Putus

Bentang Pustaka
Chapter #3

Chapter 3

AKU tidak pernah merasa nyaman berlama-lama di dalam suatu pesta pernikahan yang bukan pesta saudaraku. Tidak ada yang kukenal, dan yang kulakukan sepanjang acara hanyalah berdiri di dekat tembok dengan segelas cola sambil memperhatikan para orang tua dengan berbagai macam jenis pakaian berlalu-lalang dan mengobrolkan hal-hal yang membuatku mengerut-kan alis. Karena Tante Erna itu salah seorang teman arisan ibu-ku, sudah pasti teman-teman arisannya yang lain juga datang dan mereka akan mulai bergosip sambil berkeliling mencicipi makanan. Ayahku sendiri mungkin sedang di luar, mengobrol dengan sesama pria yang baru dikenalnya.

Satu-satunya yang menjadi penyegar mataku di antara kerumunan orang ini adalah Lucky. Aku ingat namanya sekarang. Dia adik Lilian yang baru saja lulus dari kuliah Arsitek-tur-nya dan sekarang tengah berbincang serius dengan seorang pria paruh baya. Wajahnya masih setampan yang kuingat kali terakhir­. Malah, mungkin semakin tampak matang dengan raut wajah serius khas pemikir. Badannya yang ramping, sangat sempurna, menggunakan setelan jas abu-abu. Aku ingat dulu pernah dikenalkan oleh Ibu ketika Lucky datang ke rumah un-tuk mengantar­ Tante Erna. Kami pernah mengobrol sebentar dan dia benar-benar cerdas sekaligus enak diajak bicara.

“Serius? Lucky? Dia selera lo?”

Tatapanku beralih dari Lucky menuju ke arah kanan, tem-pat suara berat itu berasal. Jordi Fabian bersandar di sebelahku dengan wajah serius, tepat ke arah Lucky. Aku nyaris menjatuh-kan gelasku seandainya tidak ingat kalau aku sedang berada di tengah kerumunan orang banyak.

Aku sadar, akan tampak seperti orang bodoh jika aku mem-bulatkan bibirku dan memelototkan mataku karena kaget. Maka, aku hanya menaikkan kedua alisku dengan tatapan­ yang tidak terlalu tertarik kepada Jordi meski dalam hati aku kaget setengah mati. Jordi yang berada di sebelahku ini tidak seperti Jordi yang selalu kulihat dulu. Dia me­ngenakan celana bahan hitam, kemeja biru dongker tanpa cela yang dimasukkan dengan rapi ke celananya, lengkap dengan ikat pinggang kulit yang me­ lingkari pinggang langsingnya. Rambutnya disisir rapi ke be-lakang sehingga menampakkan jidat lebarnya yang sempurna. Dan, dia sedang menatapku dengan tatapan jenakanya.

“Jadi?” tanyanya sementara aku kembali menyandarkan diriku dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan kehadir­ an Jordi di sebelahku.

“Iya, Lucky. Dia tipe gue. Masalah?” ucapku sinis sambil melirik sekilas ke arahnya.

“Dia pemikir akut,” jawab Jordi seakan-akan itu adalah hal yang aneh.

“Apa masalahnya sama cowok pemikir? Itu tandanya dia bisa lebih teliti saat nanganin masalah.”

Lucky memang tidak masuk tipeku. Namun, dia enak dilihat dan bisa mengalihkan kebosananku di pesta ini. Atau, setidak­ nya itu bisa membuat Jordi kesal karena itu nada yang kutangkap darinya sejak tadi ketika membicarakan Lucky.

“Dari Dilan ke Lucky? Come on, you’re not really that despe­ rate.”

Ucapannya berhasil membuatku menoleh dan memelotot-kan mataku ke arahnya.

“Pardon me?”

You know what I mean. Lo lihat Lucky, dia jauh di bawah Dilan­. Dilan itu lebih ....”

Aku bahkan tidak mau repot-repot mendengar ceramah Jordi tentang mantanku yang sangat dipujanya itu. Aku bergegas pergi meninggalkannya, tapi sepertinya Jordi tidak mau menyerah dan mengikutiku. Dia memegang sikuku tepat di tengah ruangan.

Come on, apa yang salah dari ucapan gue? Dia itu geek dan lo tahu Dilan. Dia ....”

Aku menepiskan tangannya yang memegang sikuku. Sekali lagi aku meninggalkannya. Aku butuh udara segar karena emosiku terancam meledak. Namun, Jordi masih mengikutiku sehingga aku memutuskan untuk berbalik ke arahnya dan mendahuluinya bicara.

“Apa, sih, masalah lo?” tanyaku mendesis.

Dengan menyebalkan, dia hanya mengedikkan bahunya dan menggeleng sekilas. “Enggak ada.”

Then stop acting so annoying! Gue bahkan bisa ngasih lo skor sepuluh karena dua menit pertama setiap gue ketemu lo, lo selalu berhasil bikin gue hampir mati kecekik amarah gue sendiri.” “Nah, itu masalah lo. Kenapa amarah lo gampang ba­nget kepancing, padahal gue enggak pernah mancing lo buat marah.” Hebat Jordi ini. Bisa-bisanya dia bersikap innocent, padahal sudah jelas-jelas dia menyinggung hal yang kubenci dan selalu kuhindari.

“Dengar. Gue bahkan enggak tahu kenapa lo ada di sini, tiba-tiba berdiri di sebelah gue dan bilang secara enggak langsung kalau selera gue rendah karena suka sama Lucky. Gue bisa aja nyebutin sejuta alasan kenapa Lucky jauh lebih baik daripada Dilan yang gue juga enggak tahu kenapa lo bela mati-matian di depan gue. Tapi, karena gue yakin lo enggak punya waktu sebanyak itu buat dengerin sejuta alasan gue itu, gue enggak akan nahan lo buat tebar pesona sama cewek-cewek lain di sini. So, excuse me. I’m gonna go.”

Aku berjalan membelah kerumunan untuk keluar dari ge-dung agar bisa menarik napas panjang yang saat ini kubutuhkan. Rasanya kepalaku sudah dipenuhi asap berkabut karena ucapan Jordi yang menyebalkan. Aku baru saja menyandarkan tubuhku di tembok ketika kulihat Jordi menghampiriku. Hal yang kubutuhkan saat ini adalah menjauh dari laki-laki sok tahu itu, tapi dia mencegatku.

Aku berhenti hanya untuk melirik ke arah Jordi sesaat yang sekarang sudah di sebelahku. Dia menaikkan kedua alisnya ke-padaku sebelum aku membuang muka. “Oke, Lucky memang bukan tipe gue. Maksud gue, dia memang ganteng, tapi gue pasti akan bosan sama cowok genius kayak dia. I saw him many times because he was the best looking guy around those old people.”

Jordi menyenggol bahuku dengan bahunya. “Lo bisa ngelihatin gue kalau lo suntuk sama acara kayak gini. Gue, kan, enggak kalah ganteng dari Lucky.”

Entah sejak kapan amarahku pada Jordi sudah menguap dan aku mendapati diriku terkekeh. “Ini, ya, rayuan lo yang ter-kenal itu? Enggak ada yang lebih oke daripada ini?”

“Are you ready for the better one? Jangan buru-buru gitu. Nanti lo terpesona sama gue sebelum waktunya.”

Aku mendengus di antara kekehanku. “Dasar narsis.” Aku berhenti sesaat dan bergeser sedikit untuk melihatnya. “Lo sama Lucky musuhan, ya?”

Jordi melipat kedua tangannya ke depan dadanya dan menggeser sedikit sandarannya seperti yang kulakukan sehingga posisi kami menjadi berhadapan.

“Sebaliknya. Dia justru teman gue.” Aku mengedutkan alisku. “Jangan mikir gue jahat dulu. Lebih tepatnya, dia itu tetangga gue karena rumahnya persis di seberang rumah gue. Waktu kecil kami sering main bareng. Sekarang juga masih, tapi enggak sesering dulu karena kami sibuk kuliah dan masing-masing punya kesibukan sendiri. Dia sebetulnya baik, tapi agak kaku dan pemikir sejati. Namun, bagi gue dia udah kayak abang sendiri.”

Lihat selengkapnya