Semenjak kejadian hari itu yaitu konvrensi pers panas di Cafe Batavia, Calista dan Ferrel menjauhkan diri dari temannya. Mereka telah nyaman kemana mana berdua, ngerjain tugas berdua, makan berdua bagaikan sang kekasih. Lantas Nicho selalu terbakar api cemburu melihat sepasang sejoli yang amat erat itu. Sehingga ia memiliki niatan untuk menjauhkan mereka berdua dengan bantuan Erlangga.
Sementara The Angel sudah takut jika harus berurusan dengan Calista lagi dan dengan berat hati Ara merelakan Nicho dan Ferrel untuk Calista.
“Cal nanti balik kampus mau kemana?” tanya Ferrel di koridor.
“Ga kemana mana. Kenapa?”
“Ikut yuk ke pasar seni liat lukisan terbaru, disana keren keren loh lukisannya.” tawar Ferrel ceria.
“Oh ya? Boleh juga tuh. Ayo!” jawab Calista riang.
Disaat kedekatan mereka, tampak Erlangga dan Nicho yang sedang menjadi mata-mata. Mereka berlindung dibawah pohon, tepat ditaman kampus. Setelah mendengar percakapan singkat itu lekas Nicho mengatur ide buruknya untuk memisahkan Ferrel dan Calista. Sebenarnya Nicho senang jika melihat Calista bahagia, akan tetapi ia tidak suka jikalau Calista direbut sahabatnya.
“Lang lu dengarkan? Mereka mau ke pasar seni?” tanya Nicho sinis.
“Dengar. Terus kenapa? Apa ide lu sekarang?” jawab Erlangga dengan muka penasaran.
“Gini.. intinya tar lu mata-matain mereka ya selesai kampus. Nanti gua nyusul, lu kabarin aja nanti posisi lu dimana.”
“Emang lu mau kemana?” lirikan Erlangga menukik Nicho.
“Udah liat aja nanti, pokoknya lu lakuin aja apa yang gua suruh! Urusan wine belakangan gampang.”
“Oke deh!!”
“Yaudah ayo ke kelas keburu tuh dosen masuk.”
Erlangga dan Nicho lekas masuk ke kelas. Sedetik mereka sampai, masuklah sang dosen. Dosen itupun melihat Nicho dan Erlangga dengan sinis karena dilihatnya mereka masih menuju tempat duduk sementara yang lain sudah duduk manis di tempat. Lekas Nicho dan Erlangga menjadi terdakwa dan di interogasi.
“Hei Nicho! Erlangga! Kenapa kalian belum duduk?” tukas sang dosen dengan tatapan sinis.
“Ahh biasa pak toilet.” sanggah Nicho cepat.
“Apa yang bisa dibuktikan kalau abis dari toilet?” tanyanya lagi.
“Iii ... itu pak celana Erlangga belum di tutup,” Sontak suasana langsung ramai. Semua mata tertuju pada Erlangga terlebih didapati celananya yang belum ditutup rapat. Erlangga merasa amat malu tetapi senang karena hal itu membantu dirinya di saat situasi genting. Iapun merasa siap tak siap menerima kalimat ledekan dari teman-temannya.
“Pintar ngelak ya!!” jawab sang dosen dengan tatapan menukik. Menatap menyepelekan dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Ah ga juga pak.”
“Yasudah silakan duduk!!”
“Makasih pak.” jawab Nicho dan Erlangga serempak.
Seusai mata kuliah itu, para mahasiswa berhamburan keluar kelas. Merekapun mencibir Erlangga secara bergantian. Cibiran itu tak di perdulikan oleh Erlangga karena berkat itulah ia dapat terbebas dari sang dosen. Tanpa fikir panjang, lekas Erlangga meluncur mencari Ferrel dan Calista yang kemudian di pasar seni. Sementara itu, si Nicho sibuk mengatur rencananya.
Disaat Erlangga sedang sibuk memperhatikan sepasang sejoli itu dari jarak yang cukup dekat, didapati olehnya telfon yang berdering. Ketika dilihat dilayar handphone tertulis Nicho yang memanggil.
“Halo Nic, ada apa?”
“Posisi lu dimana sekarang?”
“Di pintu depan pasar, lagi merhatiin mereka.” Ferrel mulai mengikuti aturan main yang telah Nicho rencanakan..
“Oke gua kesitu!!” tukas Nicho lalu mematikan telfon.
Tiba-tiba Nicho menepuk pundak Erlangga. Serta menjelaskan rencana yang akan dilakukan. Ferrelpun terlihat bingung karena melihat cowok asing di samping Nicho yang datang berbarengan dengan Nicho. Raut wajah cowok itu sangat dingin. Penampilannya pun terlihat aneh, karena mengenakan jacket yang cukup tebal dibawah teriknya sang mentari.
Setelah usai menjelaskan, mereka bertiga bersiap menjalankan misi itu. Mereka seakan melihat lihat lukisan bagaikan orang lain dipasar itu. Perkataan merekapun penuh dengan kalimat seni bak seniman professional. Langkah kaki mereka bertigapun perlahan lahan mendekati Ferrel dan Calista yang sibuk melihat lukisan alam.
Calista terkejut ketika melihat Nicho dan Erlangga yang berada di pasar seni tepatnya di sebrang mereka. Calistapun sedikit berbisik pada Ferrel akan kehadiran Nicho. Ferrel segera menarik tangan Calista lembut untuk menjauhi Nicho dan Erlangga. Disaat langkah terbesit itu mencoba pergi, Nicho menepuk pundak Ferrel.
“Eh ... mau kemana? Buru-buru banget!!” Nicho membuka bibirnya dan mulai mensejajarkan langkah kaki mereka.
“Mau ke sana.” Ferrel menjawab dengan cepat sambil menunjuk arah Barat. Tangannya refleks menunjuk arah Barat, sebab ia sedang dilanda kecemasan.
“Kita bertiga gabung ya.”
“Bertiga?” Calista nampak kebingungan. Dirinya menoleh menatap Nicho lekat-lekat, mencoba mencari sesuatu yang tengah di rahasiakan.
“Iya … ini temen kita,”Nicho menjawab dengan santai sembari memberikan celah bagi Izki untuk menampilkan mukanya dihadapan Calista.
"Iz … izki!?" Calista terbata-bata karena sangat terkejut oleh kedatangan Izki. Cowok yang telah ia buang dari memori ingatannya. Cowok yang telah mempermainkannya serta melukai hatinya. Pedih. Sangat pedih bila di rasa sebab luka itu membekas. Melekat erat pada tubuhnya yang rapuh. Sementara kini ia kembali hadir dengan sangat percaya diri di hadapannya.
“Siapa dia?” Ferrel menatap Izki dengan tatapan dingin. Ferrel terkejut melihat Calista yang sedang termangu menatap wajah Izki.
“Kenalin gua Izki,” sergah Izki sembari menjulurkan tangan kepada Ferrel.
“Oke. Gua Ferrel,” Diraihnya tangan Izki untuk berjabat tangan.
“Lu … lu kok bisa di sini?” Calista mulai menginterogasi Izki.
“Ya bisalah!” jawab Izki santai dengan senyuman menyeringai. Sebelah alisnya naik ke atas menggambarkan sebuah kemenangan. Entah kemenangan apa yang ada di benak Izki, yang Calista inginkan hanya pergi menjauh dari Izki.
“Yaudahlah ga penting! Pulang aja yuk Rel, gua udah bosan disini!” Lekas ditariklah tangan Ferrel.
“Eits … mau kemana cantik?” tutur Izki sembari mencegah Calista dengan tubuhnya dihadapan Calista.
“Bukan urusan lu!!!”
“Tega ya! Gua udah datang jauh-jauh dari Bali cuma mau ketemu lu dan di perlakukan seperti ini,” Izki menatap Calista yang mulai menjauhi mereka. Calista tak kuasa jika harus membalikan badannya dan menatap kembali wajah itu. Calista terus melangkah tanpa henti. Entah takdir atau ketidaksengajaan, itu membuat Calista rapuh.
“Gak mau tau intinya lu ikut gua sekarang!” Izki mengejar Calista dan segera menarik tangannya dengan kasar. Ferrel dan Nicho serta Erlangga hanya bisa menjadi penonton di balik semua drama yang baru saja terjadi. Orang-orang di sekitar merekapun menatap dengan tatapan sinis. Berbagai argumen mulai memasuki otak mereka.
Dengan terpaksa Calista menuruti kemauan Izki. Karena ia tak ingin yang lain tau mengenai Izki. Lekas Calista di bawa ke dalam mobil oleh Izki dan mobil itu langsung melesat cepat kesuatu tempat.
“Eh Nicho! Siapa si dia?” tanya Ferrel penuh selidik. Ferrel sangat khawatir dengan keadaan Calista sebab kini ia di bawa pergi dengan orang asing.
“Lu kan udah kenalan tadi. Namanya Izki,”
“Maksud gua dia siapanya Calista? Apa hubungan diantara mereka?”
“Dia? Dia tuh mantannya Calista semasa SMA.” Nicho meninggikan suaranya.
“Lu tau dari mana?”
“Taulah orang dia sahabat kecil gua.”
Ferrel mulai mencerna keadaan yang baru saja terjadi. Ia menatap Nicho dengan tatapan menukik. “Lah terus … Sejak kapan dia tau kalau lu kenal sama mantan kekasihnya?”
“Dari awal!! Gua minat dekatin Calista juga karena semua cerita dari Izki.”
“Yasudahlah kita bahas di Cafe aja. Ga enak kalau disini.” Erlangga memutus pembicaraan panas diantara mereka.
“Yaudah ayo!!” Lekas mereka bertiga segera berangkat ke Cafe Batavia untuk membicarakan yang sebenarnya terjadi dan hubungan antara Izki, Calista, serta Nicho.
***
Ketika Calista dan Izki sampai di taman kota, mereka bergegas menuju salah satu bangku yang berbentuk kayu. Ukiran itu sangat cantik dan menipu mata, sebab ukiran kayu itu di bentuk dengan semen dan beberapa batu bata. Sungguh memiliki nilai seni yang tinggi. Calista segera duduk sejenak dan menghela nafas panjang. Kini ia membiarkan pita suaranya bergetar oleh raungan amarah yang terus menggebu di dada. Ia melempar pandang ke arah depan dan mulai berbicara.
“Apa maksud lu ngajak gua kesini?” tanya Calista kesal.
“Cuma mau menatap lu lebih lama,” jawab Izki santai. Calista tercengang mendengar pernyataan itu
“Hah! Gila! Lu tau dari mana tentang keberadaan gua sekarang?”
“Nicho.”
“Apa si hubungan antara lu sama Nicho? Kenapa lu harus hadir lagi di kehidupan gua.”
“Nicho tuh sahabat gua sejak kecil,”
“Gua ga pernah tau tentang ini. Bisa gak sih, gak usah ngeliatin gua mulu!” sergah Calista menjauhkan dirinya dari Izki yang tak henti menatapnya.
“Ya, karena dulu lu sibuk bercinta sama gua. Kenapa sayang? Takut jatuh cinta lagi?” Dipegang kedua pipi Calista dengan maksud menyuruh Calista menatapnya. Calista segera menepis tangan Izki dari wajahnya. Dulu, Calista sangat bahagia jika Izki memperlakukannya seperti itu namun kini ia sangat membenci sentuhan itu sebab semua kenangan tiba-tiba muncul dan sungguh itu membuat Calista semakin rapuh.
“Udah ah jangan ngambek, itu ada tukang ice cream. Mau gak?”
“Ga usah makasih.” jawab Calista judes. Mukanya kian memerah karena kesal, namun goresan merah di pipi sangat kontras dengan wajahnya yang putih. Sungguh merah merona dan menggairahkan.
“Ada ice cream cokelat loh!”
“Gak ah makasih. Gua mau pulang aja.”
“Yah pulang, yaudah ayo ayo gua anterin.”
“Ga usah makasih!”
“Ah masih kaku aja, udah ayo.” tangan Izki mulai liar, ia merangkul Calista.
Calista sangat risih oleh tangan Izki yang merangkulnya dengan manja. Dengan cepat tangannya melepaskan tangan Izki dari pundaknya. “Apaan sih!!”
Nicho terbesit mengikuti langkah kaki Calista, tanpa fikir panjang, ia raih jari jemari Calista dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ketika di dalam mobil, pandangan Izki terus tertuju pada Calista. Calista sangat risih terlebih tatapan itu penuh hawa nafsu. Tanpa Calista sadari, mobil mereka melesat ke jalan yang salah. Jalanan itu bukan menuju rumah Calista. Calista membentak Izki dan mengajaknya untuk segera pulang.
“Izki … Mau kemana kita? Cepat pulang!!”
“Liat aja nanti.” Senyuman tipis mulai tergambar jelas di wajah Izki. Calista jengkel dengan kelakuan Izki yang semena-mena membawanya pergi.