Putri Unicorn dan Kesatria Tampan

Bentang Pustaka
Chapter #3

TIGA

Delisa mengeluarkan naga birunya dari kandang dengan tangan gemetar. Makhluk raksasa itu adalah monster terbaiknya. Selama empat minggu, naga itu telah menjadi prioritasnya dalam bermain Das Blitzkrieg. Dia mencari loot siang-malam demi mendapatkan Glittery Flame untuk meng-upgrade level naga.

Akan tetapi, kebanggaannya pada naga biru goyah dalam sekejap begitu melihat monster yang dikeluarkan BakpiaPathok25. Delisa meringis melihat animasi babi hutan bermata merah dengan cula panjang-tajam, dilengkapi zirah duri-duri. Ada api di kaki babi hutan itu. Di sisi kirinya, babi hutan itu membawa kapak, di sisi kanannya ada gada perang. Delisa merasa rantai raksasa yang ada di leher babi hutan itu sedang mencekiknya.

Delisa tahu benar makhluk apa itu. Boorblaster. Makhluk dengan damage dan hit points tertinggi yang pernah dia ketahui selama bermain Das Blitzkrieg. Adnan juga punya satu, dia sering memakai Boorblaster-nya dalam single battle. Pemain-pemain kelas atas cinta sekali dengan monster itu.

Sementara itu, Delisa belum punya Boorblaster.

Delisa ingin berlari menangis menghampiri Adnan, merengek biar dia saja yang melawan monster itu. Tapi, dia sudah terlanjur masuk arena. Lebih parah lagi, Adnan menghilang. Delisa sendiri sekarang. Meskipun chat internal klan Doa Ibu terus bertambah ramai oleh Halim, Wahid, Agung, Tomi, Iqbal, Indra, dan Bayu, kenyataannya sekarang Delisa duduk sendiri di salah satu bangku taman, menghadapi Boorblaster yang mustahil dikalahkan.

Jari-jari Delisa semakin gemetar ketika hitungan mundur start battle dimulai. Dia sudah kalah dalam general battle. Sekarang dia tahu akan kalah dalam single battle. Dia akan makan bakso dengan tujuh sendok sambal.

Padahal, Delisa tidak bisa makan makanan pedas. Tidak sama sekali. Kali terakhir dia melakukannya saat kelas IX SMP, dia sakit perut sampai tidak masuk dua hari.

Sayangnya, Halim dan tujuh cowok lain anggota klan bersemangat sekali merekam Delisa kepedasan. Maka, di sanalah Delisa sekarang, jam pulang sekolah, ketika kebanyakan siswa pergi ke ekskulnya masing-masing atau pulang dengan wajah riang, Delisa duduk di kursi plastik kantin dengan wajah “biru”. Matahari bersinar terik seperti siang-siang biasanya, kipas angin kantin diputar dengan kecepatan level empat, dasi Halim kendur dan kancing bajunya di kerah tidak terpasang, tapi Delisa merasa kedinginan.

Klan Doa Ibu kalah untuk kali pertama dalam sejarah.

Mereka kalah gara-gara Delisa.

Sekarang Delisa harus makan bakso setan superpedas itu. Meskipun takut, Delisa merasa dia layak mendapatkan hukuman itu.

Bakso setan superpedas itu berwarna oranye kemerah-merahan, mengingatkan Delisa pada api di kaki Boorblaster yang berkobar-kobar, menjilati lambung gemetar Delisa.

Di depannya, Halim dan Agung memegang ponsel posisi siap merekam. Iqbal dan Indra menyeringai lebar. Mereka semua tidak tahu bahwa Delisa tidak bisa makan makanan pedas. Delisa membawa bekal setiap hari. Jadi, dia jarang sekali makan di kantin sehingga tidak ada yang tahu bahwa dia tidak bisa makan pedas. Dari kedelapan cowok itu, hanya ada satu orang yang tahu bahwa Delisa tidak bisa makan pedas.

Tentu saja, orang itu adalah pacar diam-diamnya. Adnan.

Mereka tidak pernah makan berdua di kantin (itu akan mencolok sekali karena Adnan adalah tipe cowok yang tidak pernah terlihat bersama anak cewek). Namun, percakapan panjang mereka di BBM telah mengatasi segala macam informasi yang harus mereka ketahui satu sama lain. Mulai dari umur nenek mereka sampai makanan yang bisa dan tidak bisa dimakan.

Delisa tahu Adnan alergi udang. Adnan tahu Delisa tidak bisa makan pedas. Detik ini, Delisa sekilas memandang Adnan dengan wajah “biru”-nya, tapi Adnan hanya diam. Wajahnya tidak terlihat senang. Dari kedua alisnya yang seperti akan bertemu di tengah-tengah dan dahinya yang mengerut ke bawah, Delisa tahu Adnan mengkhawatirkannya.

Sebagian dari diri Delisa ingin Adnan membelanya dan membatalkan aturan hukuman konyol ini, tapi sebagian diri Delisa yang lain merasa dia harus diam dan menurut saja karena rasa bersalahnya berkata bahwa hukuman itu layak baginya.

“Ayo, Del,” kata Agung, “siap?”

Delisa mengambil sendok dan garpu.

Delisa, kamu bisa. Delisa, kamu punya naga level tiga, bisa nyembur api damage-nya sampai 300, sekarang kamu akan menyerah cuma gara-gara tujuh sendok sambal? Nggak! Kamu harus gunakan kekuatan unicorn bersinar, Delisa! Kamu harus bersinaaar!!!

Bersamaan dengan itu, Halim sudah mulai menjadi narator videonya, “Yak, pemirsa sekalian, bersama saya Halim Perdana Kusuma dan teman-teman satu klan saya, klan Doa Ibu. Kita akan menyaksikan player nomor empat, Princess Unicorn alias Delisa Pradyanawati dari kelas XI IPA 2 SMAN 1 Barat Daya akan makan bakso setan superpedas dengan tujuh sendok sambal cabai rawit sampai habis tanpa minum. Oke, siap Delisa? Start in five, four, three—

Delisa memasukkan satu bakso bermandi kuah sambal ke mulutnya dan memakannya seperti ayam ditenggelamkan ke kolam empang. Terlalu lama jika menunggu narasi Halim selesai.

“—Oooh, dia bersemangat sekali, Pemirsa! Delisa makan bakso setan seperti setan! Video ini akan mengobati kekalahan pertama klan kami, klan Doa Ibu. Ayo Delisa, makan sampai habis!”

Halim yang terlalu bersemangat membuat acara hukuman makan bakso setan superpedas Delisa menjadi ramai penonton. Siswa-siswi yang ada di kantin dan beberapa penjual mulai memperhatikan apa yang terjadi di meja nomor delapan.

Delisa makan bakso kedua. Bakso pertama sudah turun ke kerongkongannya, membakar sesuatu di sana. Delisa ingin memuntahkannya dan berhenti makan, tapi dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan menyerah.

Dia berhasil menelan bakso kedua.

Masih ada dua bakso lagi. Dan, tahu. Dan, pangsitnya. Dan, minya. Dan, lebih sadis lagi, menurut tradisi, harus bersih sampai kuah-kuahnya.

Kuah oranye itu seperti api cair. Minggu lalu, Bayu minum kuah itu sampai habis. Dia masih hidup. Jadi, seharusnya Delisa juga bisa menyelesaikan hukumannya.

Delisa salah. Baru selesai menelan bakso kedua, seluruh isi perutnya seperti kena gempa bumi. Mulutnya seperti dibakar. Wajahnya semerah saus tomat. Keringatnya membanjir dari pelipis sampai leher.

Delisa menyedot ingus.

Kemudian, Delisa menyendok tahu.

Kemudian, dia mulai menangis. Air matanya keluar begitu saja.

Cengiran penuh semangat cowok-cowok di depannya perlahan pudar. Halim dan Wahid saling bertukar pandangan, bimbang antara menghentikan acara konyol itu dan melanjutkannya. Rasa bersalah mulai merayapi wajah mereka, tapi tak seorang pun benar-benar menghentikan acara itu sampai Adnan angkat bicara.

“Udah,” kata Adnan akhirnya. Dia tidak bisa menahan rasa khawatirnya lagi. “Udah, berhenti. Minum ini.” Dia mengulurkan tangan, menyodorkan segelas es jeruk kepada Delisa, tapi Delisa mengangkat telapak tangannya menolak perintah Adnan.

Aku masih bisa. Aku belum mengeluarkan kekuatan unicorn bersinarku.

“Aku masih bisa,” kata Delisa di antara sedotan ingus dan usapan air mata. Dia menelan tahu yang baru saja disendoknya.

“Woah, Delisa memang cewek strong!” kata Halim bangga. Dia masih fokus pada videonya.

“Delisa! Delisa! Delisa!” Wahid, Agung, Bayu, dan yang lainnya menyemangati. Para penonton mulai mengerubungi meja nomor delapan, ikut bertepuk tangan dan menyerukan nama Delisa—entah mereka kenal gadis itu entah tidak, tapi yang jelas suasananya sedang asyik untuk menyemangati.

Suara-suara penyemangat di sekitarnya membuat Delisa semakin yakin dia bisa. Dia pun melanjutkan membakar mulut dan lambungnya—alih-alih makan bakso.

“Kubilang sudah!” kata Adnan tegas dengan suara tinggi, seperti membentak.

Riuh tepuk tangan dan seruan nama Delisa membisu dalam sekejap, seperti geng balapan motor disetop sepasukan polisi lengkap dengan peranti pelindung anti-huru hara dan senapan.

Adnan nyaris tidak pernah mengeluarkan suara tinggi. Kalau Adnan mengeluarkan suara tinggi, berarti sesuatu yang serius terjadi, dan Adnan sangat serius tentang sesuatu yang serius itu.

Delisa menelan apa yang sedang dia kunyah, menengadah melihat wajah marah Adnan. “Dibilangi sudah, ya sudah! Kamu nggak dengar?” Kali ini Adnan bicara dengan nada lebih rendah, tapi tetap saja terdengar menyeramkan.

Anak-anak yang mengerumuni meja nomor delapan mulai bubar. Cowok-cowok anggota klan Doa Ibu menonton reaksi hiperbolis leader mereka setengah berdebar setengah curiga. Kenapa Adnan yang datar, cuek, dan tidak pernah marah tiba-tiba bereaksi seperti itu?

Lihat selengkapnya