Sulawesi Barat
Manakarra, tiga puluh menit dari pelabuhan udara Tampapadang, Mamuju. Aku bersama sahabat lama Ra, ada secangkir kopi sore ini. Lihatlah, ia seperti malam kecil yang terkurung dalam gelas keramik. Tetapi tak kulihat bintang-bintang di sana, aku hanya menemukan wajah seorang lelaki, aku lupa namanya meski kami telah akrab sepanjang usia.
Ra, ada dua wajah manis di Manakkara, fajar dan senja. Keduanya lahir dan mati di sini. Tetapi, selain mereka berdua ada banyak lampu-lampu kapal feri yang bercahaya menghiasi pesisir laut di waktu malam. Katakan padaku jika kau melihatnya dari surga seperti segenggam langit penuh bintang.
Pada sayap senja yang mengembang dari ujung-ujung langit. Senja yang melepas merah marahnya pada setiap sumpah serapah. Dijajahnya warna biru pada langit dan laut. Namun, tak kudapati merah marah itu adalah kejahatan. Malah, kutemukan senyummu merekah. Lalu, bandar-bandar ingatan masa lalu menyambutku dengan ramah.
Senja di Pantai Manakkara
****
Gorontalo
Tawula dan dua ribu tangganya adalah kisah epik Ra. Bayangkan, ada dua ribu anak tangga yang dibangun pada tahun dua ribu, awal milenium kedua. Aku menjelma peziarah di Kuil Naga, mencari puncak untuk memuaskan rasa dahaga sementara. Tetapi miris, tak kutemukan puing-puing dirimu di segala cercahan senja. Malang bagiku Ra, aku kehilangan ingatan dalam usia yang berkurang satu per satu.
Tetapi, aku telah menanamkan sumpah di Pantai Pohe. Selayaknya Lahilote yang terusir dari kayangan karena tidak abadi. Aku pun menjejakkan kembali puisi itu di depan jejak kaki Lahilote, ia membimbingku mengikrarkan sumpah.
"Sampai senja umurku nanti, berbatas pantai Pohe berujung kain kafan. Di sana telapak kakiku akan terpatri sepanjang zaman."
Aku telah menepis segala keinginan untuk menyerah Ra. Di kala kau pergi begitu jauh, melampaui batas imajinasi semua orang. Di Gorontalo, aku mengerti mengapa senja dan laut tidak bisa dipisahkan. Aku menemukan keheningan dalam kicau burung-burung menyanyikan lagu sendu, tentang kau dan aku. Tentang bumi dan kayangan.
Senja di Pantai Tawula
****
Sulawesi Tenggara
Di Pantai Batu Gong, aku melihat orang-orang asik bermain air di laut. Mereka bermandikan cahaya senja dan pasir-pasir basah yang melekat di tubuh. Ra, tidak banyak yang bisa aku ceritakan di sini. Aku merasa ada lelah yang tumbuh membesar di kepalaku. Ia menyerap banyak kata-kata sehingga aku ingn segera pergi dari kefanaan ini. Aku masih belum puas menemuimu sebagai sisa-sisa cahaya senja.
Senja di Pantai Batu Gong
****
Sulawesi Selatan
Bulukumba, Tanjung Bira. Aku sendirian dan mulai kehilangan kendali atas keinginanku Ra. Senja mulai membosankan. Aku mulai enggan menatapnya lebih lama. Sebab, tidak kutemukan kau di setiap kuncup dan mekarnya senja. Hanya kutemukan sisa-sisa keheningan yang teramat panjang. Membelengguku lebih sakit dari sebelumnya.
Senja tidak membukakan tabir tentang kabarmu, ia lebih suka membawa aroma kematianmu yang lebih pekat terhirup dalam penciumanku. Tidak Ra, tidak. Bukan aku ingin menyerah. Aku hanya rindu padamu, rindu melihat selengkung garis di wajahmu. Rindu pada pertanyaan-pertanyaan anehmu. Aku rindu memandangi senja sambil tenggelam dalam kesunyian. Dalam kesendirian kita yang minta dilengkapi.
Ra, ada yang aku suka dari Tanjung Bira, yaitu cerita tentang orang-orang yang sedang membangun sebuah bahtera, mereka akan bersunyi dari pesta pora. Kau tahu Ra, itu tradisi yang mengajari kita bahwa jika kita sedang membangun sebuah mimpi, kita tidak boleh merayakan apapun sebelum mimpi itu tercapai. Kau lihat itu Ra, ada seonggok bangkai kapal Jepang yang tidak selesai. Konon, mereka berpesta pora dikala sedang membuatnya.
Kita belum merayakan apapun Ra, itu tanda tirakatku belum usai.