Pelabuhan udara Fatmawati Bengkulu pukul 06.30 WIB. Tas carrier biru coklat ukuran 70 liter duduk sejajar dengan Arkais di kursi tunggu. Jaket abu-abu hitam andalan, tas punggung kecil berisi minuman dan makan untuk menemani jadwal transit serta koper besar berisi pakaian cadangan.
Setiap beberapa menit, Arkais menoleh ke arah lapangan parkir. Berharap seseorang yang ia tunggu hadir di waktu-waktu terakhir. Seperti adegan dalam film remaja masa kini.
Tiga puluh menit berlalu, ia memutuskan untuk masuk. Terkadang, dalam urusan menunggu seseorang harus membatasi dirinya sendiri.
Panggilan penerbangan Arkais kembali bergema, beberapa rekan seperjuangannya memberi kode agar ia bergegas masuk. Kaki kanannya bergoyang semakin cepat, mengisyaratkan rasa khawatir. Matanya masih liar mencari sosok Aura yang belum juga kelihatan.
Akhirnya ia menyerah, ia mematikan data seluler di gawainya. Tidak ada ruang lagi untuk berharap, keputusanya sudah bulat. Setidaknya ia sudah memberi kabar tentang kepergiannya.
Sebelum masuk, ia menghampiri keluarganya. Memandang wajah ibu yang sendu melepas anak lelakinya pergi dalam jangka waktu yang cukup lama. Ayah hanya melepasnya dengan senyum seperti biasa. Meski begitu Arkais bisa melihat mata beliau berkaca-kaca. Arkais memeluk satu persatu dari setiap anggota keluarganya yang turut serta mengantarnya pergi. Adik bungsunya menangis, begitu juga dengan keponakan kecil yang kerap ia ajak bermain perang-perangan di pekarangan rumah saban hari.
Arkais melangkahkan kaki ke arah pintu masuk, dadanya dipenuhi perasaan tidak menentu. Arkais melambaikan tangan kepada semua orang yang sangat disayangi dan menyayanginya. Setelah cukup lama berada di rumah, kini tiba waktu bagi Arkais untuk keluar dari zona nyaman. Setelah selesai dengan urusan check in, ia naik ke lantai dua, duduk di ruang tunggu.
Ruang tunggu masih memberi cukup ruang untuk Arkais merasa hampa. Ia memandangi gambar layar utama di gawainya, terpampang fotonya bersama Aura dengan gaya dan ekspresi aneh. Pikirannya terasa keruh oleh berbagai pertanyaan dan prasangka, mencoba menemukan alasan yang membuat gadis itu tidak datang untu melepaskan kepergiannya.
Arkais memilih beberapa lagu kesukaan yang akan menemaninya selama di dalam pesawat. Pengeras suara ruang tunggu memberi informasi agar para penumpang dengan maskapai rute Bengkulu-Jakarta untuk segera masuk ke pesawat. Arkais menghela napas panjang, melepaskan segala hal yang menggumpal di dada dan kepalanya.
Dengan percaya diri ia menjejakkan kaki di aspal bandara. Tiba-tiba langkah kaki Arkais terasa berat. Ia menoleh ke arah pagar besi di sisi utara bandara. Meski samar-samar, ia bisa melihat keluarganya melambaikan tangan. Ia membalas lambaian tangan itu sambil terus berjalan menuju pesawat.
Di dalam pesawat orang-orang penuh sesak mencari nomor kursinya masing-masing. Bukan hal baru bagi Arkais berpergian dengan menggunakan pesawat. Namun, ini pertama kali baginya melakukan perjalanan sendirian. Di angka hidup yang ke-23, sebagai lelaki yang haus akan petualangan dan hal baru. Ia memilih keluar dari zona nyaman. Meski sedikit, masih ada percikan rasa takut yang bergemuruh di dalam dadanya.
Lima belas menit berlalu, burung besi tumpangannya mulai beranjak dari tempat peristirahatan. Arkais memandang keluar jendela, lapangan bandara mengucapkan doa keselamatan untuknya. Mesin pesawat menderu, lonjakan kecil memberi tanda pesawat akan lepas landas. Dengan perlahan badan pesawat terangkat ke udara, meninggalkan tanah Bengkulu. Menembus awan-awan, meninggalkan beribu kenyamanan. Arkais memejamkan mata sejenak, menikmati momen langka itu di hidupnya.
Langit biru, awan membentuk kastil-kastil melayang, rumah bagi mimpi-mimpi manusia di bumi. Bibir Arkais membentuk selengkung garis, pemandangan seperti ini selalu membuatnya takjub.