Matahari menghilang, tidak ada lagi senja dan fajar berkejaran dengan gelap. Dunia bertubuh ringkih dan berjiwa ringkuh adalah seorang lelaki bernama Arkais. Sedangkan kamar tidur adalah zona nyaman bagi orang-orang yang lelah dengan dunia. Tidak ada cahaya matahari atau hujan yang bisa mengganggunya menangis atau sekedar berusaha untuk mimpi lagi.
Sebelumnya, kamar Arkais serupa perpustakaan. Dindingnya penuh coretan bertuliskan semua puisi-puisinya. Buku-buku tertata rapi di meja dan di rak-rak yang menyatu pada dinding. Action figure dan berbagai merchandise menghiasi sudut ruangan. Akuarium dengan ikan-ikan yang sehat, tumbuhan air yang hijau, serta air yang jernih. Kini semuanya telah berserakan di lantai. Ruangan itu lebih hancur dari pada kapal pecah atau puing-puing sisa gempa bumi.
Ibu Arkais setiap hari mengantarkan makanan dan meletakkannya di depan pintu. Kadang-kadang beliau hanya mengetuk pintu atau menunggu sahutan dari Arkais. Untuk sekedar memastikan bahwa anak lelakinya itu masih hidup dan tidak gantung diri di kolong tempat tidur.
Setelah seminggu, ibu Arkais memutuskan untuk masuk ke kamar. Beliau mengetuk pintu beberapa kali, lalu mencoba membukanya, ternyata pintu kamar Arkais tidak terkunci. Beliau masuk sambil menahan napas, tidak menyangka kamar Arkais akan seberantakan itu. Aroma tidak sedap memenuhi seluruh ruangan.
Beliau menatap miris anaknya yang masih terlelap, ada lingkaran hitam legam di sekitar matanya. Beliau tidak menyangka, kehilangan Aura bisa benar-benar menghancurkan diri seseorang Arkais. Beliau meletakkan makanan kesukaan Arkais di atas meja.
Di ujung tempat tidur, beliau menangis. Tangannya berusaha menutupi isak yang tidak lagi bisa ditahan. Beliau benar-benar tidak kuat melihat keadaan Arkais, akhirnya beliau memutuskan untuk keluar dari kamar. Jika hati seorang anak hancur menjadi ratusan keping karena seseorang, maka hati seorang ibu akan hancur menjadi ratusan ribu keping melihat kesedihan anaknya.
Arkais membuka sedikit matanya, memastikan ibunya sudah keluar dari kamar. Ada rasa bersalah dalam hatinya ketika melihat orang yang paling disayanginya itu menangis. Ia bangun dalam posisi duduk. Mengusap wajahnya yang entah serupa apa sekarang, ia mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan.
Kamarnya yang bernuansa remang-remang, debu berterbangan, kontras dengan cahaya matahari yang menelusup masuk menembus tirai penutup jendela. Arkais kembali menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, hari ini masih sama. Ia tidak ingin kemana-mana, tidak ingin berada dimana-mana, tidak ingin bertemu siapa-siapa.
Arkais menutup mata, perlahan ia mencoba untuk kembali tidur. Namun, ia dikejutkan dengan suara pintu yang dibanting sangat keras. Seorang lelaki berdiri di depan pintu. Arkais menyipitkan matanya, mencoba memfokuskan pandangan. Ia mendengus kesal, lalu kembali memejamkan mata setelah tahu siapa yang berdiri di sana.
“Sampai kapan mau kayak gini Ark?”