GAWAT! Lima menit tersisa dan aku akan didepak dari kelas Pengantar Ilmu Komunikasi gara-gara angkot yang kutumpangi mengetem sembarangan di pinggir pertigaan lampu merah. Rasanya ingin sekali memaki-maki sopirnya yang entah menunggu siapa. Sudah tahu jalanan Bogor selalu padat pada jam-jam pagi seperti ini.
Aku kembali melirik jam tangan hadiah dari ibuku bulan lalu yang melingkari pergelangan tangan kiriku sambil menggigit bibir dengan panik. Pukul tujuh lebih sepuluh menit. Jika mengikuti jam kampus, tentu saja aku sudah terlambat. Namun, aku punya kebiasaan memajukan waktu di jamku lima belas menit lebih awal daripada jam di kampusku agar bisa bangun lebih awal. Namun, hari ini ternyata tidak berhasil.
Semua gara-gara laporan Komunikasi Bisnis-ku yang tibatiba hilang, terisap virus jahat yang namanya pun sulit kulafalkan. Padahal, laporan itu sudah selesai kukerjakan dan kusimpan baik-baik di dalam flashdisk sejak minggu lalu. Alhasil, laporan itu harus kubuat ulang. Dua puluh lembar laporan kukebut dalam semalam. Aku baru bisa tidur pukul setengah tiga pagi di atas meja belajarku dengan layar laptop masih menyala.
Mungkin dalam minggu ini namaku akan berubah menjadi Sial. Kesialanku berawal pada Senin yang becek, sampai-sampai sepatuku basah hingga ke dalam. Lalu, kemarin laporan Komunikasi Bisnis-ku hilang. Dan, sekarang aku terancam tidak bisa mengikuti ujian Pengantar Ilmu Komunikasi, mengingat dosen Pengantar Ilmu Komunikasi-ku tak memberi ampun siapa pun yang masukke kelas setelah dirinya. Dosenku itu akan langsung menutup pintu dan tak ada yang boleh melewatinya hingga empat puluh lima menit kemudian.
Terima kasih, Tuhan, akhirnya angkot yang kunaiki jalan juga meski hanya tersisa tiga menit. Aku harus segera bersiap berlari dengan rok bahanku ini, yang harus kuangkat sampai ke atas dengkul. Sial sekali kelasku harus berada di ujung koridor yang paling jauh.
Dan, itulah yang sedang kulakukan sekarang. Tersisa satu menit dan aku harus berlari melewati parkiran kampus, kelaskelas dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalulalang, dan saat itulah aku melihat Bu Hani, dosen Pengantar Ilmu Komunikasi-ku, tepat ketika beliau berbelok ke arah lorong menuju kelasku. Aku masih harus berlari sepuluh meter jauhnya. Kuangkat rok bahan tiga perempatku itu sedikit lebih ke atas dan menambah kecepatan lariku meski bulir-bulir keringat sudah membasahi kulit kepalaku dan napasku sudah tak beraturan sejak tadi. Tinggal beberapa meter lagi sebelum aku berbelok, dan aku kehilangan kendali, lalu .…
BRAK! Aku terpeleset dan kertas-kertas laporanku beterbangan.
Ya, ampun. Luar biasa.
Dengan panik, aku meraih kertas-kertas itu dan berharap tidak ada yang tertinggal meski beberapa di antaranya terlipat tidak keruan. Aku mengangkat pandanganku dan melihat Bu Hani dengan angkuhnya hendak masuk ke dalam kelas—pasti saat itu seisi kelas sedang duduk menunggu kedatangannya. Aku bangkit dan kembali berlari meski sisi kiri tubuhku berdenyut nyeri. Mungkin saja hari itu Bu Hani sedang berbaik hati sehingga aku diperbolehkan masuk. Dan, aku tiba di depan kelas tepat ketika pintu tertutup di depan wajahku. Well, mungkin saja tidak.
“BEST … DAY … E-V-E-R!!!” sungutku sambil menghela napas pendek dengan berisik.
Rasanya ingin kudobrak pintu itu, lalu bilang kepada Bu Hani bahwa aku hanya telat dua detik. Tidak lebih. Aku bisa membuktikannya dengan jam yang ada di atas papan tulis. Dan, karena ini adalah UTS, seharusnya beliau bisa memberi kelong garan, setidaknya bagi mahasiswi malang yang minggunya dimulai dengan kesialan berturut-turut. Namun, bisa dipastikan, kalau aku melakukan semua itu, aku pasti akan melihat E besar di transkrip nilaiku akhir semester nanti.
Sebaliknya, aku hanya bisa berdiam diri di depan pintu kayu yang tertutup itu dan menghela napas berkali-kali sampai denyut jantungku normal kembali. Aku berbalik, kemudian duduk bersandar sambil meluruskan kedua kakiku dan mendengus berkali-kali. Kedua betisku sakit, sisi tubuh kiriku berdenyut, dan flat shoes-ku tampak mengerikan. Gara-gara sepatu ini, aku terpeleset di belokan tadi. Insiden itu tidak akan terjadi jika aku memakai sepatu kets. Namun, karena aku terburu-buru tadi pagi, satu-satunya pilihan yang paling cepat adalah sepatu ini.
Sepagi itu aku sudah bermandi keringat. Aku juga mengantuk. Leherku sakit karena semalam tidur berbantalkan tangan yang terlipat di atas meja. Dan, kertas-kertas laporanku berantakan. Satu-satunya yang bisa kulakukan dengan sisa tenagaku saat ini adalah meluruskan kertas-kertas laporanku dan menumpuknya kembali, lalu menyelipkannya ke dalam modul Pengantar Ilmu Komunikasi. Untung saja tidak ada yang tertinggal.
Aku duduk lebih lama untuk mengucir rambut sebahuku sebelum bangkit dan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di gedung sebelah. Duduk diam di sini tidak ada gunanya karena itu hanya akan terus membuatku dongkol. Aku menyeberangi jalan setapak sepanjang delapan meter menuju gedung sebelah, lalu naik ke lantai dua menuju perpustakaan. Tidak ada yang mau datang ke kampus sepagi ini selain mereka yang memang ada jadwal. Maka, ketika aku masuk ke perpustakaan, tidak terlihat siapa pun, kecuali Mbak Gina yang sedang mengelap mejanya.
“Halo, Mbak,” sapaku lemas ketika melewatinya. Dia menolak dipanggil Ibu karena usianya yang belum menginjak tiga puluh tahun. Menurutku, dia bahkan masih layak menjadi mahasiswi tingkat akhir.
Mbak Gina mengangkat pandangannya, melihatku sambil tetap mengelap meja kayunya. Aku lumayan sering datang ke perpustakaan sehingga Mbak Gina sudah hafal denganku.
“Halo, Dan. Lagi jam siapa?” tanya Mbak Gina dengan aksen Jawa samar-samar.
“Bu Hani. Aku datang tepat saat Bu Hani menutup pintu,” ucapku sambil mengisi buku tamu. Kudengar suara simpatik Mbak Gina dan aku hanya mengangkat bahu. “Aku cuma mau ngadem sambil numpang tidur sebentar, Mbak. Badanku sakit habis lari-lari.”
Aku melintasi rak-rak buku besar menuju meja yang berada di tengah ruangan dan mengambil posisi tempat angin AC berembus. Setelah menumpuk laporanku di bawah modul agar tidak beterbangan, aku duduk dan memejamkan mata. Bulirbulir keringat di badanku mulai mengering dan rasanya seperti dikipasi dari berbagai arah. Enak sekali. Satu-satunya hal yang tidak membuatku nyaman adalah kursi yang sedang kududuki. Kursi kayu berbentuk segi empat itu terasa tidak nyaman di bahu serta sisi tubuhku yang sakit. Ya ampun, akan jauh lebih enak jika aku bisa pulang ke rumah dan tidur sampai siang. Nyatanya, aku masih harus melalui tiga kelas tersisa yang baru akan selesai pukul empat sore. Mungkin aku bisa menumpang tidur di kos salah seorang temanku karena nanti siang ada jeda dua jam sebelum kelas terakhir dimulai.
Aku membuka ponselku dan mengetik SMS kepada sahabatku sejak SMA, Erlin Fatya. Kami teman sebangku di tahun senior SMA dan sampai sekarang dia satu-satunya orang yang berteman sangat baik denganku. Kami berdua banyak memiliki kesamaan. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Erlin. Meski berbeda kampus, sebisa mungkin kami tetap berhubungan melalui SMS dan mengusahakan untuk bertemu minimal seminggu sekali. Tidak mudah, tentu saja, karena jadwal kuliah kami yang sering bentrok. Namun, tetap saja kami selalu mengusahakannya.
Dengan Erlin aku banyak bercerita, kami saling merajuk dan meledek. Erlin bahkan sudah hafal sikap merajukku yang kadang datang dengan tiba-tiba. Seperti sekarang. Aku mengiriminya SMS, bilang bahwa aku kesal karena sudah diusir secara tidak langsung oleh dosen Pengantar Ilmu Komunikasi. Aku tahu Erlin pasti tidak akan membalas. Pemalas itu pasti masih tidur karena hari Rabu dia baru akan kuliah lewat tengah hari, dan sekarang belum ada pukul setengah delapan.
Sayup-sayup kudengar suara Mbak Gina dan seseorang tengah saling sapa. Aku memajukan badanku sedikit untuk mengintip siapa mahasiswa malang yang bernasib sama denganku. Mungkin kami bisa duduk bersama dan menceritakan siapa yang lebih sial.
Aku hanya bisa melihat bagian belakang laki-laki itu. Badannya tinggi dan tampak familier. Dia mengenakan celana jins—yang sebetulnya dilarang di kampusku—berwarna biru dongker yang membalut pas kaki panjangnya, kemeja cokelat muda polos lengan panjang yang digulung sebatas sikunya, dan tas Jansport hitam. Mbak Gina sepertinya mengatakan sesuatu mengenai diriku karena dia menunjuk ke arah mejaku dan lakilaki itu menoleh mengikuti telunjuk Mbak Gina. Dan, sebelum laki-laki itu benar-benar menghadap ke arahku, aku langsung memundurkan badanku, berharap rak dua meter di depanku ini bisa menyembunyikan badan dan wajahku yang pasti terlihat jelek karena kedua bola mataku melebar dan mulutku menganga.
Ya ampun, itu Jordi Fabian.
Tidak ada yang lebih sial dari ini. Jordi Fabian adalah teman SMA-ku. Bisa dibilang dia terkenal karena kenakalannya. Dia satu dari beberapa orang di SMAku yang bermasalah dan sering keluar-masuk ruang BK. Dia pembuat onar nomor satu dan senang sekali berlagak sok jagoan. Aku pernah satu kelas dengannya ketika kelas satu dan dia pelanggan setia alpa di buku presensi. Aku tidak pernah benarbenar kenal dengannya. Namun, di sekolah banyak rumor yang beredar tentang dia dan mau tidak mau aku mendapat satu-dua informasi mengenai tingkah nakalnya. Mulai dari sering masuk terlambat, dikeluarkan di tengah pelajaran karena sering menirukan gaya bicara guru yang sedang mengajar dengan nada mencemooh, memimpin tawuran sekolah, sampai menggombali hampir setiap cewek cantik di sekolahku.
Akan tetapi, banyak juga yang menyukai Jordi, sebanyak orang yang tidak menyukainya. Sudah jelas para guru termasuk golongan yang tidak menyukai Jordi. Begitu pula beberapa murid pendiam dan kutu buku. Murid-murid lainnya, yang katanya mengenal baik Jordi, mengatakan bahwa Jordi tidaklah senakal itu. Dia ramah dan mudah bergaul. Namun, karena citra buruknya, sebagian dari mereka menjaga jarak sopan karena takut akan terbawa pergaulan Jordi.
Aku sendiri bukan tipe murid yang mencolok ketika SMA. Bisa dibilang, aku berada di tengah-tengah antara si pendiam dan si pencari perhatian. Aku berada di posisi netral karena berteman dengan kedua sisi itu. Aku tidak pernah benar-benar mengikuti murid-murid pendiam maupun murid-murid yang senang bergosip. Aku bersikap normal karena tidak suka mengambil risiko. Mungkin itu sebabnya aku tidak pernah bicara dengan Jordi. Pernah beberapa kali sewaktu kami sekelas dulu, tapi sisanya aku hanya pernah melihatnya ketika dia berjalan melintasi lapangan, ketika pergantian jam pelajaran dan muridmurid keluar kelas untuk melepas penat, atau ketika dia sedang berkumpul dengan teman-temannya di parkiran sekolah saat aku di kantin.
Citra dirinya yang tak kalah populer dengan kenakalannya adalah sifat playboy-nya. Jordi sebetulnya tidak terlalu tampan— setidaknya menurut pendapatku—tapi ada yang menarik dari dirinya. Caranya membawa diri, ada kesan bahwa dia memiliki kontrol diri yang mengerikan, yang menantang perempuan-perempuan di sana untuk mendekatinya. Caranya tersenyum tampak angkuh yang menandakan bahwa dia tahu dirinya disukai banyak orang karena wajahnya. Sudut bibirnya akan tertarik ke atas dan menampakkan satu lesung mungil tepat di atas sudut bibir kanannya, kerut-kerut di sudut mata ekspresifnya menambah daya tarik dirinya. Rambutnya hitam, sepekat bola matanya, alisnya melengkung tipis dan di tengah alis kirinya ada bekas luka yang membuatnya terlihat berbahaya. Tulang pipinya tinggi dan tegas, sementara dagunya bulat dengan belahan yang cukup dalam. Di sisi kanan rahangnya ada bekas luka lain yang cukup mencolok sehingga kita tidak mungkin mengabaikan parut sepanjang tiga sentimeter itu ketika melihat wajahnya.