Delisa sering bermimpi hidup di dunia ibu peri dan naga dan pesta dansa dan peperangan dan kesatria tampan. Dia bukan orang yang realistis. Mungkin karena itu jugalah dia menabur meses cokelat di atas telur mata sapinya.
“Itu apaan, Del?”
“Bekal.”
“Ya, aku tahu itu bekal. Maksudnya bekalmu itu apa?”
“Bekalku adalah makanan empat sehat lima sempurna enam bercahaya tujuh penuh warna dari dunia unicorn.”
Annisa meletakkan telapak tangannya di dahi. Kalau terlalu lama dekat-dekat Delisa, dia merasa akan jadi bintang iklan obat sakit kepala. Teman sebangkunya ini adalah salah satu faktor tak terduga penyebab migrain akut, tapi juga sering kali menjadi komedian dadakan terbaik di kelas. Orang seperti Delisa itu seperti kombinasi antara skripsi dan keripik kentang rasa mi instan. Bikin pusing.
“Terserahlah, terserah. Aku mau ke kantin dulu sama Vira. Makan yang banyak, biar gendut.” Annisa menepuk punggung Delisa dengan efek suara buk-buk yang keras sekali sampai Vira yang berdiri di sampingnya meringis. “Yuk, Vir.”
Delisa mengatasi tepukan punggung Annisa dengan baik. Sangat baik, malah. Dia bisa mengatasinya sebaik Syahrini menyanyi (kalau bisa disebut nyanyian) “Maju-Mundur Cantik”. Bagaimana tidak? Duduk sebangku selama tiga bulan dengan Ketua Ekskul Karate jelas punya risiko tersendiri.
Senyum lebar membentang pada wajah Delisa. Lebih mirip cengiran, sebenarnya. Gigi serinya atas-bawah tampak semua. Hanya ada satu alasan pasti atas senyumnya yang tidak pernah ditutup-tutupi rasa jaim itu: makanan di depannya. Mata Delisa selalu bersinar kalau melihat makanan, seperti balita lima tahun melihat permen lolipop warna-warni.
“Yosh.” Dia menangkupkan kedua telapak tangan tiga sentimeter di depan wajahnya sambil memejamkan mata sekejap. Delisa berkata pada dirinya sendiri, “Itadakimasu.”
Dia mengambil sendok, lalu menyekop sesuap besar nasi dan telur mata sapi beserta meses cokelat seolah-olah dia belum makan tiga hari tiga malam. Baru sepersekian detik benda itu masuk mulutnya, bulir-bulir nasi nyaris menyembur dari mulut Delisa seperti peluru senapan karena seruan Halim, “Gawat!”
“Aaa!”
Bertabrakanlah mereka: Halim, Annisa, Vira.
“Aduh!” keluh Vira keras-keras. Dia jatuh di lantai, memegangi pergelangan kakinya, berakting cedera serius.
“Kalau jalan lihat-lihat, dong! Punya mata, nggak???” Bentakan Annisa yang legendaris, seperti biasa, membuat seisi kelas gentar.
Akan tetapi, justru yang dibentak tidak gentar sama sekali. Halim menampakkan wajah menyesal dan meminta maaf kepada dua cewek itu, peduli pun sepertinya tidak sama sekali. “Musuh nomor tiga minta single battle sama leader! Kurang sepuluh menit lagi expired ini. Kita bisa kalah war! Kita ketinggalan lima poin!”
Kata-kata itu hanya dipahami oleh enam cowok lain dan satu cewek di kelas itu, dan hanya membuat Annisa semakin marah.
“Woi! Minta maaf dulu!”
Halim menoleh pada cewek itu. Dengan singkat dan gampangnya, dia bilang, “Maaf, keadaan darurat. Harus menang war.”
Annisa dan Vira hanya bisa pergi dengan kedongkolan. Kalau Halim sudah bicara game, sulit meluruskan ke topik masalah, tidak ada gunanya. Lebih baik menjawab teriakan lambung mereka.
Enam cowok dan satu cewek yang memahami kata-kata Halim tadi langsung gupuh. Bayu dan Indra yang baru saja berdiri dari kursi dan hendak pergi ke kantin, membatalkan rencana. Wahid yang sedang menghapus papan tulis, menjatuhkan penghapusnya. Iqbal, Tomi, dan Agung yang sedang dalam forum istimewa menyalin PR Sejarah Delisa, meletakkan bolpoin. Dan, Delisa, dengan spontan—sekaligus agak menjijikkan—bertanya, sementara mulutnya penuh makanan, “Adghnanm mamna?”
“Adnan mana?” Wahid, dengan pelafalan yang lebih jelas mengulangi pertanyaan Delisa.
“Nggak tahu. Kenapa tanya aku? Biasanya, kan, kamu yang sama dia,” Halim menyambar smartphone di lokernya. Begitu juga yang lainnya. Tentu saja karena mereka sedang membicarakan game online, semuanya butuh gadget.
“Ya mana aku tahu juga, dia ngilang gitu aja,” Wahid membela diri. Adnan memang agak misterius. Sering menghilang sendiri, hemat kata-kata, jarang tertawa, tapi komandonya dalam strategi war game online adalah sabda tertinggi yang tak bisa didebat maupun digoyahkan siapa pun. Sebagai clan leader, Adnan memiliki kekuasaan absolut di atas anggota lain.
“Duh, itu anak jelangkung atau apa, sih?” gerutu Agung.
Delisa membuka aplikasi game online yang sedang mereka bicarakan. Game itu judulnya Das Blitzkrieg, sepertinya bahasa Jerman. Delisa tidak paham bahasa Jerman. Satu-satunya bahasa asing selain Inggris yang dia sedikit paham hanya Jepang (dari anime-anime yang ditontonnya sejak SMP). Dia sendiri awalnya tidak terlalu tertarik pada game online, terutama yang butuh berkelompok dengan player lain. Tapi, entah kenapa, ketika Halim menunjukkan game itu kepadanya, Delisa langsung tertarik. Dia pun membuat akun dan bermain dengan sangat progresif, sampai-sampai dia mencapai level tinggi, yang biasanya bisa dicapai dalam enam bulan, dia hanya butuh tiga bulan. Bergabung dengan klan yang dibangun oleh Adnan dan Wahid, Delisa adalah player paling andal keempat setelah: 1. Adnan, 2. Wahid, dan 3. Halim. Meski hanya peringkat keempat, semua anggota klan Doa Ibu (ya, nama klannya Doa Ibu) yang seluruhnya cowok, menganggap kehadiran Delisa sangatlah penting. Bagi mereka, Delisa itu seperti rare item atau ‘harta karun langka’ dalam klan karena jarang sekali perempuan bermain Das Blitzkrieg. Persentasenya hanya dua persen. Singkat kata, Delisa hidup di dunia cowok.
Mata Delisa fokus pada angka di layar gadgetnya. “Wah, gawat. Tujuh menit lagi.”
Ada chat masuk dari player nomor dua dengan nama screen yang tidak keren sama sekali. Ia menantang single battle dengan leader.
BakpiaPathok25 : Ayo, tinggal 7 mnt. Mau nyerah?
Dengan marah, Halim menjawab:
Badboy123 : Leader lg gak ada. Switch sama yg no. 2?
Dibalas: