Seribu hari setelah kepergian Aura.
Arkais kembali menjadi seorang penyendiri. Tidak ada aktivitas di luar rumah selain lari pagi atau jogging sore. Tidak ada lagi kegiatan menulis puisi. Hujan datang silih berganti, menyuburkan tanah kenangan di dalam kesendirian. Air terjun dan hutan hanyalah palarian sementara bagi rasa rindu yang sejati. Rasa rindu yang tidak mengharapkan temu. Sekedar obat bagi rasa pilu.
Matahari belum bangun tidur, kursi di taman masih kosong dan basah oleh embun. Arkais menyapa beberapa penyapu jalan. Mereka adalah pejuang kebersihan yang bangun lebih pagi dari mereka yang memberi gaji. Langit masih temaram, menggiring hantu pulang sebelum siang.
Arkais memperbaiki tali sepatu olahraganya, keringat telah membasahi kaos hitam bergaris abu-abu. Arkais menembus fajar buta, kakinya melangkah cepat sambil melompat-lompat. Udara lebih dingin dari biasanya. Arkais mulai terengah. Ia berhenti sejenak mengatur napas.
Mata lampu masih terjaga, menyorot taman yang sepi dan kesepian sepanjang malam. Sepasang remaja muncul dari ujung jalan, mengayuh sepeda sambil tertawa riang. Setengah jam kemudian taman kota telah ramai. Kursi taman penuh oleh berpasang-pasang kekasih. Ah, mesra sekali mereka. Arkais tertawa, lalu berkata lirih, "wahai kalian yang sedang jatuh cinta. Telah sejauh mana jatuhmu dalam cinta. Telah sedalam apa jatuhmu pada cinta?"
Arkais berdiri, setelah melepas napas panjang ia kembali berlari, menyusuri jalanan lenggang. Menyapa petugas kebersihan yang tidak dikenalnya. Ia sedang mengejar targetnya, berlari sejauh lima belas kilometer.
“Ark,”
Deg. Suara itu menghentikan langkah Arkais. Membuat tubuhnya terasa kaku.
Suara khas itu, nada bicara itu. Entah kenapa, Arkais takut untuk melihat siapa yang bicara.
“Ark, kamu Arkais kan?”
Suara itu terdengar seperti suara hantu di telinga Arkais. Suara yang sudah lama tidak hadir menggema di kepalanya. Ia masih berdiri beku, napasnya tercekat berhenti di tenggorokan. Ia berusaha menepis semua bayangan yang datang. Ia berusaha menolak ingatan tentang siapa yang pemilik suara itu. Ia mengangkat kaki, naluri kepengecutan memberi komando agar ia segera lari sekencang-kencangnya.
“Ark, Arkais. Aku yakin kamu Arkais. Itu sebabnya kamu gak berani balik badan dan memastikan aku yang bicara.” Perkataan itu menohok Arkais, matanya nanar menatap trotoar.
“Maaf, saya bukan Arkais, anda salah orang,”
Arkais mengangkat kepala, ia kembali melanjutkan lari paginya, arah tujuannya berubah. Setelah ini ia langsung pulang.
“Ya! Kamu memang bukan Arkais! Arkais tidak sepengecut kamu!”
Teriakan itu menghentikan langkah Arkais. Kepalanya menoleh, ia menatap tajam gadis yang wajahnya mulai jelas terlihat diterpa temaram fajar.
Arkais berjalan pelan menghampiri si gadis. Setiap langkah yang dijejakkannya seperti tabuhan yang membangkitkan gemuruh di dada gadis itu. Semakin dekat tubuh lelaki itu, semakin jelas wajahnya, semakin besar juga keinginan gadis itu untuk lari. Tatapannya membuat gadis itu bergidik.