Betahun-tahun menjalani masa perkuliahan, siapa yang tidak sabar menantikan datangnya hari wisuda? Kalau kalian mengira gue adalah salah satu orang yang menunggu momen tersebut, dugaan kalian salah. Karena gue sama sekali enggak tertarik dengan toga dan berbagai pernak-pernik kelulusan lainnya. Setelah beberapa bulan lalu gue yudisium, hari-hari yang gue jalani sampai saat ini rasanya hambar.
“Arjae, kuliah lu udah selesai, enggak perlu belajar dan memusingkan skripsi yang membuat pikiran jadi stres. Bukannya bersyukur, malah ngeluh.”
Gue selalu teringat dengan kata-kata yang pernah diucapkan Brian. Apa yang ia katakan memang ada benarnya. Tapi jika dibandingkan dengan kondisi sekarang ini, kalimat, “Enggak perlu belajar dan memusingkan skripsi yang membuat pikiran lu jadi stres,” kurang enak didengar oleh kedua telinga gue.
Gue Arjae Pratama, seorang lulusan akuntansi yang sebenarnya enggak menyukai angka-angka beserta hitungan dan teori akuntansi lainnya. Katakanlah gue ini mahasiswa salah jurusan, hanya dengan modal ingin bertanggung jawab atas pilihan gue, maka gue mencoba menggeluti bidang ini walaupun setiap hari ketidaknyamanan yang dirasakan menyiksa gue.
Bersama kedua teman gue, Sigit dan Winaldo, akhirnya kita lulus lebih cepat dengan kurun waktu tiga setengah tahun. Entah kebaikan apa yang telah gue lakukan dimasa lalu, hingga dewi keburuntungan sudi berpihak pada gue. Iya, beruntung gue bisa mengikuti jejak Sigit dan Winaldo, dua mantan mahasiswa yang dulunya memiliki pengaruh besar dijurusan akuntansi. Kalau dipikir-pikir, ajaib juga ya otak gue bisa mengimbangi otaknya mereka berdua.
Awalnya gue mengira kalau gue akan berakhir seperti dua teman gue lainnya, yaitu Brian dan Dewan. Karena merasa memiliki nasib yang sama (sama-sama ada di jurusan yang salah), hal ini lah yang membuat kita bertiga lebih kompak ketika semester awal perkuliahan dulu. Ketika itu Dewan pernah bilang, “Bang, gimana kalau kita bertiga sidangnya terakhir? Yang lain udah siap-siap mau kerja atau nikah, kita masih sibuk sama skripsian.”
“Santai aja Wan, yang penting kita lulus. Jangan bandingkan proses yang kita jalani ini dengan prosesnya orang lain, enggak guna, Wan. Malah menambah beban pikiran.” Jawab gue sesudah mengepulkan asap rokok ke udara.
Saat itu gue masih menjadi mahasiswa semester tiga, yang terkadang acuh dengan urusan perkuliahan. Mau berapa pun IPK gue, yang penting gue lulus. Memandang remeh pada setiap mata kuliah karena merasa aman dengan kehadiran Sigit dan Winaldo yang selalu sedia membantu gue untuk belajar atau memberikan contekan.
Seiring berjalannya waktu pandangan gue pun berubah. Mengandalkan teman disaat gue sedang kesusahan, bukan hal yang harus dipertahankan. Suatu hari, satu persatu diantara mereka akan pergi untuk melanjutkan hidupnya masing-masing tanpa perlu melibatkan gue. Dan gue enggak bisa terus memaksa mereka untuk terus hadir di samping gue, mau enggak mau, suka tidak suka gue harus bergantung pada diri gue sendiri.
Begitulah pertama kali gue mencoba untuk bangkit dari ketidakpedulian dalam hidup gue. Perlahan, IP dan IPK gue terus meningkat. Sampai akhirnya nilai IPK gue sama dengan Winaldo. Tekad gue pun semakin hari semakin membulat, kalau gue harus cepat lulus dengan nilai dengan yang memuaskan. Biarpun enggak bisa menyaingi IPK Sigit, setidaknya seimbang dengan IPKnya Winaldo.
Berbangga diri atas pencapaian yang gue dapatkan selama masa perkuliahan bukanlah hal yang salah kan? Setelah sidang dan yudisium, usaha yang telah gue lakukan berbuah manis. Semuanya berjalan lancar, sesuai dengan ekspetasi gue ketika semester tiga dulu.
Sayangnya, Tuhan enggak seterusnya memberikan kelancaran untuk gue. Target untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah, ternyata gagal. Gue menganggur cukup lama, makanya gue agak tersinggung dengan perkataan Brian yang sudah gue sebutkan diawal cerita.
Sampai datangnya wisuda pun, gue belum juga mendapatkan pekerjaan. Demi Tuhan, menghadapi kenyataan sudah lulus dari kampus dan harus segera mendapatkan pekerjaan merupakan hal yang sangat memusingkan juga berat dibandingkan dengan mengerjakan tugas kuliah beserta skripsi disemester akhir.
Dalam masa-masa seperti ini, gue harus menutup telinga rapat-rapat agar enggak mendengar omong kosong para tetangga dan teman-teman gue yang lain. Dan menyiapkan semangat serta mental sekuat baja agar enggak kalah dengan diri sendiri maupun keadaan.
“Senyum dikit Jae, cemas banget wajah lu. Udah kayak peserta uji nyali lagi ketemuan setan aja lu.” Brian yang sudah siap memotret kami berlima menggunakan tangannya yang panjang pun terganggu dengan ekspresi wajah gue.
Gue menghela napas, “Mau cemas, mau cemberut, atau mau bagaimanapun ekspresinya, wajah gue tetap ganteng dan rupawan, Bri.”
“Lawak ah Bang, tampang kusut kayak gitu lu sebut rupawan?” Dewan yang ada di samping gue pun turut mengomentari penampilan gue. “Bayangkan Bang, seandainya Teh Fani tiba-tiba nyari lu gimana? Terus ngajak foto bareng. Pasti dia mendadak menjauh, karena saat setiap orang berlomba-lomba untuk terlihat ganteng dan cantik, lu malah masa bodoh dengan penampilan lu, Bang.”
Tangan gue refleks menutup mulut Dewan, “Bawel banget sih lu. Iya, okay, gue senyum nih.”