan-hujanan. Mungkin Arkais benar, jika seseorang berbahagia di bawah hujan, maka hujan akan menanggalkan segala keresahan jiwanya.
Ia menengadah ke langit sambil memejamkan mata. Lalu merentangkan kedua tangannya, persis seperti apa yang sedang Arkais lakukan. Ia membiarkan setiap bulir hujan membasuh wajahnya, membersihkan semua kosmetik yang menutupi wajah aslinya. Ia ingin hujan menjadikannya jujur lagi.
Arkais membuka mata, ia memandang Aura yang sedang terisap dalam hujan. Selama ini ia pernah tidak percaya pada omong kosong Tuan Editor yang mengatakan, “hujan dan seorang gadis adalah harmoni terindah Ark, berhati-hatilah atau kau bisa jatuh cinta. Sebab, hujan dan gadis adalah intrepretasi dari larik-larik puisi alam semesta.”
Di dalam detik yang berjalan beriringan dengan jatuhnya rintik-rintik hujan, Arkais mengakui omong kosong Tuan Editor itu. Hujan jatuh perlahan, senyum Aura merekah pelan-pelan. Arkais memandang beku dengan perasaan tidak karuan.
“Jangan menatapku seperti itu atau kamu akan jatuh cinta Ark.”
Arkais terkejut, bagaimana bisa Aura mengetahuinya. Padahal Aura masih memejamkan matanya. Ia membuang muka, memandang ke arah pertokoan seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
“Gila! Apa gadis ini punya mata ketiga?” gumam Arkais di dalam hati.
Bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa dirinya sedang memerhatikannya. Bagaimana mungkin ia tahu bahwa Arkais sedang jatuh sejatuh-jatuhnya bersama hujan ke dalam cinta, kepada Aura.
Arkais kembali merentangkan tangan sambil memejamkan matanya. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang berteduh, beserta mereka yang lalu lalang memandangnya dengan beragam prasangka.