Puzzle

Diah Puspita Sari
Chapter #3

Bab 3

Stok kesabaran gue sepertinya semakin menipis. Gue hampir meledak, hanya karena lelaki yang ada di samping gue sekarang. Kurang lebih sudah tiga jam waktu yang dihabiskan untuk mengajarkannya tentang akuntansi yang akan dijadikan bahan wawancara dan tes kerja bagi Brian besok.

“Jae, gue harus gimana? Otak gue enggak tertarik sama hal beginian, makanya jadi susah mikir. Kesel gue sama diri sendiri.”

Gue paham dengan apa yang Brian rasakan. Berusaha untuk mengerti suatu materi, namun pada kenyatannya menyiksa diri. Percayalah, walaupun mampu, pada kenyatannya gue sering mengeluh karena bidang yang tengah gue geluti ini. Andai saja rasa tanggung jawab yang gue miliki hanya secuil, mungkin gue sudah bermalas-malasan seperti Brian. Enggak perlu capek-capek belajar hal yang gue tidak suka.

“Kalau mau berusaha, lanjut. Kalau menyerah ya silahkan, lu yang menjalankan hidup. Lu sendiri yang menetukan arah kemana kaki lu akan melangkah.”

Gue berusaha untuk terlihat netral, walaupun dalam hati rasanya begitu getir ketika tahu Brian mendapatkan panggilan kerja lebih dulu dibandingkan gue.

Kalau gue dihasut setan, mungkin gue sudah mempengaruhi Brian untuk menyuruhnya berhenti saat ini juga. Gue masih merasa resah saat otak gue berpikiran kalau nanti gue enggak punya teman untuk berjalan beriringan lagi. Seharusnya, gue sudah bisa menghilangkan ketakutan atas ketidakpastian yang sering melayang dipikiran gue. Seperti yang pernah gue katakan pada awal cerita. Mau enggak mau, suka enggak suka, gue harus bergantung pada diri gue sendiri. Walaupun realitanya sulit.

“Bahkan gue juga enggak tau, langkah mana yang harus gue tuju, Jae…” Brian putus asa. Ternyata suatu hal yang gue anggap sebagai kabar baik, bagi Brian terasa seperti beban. “Bodo amat ah, kumaha isuk we. Kalau gue bisa ngerjain syukur, kalau enggak yaudah masih banyak kok tempat yang mau terima wajah ganteng gue. Lagian, gue enggak berharap untuk kerja di sana kok.” Gue tahu Brian sedang gugup, tapi ia masih sempat untuk mengagungkan ketampanannya.

Brian terus menggerutu, dan tanpa sadar mata gue terus memandanginya. Lama-lama menatap lelaki berhidung mancung dan bermata elang ini membuat gue berpikir, Brian adalah manusia yang sempurna. Entah dari keluarga, percintaan, atau bentuk tubuhnya. Pertemanannya pun enggak buruk, dia memiliki gue, Sigit, Winaldo, dan Dewan. Serta relasinya terjalin luas di luar sana. Sebenarnya jika dia meminta pekerjaan langsung pada ayahnya, pasti dia langsung mendapatkan posisi.

Sedangkan gue, di sini…

Masih sibuk memperbaiki diri yang enggak kunjung menjadi baik. Menyusun berbagai rencana hidup yang ujung-ujungnya masih belum terlaksana.

“Intens banget ngeliat guenya. Kenapa Jae? Lu kagum sama gue?!! Atau maneh bogoh ka urang?” Brian menoleh, senyum jahil tersungging di bibirnya.

“Ih, najis. Mending gue jomblo menahun daripada gue harus menjatuhkan hati gue untuk lu.” tolak gue mentah-mentah. Tapi sebenarnya ada yang tiba-tiba terpikirkan oleh gue. Jika gue diciptakan sebagai seorang perempuan, secara naluriah gue akan menyukai dia. Itu cuma sekelebat pikiran random gue aja kok. Kenyataannya wajah gue langsung berpaling dari tatapannya Brian. Tangan gue pun mengepal sambil mengetuk-ngetuk meja dan kepala bergantian sambil mengucapkan, “Amit-amit jabang bayi, gue masih normal.”

“Awas jadi doa Jae, jangan sembarangan ngomong.”

“Asal lu enggak mengaminkan mah aman,” gue memungut kertas-kertas materi yang berserakan di lantai. Maklum kita belajarnya sambil lesehan.

“Kalau diaminkan sama malaikat, masih aman juga?”

Seperti prajurit yang siap melawan musuh, gue pun menjadikan kertas yang ada di tangan gue sebagai senjata untuk menghajar Brian. “Enggak usah nakut-nakutin ya lu, mentang-mentang punya Syifa belagunya selangit. Minta belajar sama Syifa sana, teu kudu menta belajar deui ka urang, teu kudu!” ucap gue begitu berapi-api.

“Kan udah selesai belajarnya, terimakasih untuk materi hari ini pak dosen. Bye.” dengan sekejap Brian pun sudah pergi dari kamar gue. Emang enggak tahu diri tuh orang, tiba-tiba pergi dan enggak mau bantu gue untuk membereskan kertas-kertas serta buku yang sudah ia pakai untuk belajar.

“Makasih doang?” teriak gue pada Brian yang saat itu sedang berjalan menuju kamarnya.

Lihat selengkapnya