"Dunia terkutuk!"
Umpatan itu terus menggema dalam kepala Arkais, ia berjalan sempoyongan sambil memikul keranda tempat tubuh Aura tidur dengan tenang. Air mata yang mengalir di wajah orang-orang, isak tangis yang berupa seriosa. Semua suara serupa dengung di telinga.
Gadis itu diangkat pelan-pelan, dimasukkan ke kamarnya di rumah bumi. Azan dikumandangkan pelan, dunia senyap seketika. Begitu juga tubuh Arkais yang tiba-tiba beku.
Ia menatap sebungkus jasad yang mulai ditutupi kayu oleh para penggali. Lalu sedikit demi sedikit gundukan tanah menutup seluruh kamarnya. Prosesi itu diiringi dengan teriakan histeris dari bunda yang belum rela kehilangan anak semata wayangnya.
Tidak ada satu pun yang siap kehilangan Aura, termasuk burung gereja di tribun stadion taman kota yang sering menunggu remah roti darinya. Bunga-bunga di semak liar yang rindu dipetik untuk dibawa pulang, menjadi bunga hias dalam pot botol di kamarnya. Bebatuan dan pohon akan rindu ia kunjung meski hanya sekedar disentuh batangnya atau tidur di atas tubuhnya yang keras. Semesta telah kehilangan satu malaikat kecintaan alam. Bumi terlalu sayang hingga tidak sabar ingin memeluknya lebih cepat.
Musim tidak sedang panas atau hujan, hanya remang-remang yang lebih terang. Masih tengah hari, tetapi langit sudah seperti senja. Semesta turut berkabung, hanya saja tidak ada hujan sebagai air mata. Begitu juga dengan Arkais, pandangannya kosong, jiwanya kini entah berada dimana. Ia merasa berdiri di antahberantah, tidak mengenali lagi semua orang yang menyapanya atau sekedar bilang turut berduka cita.
Tubuhnya gemetar, seluruh urat dan otot tubuh timbul ke permukaan kulit langsatnya. Namun, tulang-tulangnya seperti lenyap. Ia menatap langit, mencari Sang Mahacinta. Apakah Dia melihat semua air mata yang jatuh ke tanah saat ini?
Apakah Dia melihat semua ekspresi orang-orang yang hadir mengantar gadis tercintanya itu? Salahkah Arkais memandang segalanya secara terbalik. Bukankah Dia juga yang memberikan persepsi ini dalam diri Arkais.
Segala prosesi berjalan dengan baik dan penuh haru. Satu persatu orang-orang meninggalkan rumah baru Aura. Mungkin inilah yang dikatakan bahwa setiap orang akan meninggalkan siapapun untuk sendirian suatu hari nanti. Inilah hari itu, hari ketika kamar baru di perut ibu bumi menjadi dunia hingga hari kebangkitan nanti.
“Ark, ayo pulang.” Ibunya mengelus punggung Arkais yang masih berdiri diam. Arkais tidak menjawab, matanya masih memandang gundukan tanah basah bertabur bunga di depannya.
Ibunya menepuk pelan pundak Arkais sambil berbisik, “Ikhlaskan nak, biarkan dia bahagia.”