Arkais menutup buku rencana perjalanan Aura.
Ia menatap senja yang telah sepertiga tenggelam di rumah laut. Lirih ombak membisikkan mantra perjuangan, membangkitkan api cinta Arkais yang telah lama padam. Angin laut mengelus lembut pipinya, seakan mengisyaratkan dukungan untuk langkah yang akan ia ambil. Mewujudkan rencana perjalanan Aura.
Seusai makan malam.
“Ayah, ibu, Arkais mohon izin pergi untuk waktu yang sampai entah kapan.” Arkais menunduk, tidak mampu menatap wajah ayah dan ibunya.
Kedua orang tuanya diam dan saling pandang. Meja makan menjadi begitu lengang, seumur hidup, tidak pernah Arkais merasakan lengang begitu lama hinggap di meja makan mereka.
Ayahnya menghela napas, “Kamu tentu tahu salah satu penggalan syair Khalil Gibran yang begitu fenomenal. Ia pernah berkata, anakmu bukan anakmu, dia adalah putra sang fajar, kamu tahu?”
“Aku tahu ayah,” ujar Arkais lirih.