KONYOL sekali selama ini aku selalu merasa takut dengan Jordi. Dia makhluk paling sok tahu, sok bijak, sok berkuasa, dan paling suka mencampuri urusan orang lain dibandingkan siapa pun. Keputusanku menjauhinya selama ini memang tepat. Dan, hari ini dia telah menghancurkan sisa-sisa semangatku, bahkan sebelum pukul delapan pagi. Memangnya siapa dia bisa seenaknya menceramahi hubungan orang lain?
“Danisha!” Aku menoleh dan mendapati Clara, teman kelasku, tengah melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku menghampirinya dalam lima langkah. “Lo dicari Bu Hani.”
Astaga, kelas sudah berakhir!
Aku menggumamkan terima kasih kepada Clara dan berlari menuju kelas, berhati-hati agar tidak jatuh seperti tadi ketika melewati tikungan dan tidak menjatuhkan laporan yang sudah susah payah kubuat. Aku melirik ke arah pelukanku, dan di sana hanya ada modulku. Aku langsung berhenti berlari dan menjadi panik. Aku membuka-buka lembaran modulku dengan bodoh, memeriksa tasku dan tidak menemukan laporanku di mana-mana. Hal masuk akal yang harus kulakukan adalah berlari kembali ke perpustakaan karena sudah pasti laporanku tertinggal di sana. Namun, Bu Hani menungguku. Dan, karena dia tidak suka dibiarkan menunggu, aku pasti akan kena masalah lain jika telat menghadap. Maka, dengan berat hati aku berjalan memasuki kelasku dan menemui Bu Hani yang tengah merapikan kertas-kertas di atas meja. Dosen itu tidak melirikku sama sekali ketika aku menghadapnya.
“Pergi ke Komdis sekarang juga untuk minta surat izin UTS susulan Rabu depan. Jika surat izinnya bukan tertanggal hari ini, saya tidak akan mengizinkan kamu mengikuti susulan. Mengerti, Danisha?” Pandangan Bu Hani dengan tepat menusuk mataku sehingga aku mengangguk dengan patuh meski pikiranku memikirkan nasib laporan Komunikasi Bisnis-ku.
Bu Hani terus menceramahiku mengenai peraturan, presensiku, dan nilai yang akan kudapatkan jika aku absen mengikuti kelasnya lagi, juga hal lain yang tidak masuk ke dalam otakku. Aku memikirkan laporanku. Semoga saja ada di perpustakaan. Semoga saja Mbak Gina menemukannya dan menyimpan di mejanya.
“Danisha!”
Aku mengedip-ngedipkan mataku dengan kaget dan mendapat tatapan galak dari Bu Hani.
“I-iya, Bu?”
“KTM kamu,” ucapnya nyaris berdesis dengan tangan terjulur ke arahku. Dengan gemetar aku meraih dompetku dan mengeluarkan KTM-ku untuk diserahkan kepada Bu Hani.
“Ambil KTM kamu minggu depan setelah mengikuti ujian susulan. Mengerti?”
“Iya, Bu.” Aku mengangguk berkali-kali seperti orang bodoh.
“Sekarang sudah boleh keluar, Bu?”
“Sudah, keluar sana.”
Aku keluar dan segera berlari menuju perpustakaan. Tidak seperti tadi, perpustakaan sudah mulai penuh sehingga aku semakin panik. Ada seseorang yang tidak kukenal menduduki tempatku tadi dan aku bertanya apa dia melihat laporanku di sana. Tidak ada satu pun yang melihat laporanku, sementara dosen Komunikasi Bisnis-ku akan masuk pukul delapan. Aku mendatangi Mbak Gina dan menanyakan laporanku.
“Laporan Komunikasi Bisnis kamu, Dan?”
Dengan semangat aku mengangguk. Semoga ada. Semoga ada. “Iya, Mbak, iya. Lihat, enggak? Ketinggalan di meja, Mbak.”
“Tadi dibawa Jordi yang anak Teknik Komputer itu, deh, Dan. Dia bilang ke Mbak, kalau kamu tanyain laporan kamu, ada di dia. Kamu coba cari aja orangnya.”
Aku menghela napas pendek dengan putus asa. Apa tidak ada satu hal yang mudah hari ini?
Aku menggumamkan terima kasih kepada Mbak Gina dan berjalan keluar dari perpustakaan dengan sisa-sisa tenagaku.
Aku lemas, otot-ototku terasa ngilu semua, kakiku sakit, dan aku hanya ingin laporan Komunikasi Bisnis-ku ada di tanganku sekarang juga. Aku bahkan tidak membawa soft file-nya sehingga aku tidak bisa mencetaknya di warnet terdekat.
Karena lebih baik bertemu lagi dengan Jordi dibandingkan tidak mengumpulkan laporan, aku melangkahkan kakiku menuju koridor Jurusan Teknik Komputer di dekat tempat parkir.
Sulit mengenali mahasiswa jurusan itu karena saat itu bukan jadwal memakai seragam jurusan masing-masing sehingga selama sepuluh menit aku hanya berkeliling dan tidak menemukan Jordi di mana-mana.
Aku sudah hampir putus asa ketika akhirnya menemukan
Jordi di ujung lorong yang nyaris tersembunyi di balik tumpukan kursi, tengah diceramahi oleh seorang dosen. Aku mendekati Jordi dan menunggu dengan sabar. Dari balik bahu dosen yang tengah menceramahinya, tatapan Jordi menangkapku sehingga aku menggumamkan “cepetan” tanpa suara. Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima sementara aku harus menjilid laporanku yang pasti sudah tidak jelas bentuknya.
Akan tetapi, Jordi justru sengaja menyulut amarahku dengan mengulur-ulur waktu. Jika semula hanya mengangguk angguk tanpa menjawab, kini mendadak dia menanyakan berbagai macam hal yang tidak jelas kepada dosennya. Aku memelototinya berkali-kali dengan perasaan dongkol. Cowok itu benar-benar menguras habis amarahku hari ini. Jika saja menyela omongan orang yang lebih tua bukanlah hal yang dianggap tidak sopan, aku pasti sudah menyeret Jordi dari depan dosennya.
Entah sudah embusan napasku yang keberapa sampai akhirnya Jordi mendatangiku dengan tatapan bertanya. Tanpa membuang-buang waktu, aku mengulurkan tanganku untuk meminta laporanku.
“Apaan?” tanyanya seperti orang bodoh.
Kutarik ucapanku mengenai Jordi yang nakal dan playboy.
Dia ini bodoh kelas satu. Dan, aku tidak tahu mengapa aku bisa-bisanya berdiri di depannya dengan kesabaran yang tinggal setipis benang seperti sekarang ini.
“Laporan gue. Dan, jangan berani-berani bilang kalau lo enggak tahu di mana laporan gue,” ucapku kesal karena harus berlomba dengan waktu.
“Oh. Laporan lo. Ada di kelas. Di tas gue.”
Jordi melewatiku dan masuk ke kelasnya. Dengan tidak sabar, aku mengikuti dan menungguinya yang berubah menjadi superlambat ketika mengambil laporanku dari dalam tasnya.