Puzzle

Diah Puspita Sari
Chapter #2

Bab 2

“Ketoprak, ketoprak, ketoprak!”

Teriakkan seorang laki-laki bersuara bariton yang diiringi bunyi piring beradu dengan sendok mampu membangunkan gue yang masih terlelap tidur ketika matahari sudah menampakkan sinarnya. “Bang Arjae kalau enggak ke sini juga, ketopraknya gue kasih ke anjing peliharaan tetangga sebelah nih.”

Gue masih berbaring di kasur, dan Dewan bersikeras membangunkan gue agar segera datang ke meja makan untuk sarapan bersama ketiga orang lainnya.

“Ngaco lu, mana ada anjing doyan makan ketoprak. Anjing sukanya tulang, Wan,” ujar gue sambil mengucek kedua mata.

“Ya kalau anjing tetangga sebelah suka makan tulang, sejak pertama lu tinggal di sini udah dikejar dan dilahap habis sama itu anjing, Bang.”

Kurang ajar anak bontot yang satu ini, secara enggak langsung dia sedang mencibir perawakan gue yang mengandung sedikit lemak dan daging. “Dewan, gue ke sini mau makan. Bukan mau berantem sama lu.”

Dewan langsung menyodorkan piring yang di atasnya terdapat sebungkus makanan berisi lontong, tahu, bihun, bumbu kacang dan bahan pelengkap lainnya. “Masih pagi Bang, jangan marah-marah ah. Gue kasih ketoprak spesial yang disponsori oleh Bunda.”

“Bunda lu yang bikin? Terus ini ketoprak dikirim dari Cimahi ke Bandung?”

“Anjir delivery ketoprak dari rumah Dewan di Cimahi menuju kontrakan kita di Bandung. Yang ada bentukannya udah abstrak kali Jae. Susah ya ngajak ngobrol orang yang nyawanya belum kekumpul kayak lu sekarang ini.” Bukannya Dewan yang menanggapi, eh malah mulut julidnya Winaldo yang menjawab pertanyaan gue.

“Oh, Dewan baru dapat transferan dari Bundanya? Terus Bunda nyuruh Dewan beli sarapan buat kita-kita? Begitu?” Gue berusaha untuk mengerti.

“Nah akhirnya, paham juga lu.” Winaldo sedikit melirik gue sambil melahap kerupuk yang baru ia taburkan ke piringnya.

“Makanya kalau ngomong yang jelas dong,” timpal gue sambil duduk di samping Brian.

“Aduh, di depan makanan itu enggak perlu ribut-ribut! Jelek tau.” Sigit memang biasa melerai perdebatan diantara kita berempat, khususnya gue dan Winaldo. Dia memang bisa diandalkan menjadi penengah, makanya enggak heran kalau seorang Sigit terlihat penuh dengan wibawa karena jiwa kepemimpinannya itu.

Gue, Dewan, dan Winaldo memilih untuk enggak bersuara dan melanjutkan sarapan. Keadaan pun menjadi sunyi, hanya didominasi oleh suara kunyahan kerupuk dari mulut masing-masing.

Waktu telah berlalu sekitar sepuluh menit, dan gue yang pertama kali menyelesaikan sarapan. Padahal gue orang terakhir datang. “Kotorannya langsung buang ke tempat sampah, piringnya simpan di bak pencucian.”

Sejak pertama kali kita memutuskan untuk mengontrak, kita memiliki jadwal masing-masing untuk membereskan pekerjaan yang ada di rumah ini. Sebenarnya gue sudah kebagian mencuci piring dua hari yang lalu, namun waktu senggang yang dimiliki gue sangat panjang, gue pun memutuskan untuk membersihkan piring lagi hari ini.

Tangan kanan Brian sigap menyentuh dahi dan mengecek suhu tubuh gue apakah normal atau tidak, “Enggak panas kok.” kata Brian. Ia pun mengguncang-guncangkan tubuh gue sekuat tenaga. “Jangan-jangan lu kesetanan ya? Sadar Jae, sebelum gue panggil pak ustad dan merukiah lu−”

Gue langsung berdiri dan menjauh dari Brian, “Giliran gue lagi baik, malah dianggap kesetanan. Cepet ah, pada mau diberesin enggak nih sisa makanannya? Sebelum gue berubah pikiran.” tegas gue sambil melihat mereka bergantian.

Sigit memberikan isyarat pada Brian, Dewan, dan Winaldo untuk bergegas mengabiskan makanan yang ada di piring. Sekitar sepuluh menit kurang, akhirnya mereka menyelesaikan santap paginya.

“Ada yang bisa ambilkan gelas kotor di ruang tengah enggak? Bekas minum kopi semalem,” tanya gue yang sudah melancarkan aksi untuk membersihkan alat makan yang kotor.

“Di kamar gue juga ada satu, siapa pun tolong ambilkan dong. Gue udah pake sepatu nih, tanggung kalau mau dilepas lagi.” Sigit yang mendengar suara keras gue pun menjawabnya dengan berteriak juga. Sebentar lagi Sigit sudah harus berangkat menuju kantornya.

Berkat usahanya sewaktu kuliah dulu, ia menjadi satu-satunya orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap menjadi seorang staf akuntansi di salah satu perusahaan ternama di Indonesia yang memiliki kawasan di Bandung.

Padahal Sigit bercerita pada gue waktu itu, kalau ia akan menetap lagi di Surabaya untuk mencari kerja di sana. Sekalian menjaga kedua orang tuanya. Tetapi, karena ia mendapatkan tawaran dari salah satu dosen yang ia kenal di kampus, maka dari itu dia memutuskan untuk kembali ke Bandung dan berpisah dengan kedua orang tuanya.

Entah mereka berpura-pura atau benar-benar enggak mendengar ucapan Sigit, maka tiada satu pun orang yang menolong Sigit. Akhirnya, gue selaku seksi cuci piring pun memasuki kamar Sigit dan mengambil gelas kotor yang Sigit maksud. Ia pun enggak langsung pergi, tetapi memastikan apakah gue sudah mendapatkan gelas yang ia maksud atau belum. “Ketemu Jae?” tanyanya dari ambang pintu saat melihat gue keluar dari kamarnya.

Gue mengangkat gelas ke udara sambil menggoyangkannya pelan. “Udah sana berangkat Git, kalau kena macet jangan ngedumel di grup chat loh.” Gue mengusir Sigit secara halus.

“Hahaha, gue enggak punya tempat ngeluh lagi selain Tuhan dan kalian. Maklumilah. Gue berangkat ya! Semangat Arjae untuk hari ini, semoga segera mendapatkan kabar baik!”

Entah sudah berapa kali Sigit mengucapkan kalimat semoga segera mendapatkan kabar baik untuk gue setiap kali ia akan berangkat kerja. Pernah ada yang mengatakan, kalau ucapan itu bisa menjadi sebuah doa. Maka dari itu gue tidak henti-hentinya mengaminkan setiap kalimat positif yang diucapkan Sigit untuk gue. “Hahaha iya, aamiin Git, aamiin. Hati-hati bro!”

Gue kembali ke dapur, disambut dengan Winaldo yang sedang berjongkok di depan kulkas. “Ngapain lu?” tanya gue sambil menendang pantatnya pelan.

“Aduh!” pekik Winaldo karena posisi jongkoknya yang goyah membuat dirinya jatuh dan badannya masuk ke dalam mesin pendingin berbentuk balok itu. “Lembut sedikiiiit, aja sama gue bisa enggak Jae?” Winaldo berdiri sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur bagian dalam kulkas.

“Ya elu, pagi-pagi ada aja tingkahnya.”

“Gue lagi ngadem Jae, pagi-pagi udah hareudang gini.” Winaldo menggerak-gerakkan tangannya menyerupai kipas.

Gue menggeleng, melihat Winaldo dari atas sampai bawah. Tumben kok belum rapi? Biasanya jam segini dia udah wangi kayak konter parfum. Enggak lupa dengan rambutnya yang kaku dan tegak seperti duri landak karena pomade yang ia minta dari Brian. “Kipas angin di depan nganggur Win, kenapa harus ngeribetin diri sendiri?”

“Irit atuh Jae, kalau nyalain kipas angin, listriknya kesedot. Boros,” Antara perhitungan dan hemat, tingkah Winaldo yang aneh pun kembali berulah demi menghemat biaya agar bisa tinggal dengan tentram di kontrakan ini.

Kumaha maneh weh,” adalah kata yang terucap dari mulut gue ketika gue sudah benar-benar pusing dengan kelakuan Winaldo.

“Arjae, Arjae!” panggilnya kemudian saat gue sudah menghiraukannya. “Pas wisuda lu enggak jadi ketemu Fani?”

Oh gitu, keberadaan dia di sini ada maksud tertentu ternyata. Menanyakan Fani pada gue.

“Enggak keburu,” jawab gue singkat.

“Gue kan udah bilang, cari dia. Temui dia. Dia juga enggak bakalan merendahkan keadaan lu yang sekarang, Jae.” Winaldo menutup pintu kulkas, ia mendekati gue. “Mana dia nanyain lu terus. Ketemu gue nanyanya lu. Ketemu Sigit, eh dia nanya juga Arjae mana kok enggak keliatan.”

Mengetahui kalau Fani mencari keberadaan seorang Arjae Pratama, rasa geer yang sudah lama bersembunyi di bagian tubuh gue, kini muncul kembali. Dapat gue simpulkan, bahwa kehadiran gue dapat memberikan arti bagi Fani. Tetapi gue enggak bisa terus dekat dengan dia karena kondisi gue saat ini. Ya walaupun Fani tidak berharap lebih, karena sampai saat ini dia menganggap gue hanyalah teman. Entah karena dia belum bisa move on dari Brian, atau dia lebih memilih untuk mengunci rapat hatinya dari lelaki yang ingin menjangkaunya, termasuk gue.

“Win, gue pun maunya begitu. Tapi, kalau otak dan hati gue enggak sinkron gimana? Hati gue pengin bertemu dia, tetapi otak gue bilang, ngapain anjir? Malu-maluin diri sendiri, Arjae. Enggak punya modal apapun, berani banget buat terus deket sama dia.”

Dengan sedikit berjinjit, Winaldo merangkul pundak gue, “Jae, lu sadar enggak kalau pikiran lu itu sangat toxic? Toh Fani aja enggak berpikir begitu.”

Hembusan napas gue terdengar gusar. Enggak mampu lagi untuk menjawab semua ucapannya Winaldo.

“Padahal Fani pas wisuda kemarin cantik, sayang lu enggak lihat Jae.”

Lihat selengkapnya