Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar memahami keadaan Aura selain Serindang Bulan. Rin pernah membicarakan permasalahan Aura dengan kedua orang tuanya. Meski sangat akrab, bahkan keluarga Rin telah menganggap Aura sebagai anak. Mereka tidak pernah memaksa Aura bercerita, sebab setiap kali menyinggung masalah keluarga, Aura selalu memasang wajah muram.
Pagi ini cerah, berbanding terbalik dengan perasaan Aura yang sedang sendu. Hari ini Arkais akan berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti serangkaian seleksi SM-3T. Bermalam-malam sebelumnya, ia berdoa agar Tuhan membalikkan hati Arkais, ia berharap Arkais membatalkan keputusannya untuk pergi.
Namun, setelah dipikirkan lagi, ia merasa menjadi begitu jahat menahan seorang petualang pergi. Apalagi Arkais pernah berkata bahwa seorang lelaki dinilai dari pengalaman hidupnya. Bagi Arkais, lelaki yang hanya berada di dalam rumah bukanlah jenis lelaki sejati.
Aura berdiri di dekat bingkai mata jendela. Menatap pagi yang masih terlalu dini. Belum ada cahaya matahari sama sekali. Aura menatap langit yang masih gelap, ia berkali-kali menghapus air matanya dengan jari-jari lentiknya.
Tiba-tiba rasa takut mencengkramnya begitu dahsyat, napasnya sesak. Isaknya terdengar memilukan hati, ia memeluk lututnya sambil menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.
Ia takut jika saja ia tidak bisa bertemu Arkais lagi. Ia takut kehilangan Arkais, ia takut jika nanti Arkais pulang, ia sudah tidak ada lagi. Ia takut Arkais akan ditempatkan di lokasi yang jauh dari peradaban modern. Ia takut, ketika ia menunggu kabar dari tempat yang tidak bersinyal selama berbulan-bulan. Ia akan menerima kabar terburuk dari sana.
Hal yang paling tidak bisa ia tahan adalah rasa kehilangan malaikat pelindungnya. Selama ini, Arkais selalu bisa meredakan pikiran-pikirannya yang sedang berkecamuk, Arkais selalu bisa meredakan amarahnya yang meledak-ledak. Arkais juga selalu menjadi tempat ternyaman bagi segala hujan masalah yang menerpanya setiap hari. Kini, lelaki itu akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Ia tidak tahu bagaimana jadinya hari-hari yang akan ia lalui setelah kepergian Arkais.
Gawainya berdering berkali-kali, Arkais menelpon untuk memastikan kehadiranya di bandara. Namun, Aura tidak menjawab panggilan telepon itu. Ia masih duduk di bawah mata jendela sambil memeluk lututnya. Membiarkan air mata membersihkan pikirannya.
Adzan subuh berkumandang. Ia berdiri untuk melaksanakan kewajibannya, sekaligus mengadu kepada Penguasa Segala Semesta.
Sinar mentari telah masuk lewat kaca jendela, Aura sudah duduk di depan meja riasnya. Matanya menatap berbagai macam jenis alat rias berwarna-warni. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia bergegas merias wajahnya agar terlihat lebih cantik. Walaupun ia tidak yakin riasannya akan bertahan lama saat melihat wajah Arkais.
Setengah jam berlalu, ia telah siap. Ia mengemas barang-barang penting. Tidak lupa kado untuk Arkais. Ia duduk di atas tempat tidurnya, menatap kado itu lekat-lekat.
Ia terlonjak kaget mendengar teriakan histeris bunda, disusul oleh bentak ayah yang membahana. Kedua orang tuanya memulai pertengkarkan hebat lagi pagi ini. Entah apalagi masalahnya, Aura yang berada dalam kamar hanya menatap langit-langit kamar sambil berusaha tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di luar kamar. Teriakan dan jeritan itu semakin terdengar melengking.