Ketika Calista sedang sibuk di perpustakaan dengan berbagai macam buku dihadapannya, muncul-lah Ara dengan The Angel. Mereka mengacaukan waktu genting Calista. Kini mereka tepat berada di hadapan Calista, namun semuanya diabaikan. Calista sibuk menorehkan tinta emasnya di kertas putih nan suci. Silly langsung bercuap-cuap tanpa menunggu dan mengulur waktu. Calista menolak ajakan Silly untuk pergi ke kantin, sebab Calista tau mana yang merupakan prioritas di hidupnya. Pendidikanlah yang sangat utama bagi dirinya bukan hanya popularitas dan ketenaran semata sebab itu tak berguna hanya akan terbuang sia-sia pada waktunya . Cepat atau lambat dunia akan membuktikan kebenaran dan membalikkan perbuatan kita. Oleh sebab itu Calista lebih menempatkan diri pada pendidikan agar nantinya dapat bermanfaat bagi orang lain. Meskipun dirinya sangat mencintai dance tetap pendidikanlah yang menjadi topangan hidupnya.
Ara geram dengan sikap Calista yang membuat peraturan sendiri. Lantas dirinya mengeluarkan senjata yang dapat mengatupkan mulut Calista rapat-rapat. Diambil handphone kesayangannya dari sweater pink yang ia kenakan lekas memutarkan sebuah video dihadapan Calista. Calista tergelegap tak percaya, dirinya semakin membulatkan mata dan menatap dengan seksama. Dirinya sangat malu, sedih dan kecewa. Tetapi rasa marah yang menggebu dapat mengalahkan segalanya. Calista marah, dirinya bercuap diluar kendali. Namun Ara tak mau disalahkan, kini umpannya sudah berhasil menangkap satu nyawa. Ara terlihat tersenyum bangga. Dengan hati yang sangat terpaksa, Calista menutup dan merapikan bukunya serta ikut gabung bersama mereka.
‘Ya ampun kenapa gua bisa terjebak? Terpaksa gua ikutin kemauan mereka dari pada reputasi gua hancur. Ya Tuhan sampai kapan harus begini? Harus terkekang dalam pergaulan yang salah. Ga mungkin kalau terus-terusan nurut sama mereka. Gimana caranya bisa lepas? Minta bantuan sama siapa?’ umpat Calista dalam hati ketika dirinya berjalan diantara mereka. Tanpa ia sadari, sedari tadi ketika dirinya sibuk berbicara dalam hati banyak sepasang mata yang memperhatikannya. Seketika nama Calista melambung setinggi awan seantero campus. Tak disangka, dunia penuh dengan keajaiban. Mereka yang berharap dapat berdiri diposisinya namun mereka pula yang harus dihempas jauh. Namun Calista yang tak berharap, malah ia yang mendapatkan kesempatan itu.
Ternyata di kantin sudah ada Nicho, Erlangga, dan Ferrel. Mereka terlihat asik dengan kebersamaan yang mereka buat. Calista memang senang jika harus berjumpa dengan Nicho, tapi entah kenapa kali ini ia tidak ingin berjumpa dengannya. Ia mencoba menghindar dengan alasan pergi ke toilet, tapi hal itu segera dicegah oleh Nicho! Orang yang tak ingin ia temui. Tiba-tiba Calista digandeng erat dan segera dibawa ke mobil miliknya.
Ketika sampai di mobil, Nicho segera membukakan pintu untuk Calista lalu duduk dibelakang stir. Dengan cepat tanpa sepatah katapun, ia pacu mobil itu secepat kilat. Calista sangat bingung dengan perilaku Nicho. Tak biasanya Nicho bersikap seperti itu, biasanya ia sibuk memberikan pujian pada Calista. Dengan penuh hati-hati Calista mencoba membuka percakapan ditengah suasana dingin diantara mereka.
“Nic kita mau kemana? Pelan-pelan dong bawa mobilnya!!” umpat Calista kesal menatap Nicho yang kini berada tepat disampingnya.
“Lihat aja nanti.”
Kalimat itu sangat dingin, cuek, dan menandakan jangan ada pertanyaan lagi. Oleh karena itu Calista hanya bisa diam dan menata pikiran serta hatinya yang berantakan. Kalimat Calista bukan dipatuhi tetapi di lawan. Mobil itu semakin melesat secepat kilat. Calista meresa mereka melewati jalan yang tak asing, maka ia segera memberi celah bagi matanya untuk mencari papan yang menunjukan ke arah manakah mereka akan pergi. Ternyata mereka akan pergi ke puncak.
“Nicho... Ngapain kita ke puncak?”
“Gua mau bikin lu bahagia!” jawabnya sembari menatap wajah Calista.
“Maksud lu?”
Lagi-lagi tak didapatkan jawaban dari bibir Nicho. Calista tambah bingung dan heran atas ucapan Nicho. Ketika mereka sampai pada sebuah tempat, Nicho segera membukakan pintu untuk Calista. Diraihnya jemari tangan Calista dengan membawanya menapaki jalanan yang sejuk dan penuh kebun teh. Mereka menaiki trill yang cukup berat dan sulit sehingga mereka sampai pada sebuah tempat yang amat sangat tinggi. Wajah Calista langsung berubah berbinar penuh kebahagiaan ketika didapati olehnya pemandangan indah nan hijau. Calista sangat menyukai pemandangan alam seperti deretan pegunungan yang kini tersuguhkan dihadapan pelupuk matanya.
“Apa maksud lu bawa gua ketempat ini Nic?” Calista merekahkan senyuman terindahnya. Matanya berbinar menatap ke depan. Langit yang menjulang tak jauh darinya ingin sekali ia raih, segumpalan awan seperti kapas seakan dekat dengan dirinya.
“Gua tau lu suka pemandangan,”
“Hah? Tau dari mana?” sergah Calista memalingkan pandangannya ke wajah Nicho yang kini berada tepat disisinya.
“Dari Izki.”
“Izki? Lu kenal dia?” Calista tercengang. Calista tak percaya bahwa Nicho telah menyebutkan sebuah nama yang telah lama ia lupakan. Nama yang selalu mengganggu hidupnya. Nama yang sangat membekas di hatinya. Nama yang pernah mewarnai dinding hatinya serta membuat hatinya hancur berkeping-keping. Sakit. Sangat sakit kala itu. Sakit jika harus mendengar nama itu lagi.
“Sudahlah nanti gua ceritain kok, tapi sekarang kita nikmatin dulu ya pemandangannya.” Nicho merangkul gadis disampingnya.
Mereka sangat bahagia memandangi pemandangan berdua, karena terlihat paralayang. Maka Calista segera mengajak Nicho untuk bermain paralayang. Mereka bermain paralayang bersama dan terbang diangkasa. ‘Hembusan angin menenangkan hati, pelukan Nicho menghangatkan jiwa’. Itulah umpat Calista dalam hati ketika ia didekap oleh Nicho diangkasa. Senang rasanya bila dapat terbang diangkasa bersama imajinasi dan kenyataan secara bersamaan. Kebahagiaan yang tak terkira, tak dapat dibayar dengan harta. Serta kebahagiaan itulah yang sangat membekas dihati Calista. Ketika mendarat dibawah. Nicho segera menarik tangan Calista mesra untuk mengajaknya makan di cafe. Disana mereka minum teh hangat berdua.
“Oh ya Nic … kalau gua boleh tanya. Lu kenal izki dari mana?”
“Nanti aja beib kita bahasnya.” Nicho menjawabnya dengan lembut dan mencoba mengulur waktu.
Karena hari larut malam dan hujan mulai membasahi jalan, maka Nicho memutuskan untuk mengajak Calista menginap di villa miliknya. Namun hal itu membuat Calista sangat terkejut, tak mungkin dirinya harus satu kamar dengan orang yang belum lama ia kenal. Kini Calista semakin beranggapan bahwa Nicho ingin mencelakai dirinya. Tapi dugaannya salah, Nicho mengajaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Terlebih tentang beberapa fakta dan alasan yang menjadi topangan, hingga Calista menyetujui ajakannya dan segera menghubungi ibunya.
Nicho harap-harap cemas ketika melihat Calista menelfon ibunya. Dirinya berharap ia diperbolehkan untuk menginap kali ini. Setelah memutus telefon, Calista lekas memberi jawaban pada Nicho. Betapa senangnya Nicho mendapatkan kabar itu. Akhirnya mereka segera pergi dari cafe menuju villa. Ketika sampai di villa, disambutlah mereka dengan para waitress villa itu. Villanya sangat megah nan mewah bahkan dapat dikatakan hotel.
“Gimana mas kamar pesenan saya?”
“Sudah siap tersedia, ini kuncinya Tuan.” jawab salah seorang waitress dengan memberikan dua buah kunci.
Merekapun segera menuju kekamar pesanan Nicho. Ternyata Nicho sengaja memesan 2 kamar yang bersebelahan. Masing-masing dari mereka memasuki kamar. Ketika membuka pintu, betapa terkejutnya Calista ketika melihat dekorasi ruangan yang indah dengan warna vintage. Iapun segera menuju kasur dan membanting diri diatas kasur empuk dan nyaman itu. Lega. Senang rasanya bisa beristirahat setelah seharian lelah bersenang-senang dengan orang yang dapat membuatnya nyaman. Orang yang selalu datang di kala kesepian menerpa. Orang yang menaburkan kebahagiaan dihidupnya.
*Tok.. tok.. tok..*
“Iya.” teriak Calista dari dalam kamar. Dengan kaki yang masih kelelahan serta badan yang berjalan tak karuan dirinya mencoba bangkit untuk meraih bingkai pintu yang tak jauh dari kasurnya kini.
Ketika Calista membuka pintu, Nicho lekas menelisik kamar Calista dengan sepasang matanya. “Hai Cal, boleh gua masuk?”
“Gila lu ada bell tuh ngapain ngetok pintu.” Matanya melirik ke arah bell emas yang persis berada di hadapan Nicho.
“Hehehe iseng aja.”
“Yaudah sini masuk.” Calista mengerlingkan mata sembari membukakan pintu.
Nicho segera memasuki kamar Calista, menatap ke seluruh penjuru arah dan segera membaringkan dirinya diatas kasur. Calista langsung protes, seakan tak ada yang boleh menyinggahi kasur itu selain dirinya. Sementara Nicho tak memperdulikan Calista yang sedang bersenandung ria mengeluarkan amarahnya, Nicho hanya menikmati setiap ucapan yang keluar dari bibir Calista.
Nicho menatap lekat-lekat wajah cewek di hadapannya sembari sedikit menggoda. Calista tersipu malu diperhatikan oleh orang yang mulai ia sayangi. Namun dirinya jengkel atas kelakuan Nicho, lekas Calista mengusir Nicho dengan alasan ingin membersihkan diri. Itulah yang membuat Nicho menjadi lepas kendali dan menggoda Calista untuk menemaninya mandi. Calista semakin tak tahan, rasa lengket dan kotor yang berada pada badannya kini menjadi satu dengan pikiran dan imajinasi cowok di hadapannya. Lekas Calista menarik tangan Nicho dan mendorong tubuhnya agar keluar dari kamarnya. Nicho mempersilakan Calista untuk mandi dan akan mempersiapkan baju baru untuk Calista.
Setelah 15 menit, tiba-tiba bell berbunyi. Ternyata ada waitress dibalik pintu yang bersiap memberikan baju ganti untuk Calista. Lalu dengan cepat ia ganti bajunya. Lagi-lagi bell itu berbunyi, ia berharap akan ada waitress yang datang membawakan makan malam untuknya.
“Hai Cal,” sapa Nicho memamerkan sederatan gigi putih miliknya yang dikemas dengan senyuman terindah.
Calista memasang wajah bosan, bibirnya mengerecut kecil dan kedua tangannya menyentuh perut. Seolah memberi isyarat bahwa dirinya butuh asupan gizi demi kelangsungan hidupnya. “Ah lu!!”
“Kenapa? Kok wajahnya murung pas liat gua? Laper ya?”
“Ah sotoy lu!!” sanggah Calista cepat. Mungkin lidah dapat berkata lain, namun wajah Calista yang suci tak dapat menyembunyikan sebuah kebohongan. Nicho tau pasti gadis di hadapannya tengah berada dalam keadaan yang sangat menyiksa diri yaitu kelaparan. Seharian bersama sungguh memakan energy yang ada.
“Ga usah bohong. Keliatan tuh mukanya. Udah mandikan? Ayo ikut gua!!” seraya menarik tangan Calista.
“Tunggu gua ambil tas.” Calista menahan langkah kakinya yang hampir terseret oleh Nicho lalu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Nicho.
“Buat apa? Udah ayo!”
Sampailah mereka pada cafe kecil di villa itu. Memang kecil namun menyuguhkan indahnya pemandangan malam disana. Lampu villa dibawah menyala dan taburan bintang menghiasi langit malam. Dengan cepat Nicho memesan makanan untuk mereka berdua. Ketika makanan sampai, langsung dilahap makanan dihadapannya. Calista sangat bahagia hari itu. Seusai makan, mereka berpindah tempat untuk bersantai yaitu di balkon villa.
Nicho meraih gitar yang berada tepat disampingnya dan mencoba melantunkan beberapa lagu indah untuk Calista. Sehingga Calista terbuai akan dirinya lalu jatuhlah Calista dipelukannya. Dengan dirangkul bahunya, Calista bersandar dipundak Nicho. Mereka menghabiskan malam berdua di tengah dinginnya malam.
Tanpa tersadar, Calista tertidur dipelukan Nicho. Maka segera Nicho membawanya kekamar dan memberikan kecupan hangat dikening Calista. Nichopun tak tahan melihat Calista tertidur, ingin rasanya ia melakukan niat pertamanya yaitu merusak Calista. Tetapi rasa cintanya terhadap Calista memaksa untuk melindunginya jika tak ingin kehilangannya. Entah kenapa sehari bersama Calista membuat Nicho merasakan jatuh cinta yang sebenarnya setelah berkali-kali ia mempermainkan hati wanita.
Ketika sang surya telah muncul dari kaki langit, Calistapun terbangun. Betapa herannya ia ketika didapatinya ia sedang tidur diatas kasur. Padahal semalam ia tertidur dipelukan Nicho. Setelah bingung, ia mencoba menengok ke arah pintu. Didapati oleh sepasang matanya ada sepasang baju dan roti serta susu untuk sarapannya. Ia sangat tak menyangka bahwa Nicho begitu romantis. Setelah mandi dan sarapan, Calista segera menuju kamar Nicho. Ketika akan memencet bell, Nicho keluar.
“Eh, lu! Baru mau mencet bell.” ucap Calista.
“Mau ngapain?” Nicho terlihat heran.
“Gapapa kangen aja,” Tiba-tiba kata itu terlontar dari bibir Calista tanpa ia sadari.
“Hah? Kangen? Hahah serius lu!!”
“Eh engga engga! Balik yuk.” ajak Calista dengan raut wajah salah tingkah. Pipinya kini berubah menjadi merah merona.
“Oke ayo! Udah berkemas?” Nicho menatapnya sesekali melempar pandang--mencoba mencari celah untuk sekedar melihat keadaan kamar Calista namun naas pintunya tertutup rapat.
“Sudah dong.” jawab Calista dengan riangnya.
“Oke kalau gitu ayo! Tapi sebelum pulang gua mau nunjukin satu tempat lagi yang pastinya bikin lu seneng.” Nicho menggoda, membuat Calista bertanya-tanya dan semakin penasaran akan kejutan selanjutnya.
“Tempat apa itu?”
“Udah ayo!!”
Sampailah mereka pada sebuah pintu. Calista sempat kebingungan menatap daun pintu yang kini dihadapannya. Ketika dibuka, Calista sangat kagum. Ditengah villa mewah nan megah tersimpan ruangan eksotis yang berisi ribuan buku.
“Ini tempatnya!!” Nicho membuka daun pintu yang sangat besar, dengan interior mewah berwarna emas, pintu itu semakin terlihat istimewa dibandingkan ruangan lainnya.
“Wah indah banget. Boleh ga gua masuk?”
“Oke silakan. Ini perpustakaan pribadi keluarga gua. Lu boleh minjam dan baca buku sepuasnya disini sebelum kita pulang.” promosi Nicho sembari mempersilakan Calista masuk. Calista yang masih terpukau dengan keindahan perpustakaan itu enggan berbicara, namun setelah dirinya tersedar ia bergumam.
“Kenapa lu ga ngasih tau dari kemarin?”
“Kan gua cari kondisi yang tepat beib.”
Setelah 2 jam menghabiskan waktu bersama ribuan buku, Nicho nampak bosan dan Calista merasa rindu pada keluarganya. Sehingga mereka memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Merekapun meninggalkan villa itu dengan sejuta kenangan yang tak terlupakan.
***
Ketika Nicho sedang merapikan loker miliknya, datanglah kedua sohibnya itu. Mereka memasang tampang penasaran. Mereka ingin sekali mendapatkan cerita dari bibir Nicho perihal kepergiannya ke Puncak bersama Calista.
“Hei Bro!!” sapa Ferrel sembari menepuk pundak Nicho.
“Eh gimana ceritanya? Udah lu lakuin tuh niat lu?” tanya Erlangga penuh selidik.
“Ihs apaan si lo!” Melepaskan tangan Ferrel dari pundaknya serta merta pergi meninggalkan mereka.
“Wah kenapa tuh anak?” tanya Ferrel heran pada Erlangga. Erlangga mengedikkan bahu. “Gak tau. Failed kali.”
“Weits mau kemana bos? Lu kenapa?” sergah Ferrel.
“Lu lagi ada masalah? Atau lu gagal?” sambung Erlangga.
“Gak!” jawab Nicho cuek.
“Oke.. oke.. yaudahlah yuk kita cabut aja dia lagi ga mau diganggu,” Ferrel menarik Erlangga.
“Oke kalau ada masalah bilang ya Bro!!” menepuk pundak Nicho lalu pergi.
Kedua sohibnyapun segera sirna dari pandangan mata Nicho. Entah mengapa Nicho tak ingin diganggu. Ia bingung dengan perasaannya, kenapakah sejak kejadian hari itu dirinya terus terfikirkan Calista. Bahkan sangat terobsesi untuk memilikinya bukan untuk dirusak tapi dijaga. Ia tahu sekali bahwa Calistapun merasa nyaman bersamanya. Tapi ia tak ingin membuka semua hal tentang hubungan antara ia dan Izki.
***
Ferrel dan Erlangga pergi kekantin untuk memberi tenaga bagi tubuh mereka. Ketika baru saja mereka menginjakkan kaki di pintu kantin, Ara melambaikan tangan dari sebuah meja yang penuh dengan The Angel. Ferrel yang melihat lambaian tangan Ara segera menyeret Erlangga untuk mengikuti langkah kakinya. Sontak semua mata menatap ke arah dua cowok yang sedang melintasi beberapa anak di campus. Cewek-cewek centil anggota The Angel langsung riuh melihat Ferrel dan Erlangga menghampiri mereka. Silly sibuk menata rambutnya demi mendapatkan perhatian dan pujian dari Erlangga.
Ara menatap tajam ke beberapa temannya yang nampak berlebihan. Dirinya kini mengedarkan keseluruh penjuru kantin mencoba mencari sosok Nicho diantara mereka. Ara langsung bertanya dimanakah keberadaan Nicho kini, Ferrel hanya menjawab bahwa dirinya baru saja bertemu dengan Nicho di lorong campus dan terdapat perubahan pada sosok Nicho. Ara semakin penasaran, kemanakah Nicho kemarin bersama Calista
“Jadi gini, sebenarnya kemarin mereka ke puncak. Rencana dia tuh ngajak Calista pergi kepuncak buat ngerusak Calista. Pahamkan?” Ferrel menjelaskan dan berusaha duduk diantara mereka.
Disaat percakapan hangat mereka, datanglah Calista di tengah-tengah mereka dengan wajah riang dengan beberapa buku ditangannya.
“Hai guys!! Lagi apa? Boleh gabungkan?” Calista terlihat riang, dan ia tak mendengar perkataan yang baru saja Ferrel sampaikan.