Makan malam.
Meja makan begitu senyap, tiga orang sibuk menatap piring masing-masing. Tidak ada kata-kata, tidak ada suara. Mereka menyelesaikan makan malam tanpa basa-basi yang setiap hari terasa semakin basi.
Ayah Aura mencoba membuka pembicaraan, Aura menghela napas pelan. Ia bersiap menyaksikan perang dunia yang entah ke berapa. Sudah menjadi kebiasaan lama yang terulang kembali. Jika ada satu orang yang memancing pembicaraan, maka akan selalu berakhir dengan saling sindir. Bahkan bisa berubah menjadi keributan besar, teriakan-teriakan saling membentak yang lebih sering berakhir dengan jeritan dan tangisan disertai pecahnya gelas atau piring.
Di tengah keributan itu, Aura menghirup aroma kopi yang mengambang di udara, ia mengadu pada dirinya sendiri. Sebagai makhluk yang terlahir dengan takdir yang telah dibuat bahkan sejak ia masih berbentuk segumpal darah. Ia kerap kehilangan arah, ia terlanjur berjanji akan menjadi apa yang orang tuanya tidak mampu capai. Ia adalah perwujudan rasa keras kepala yang seringkali dibayar dengan penyesalan. Ia bosan, ia ingin menghilang.
Pertengkaran itu berhenti ketika Aura berdiri sambil menggebrak meja. Ia berjalan di antara pecahan kaca yang masih berserakan tanpa ekspresi, mereka semua membubarkan diri dari ruang makan tanpa saling bicara satu sama lain.
Aura berjalan menuju pintu rumah. Ia ingin sekali melangkah meninggalkan semuanya, tetapi percuma. Semua beban itu terus mengikutinya kemana pun ia pergi. Malam ini ia ingin menginap di rumah Rindang, hanya Rin satu-satunya tempat ia dapat mencurahkan segala resah gelisahnya.
****
Ditemani lagu instrumental klasik, Arkais sedang tenggelam dalam perjalanan seorang tokoh di novel fantasi keluaran penulis hebat negeri ini. Namun, konsentrasi membacanya teralihkan oleh nada panggilan yang berbunyi nyaring. Dengan kesal ia menyambar gawainya, nama Serindang Bulan terpampang jelas dengan latar belakang foto mereka berempat di Curug Sembilan. Arkais mengusap simbol terima panggilan di layar.
“Halo Rin, ada apa?”
“Ark, kamu sedang sibuk gak?” Terdengar suara lirih Rin.
“Enggak, aku lagi gak ada kegiatan. Ada apa Rin?”
“Aku mau cerita Ark, bisa ketemu gak?” pinta gadis itu dengan suara bergetar.
“Sekarang Rin?” Arkais mengernyitkan dahi, perasaanya mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan sahabat baiknya ini.
“Iya Ark, aku tunggu di kafe biasa ya. Terima kasih Ark.” Panggilan berakhir.
Arkais menutup buku, lalu bergegas pergi sambil mengenakan jaket hitam yang menggantung di belakang pintu. Sebelum keluar, ia menatap penampilannya di cermin. Ia merapikan rambut yang acak-acakan dengan jari. Tatapannya terfokus pada jerawat matang yang sudah siap meledak di keningnya. Ia bergegas keluar sambil mengambil jam tangan dan dompet yang tergeletak di atas meja.
Malam berwajah mendung, angin membawa dingin. Arkais masih bisa merasakan pekatnya dingin meski telah menggunakan jaket. Ia menarik gas motornya, menembus jalanan sunyi. Sepertinya semua orang enggan keluar, cuaca sendiri sedang ragu-ragu ingin cerah atau hujan atau mendung saja.
Mata lampu jalan menatap setiap hal yang lalu-lalang. Menggantikan cahaya bulan yang sedang bersembunyi di balik awan kelabu. Pohon-pohon telah tertidur pulas, daun-daun telah menutup diri. Markah jalan dan garis-garis berwarna masih bercerita tentang kecelakaan yang menewaskan seorang janda muda dan kakek beristri tiga tadi pagi.