Sejak kejadian kala itu yaitu pertengkaran hebat antara Nicho dan Izki yang menimbulkan hujan darah, itu menjadi suatu perpisahan bagi mereka. Izki mengalah demi sahabatnya. Izki kembali ke Bali tanpa pamit pada siapapun termasuk Calista.
“Nic … Izki kemana ya? Udah seminggu ini ga ada kabar,” Calista terlihat sangat cemas.
“Balik lagi dia ke Bali.”
“HAH?!! kok ga pamit sama gua sih!” Kekesalan dan kecemasan bergelayut mesra di wajah Calista.
“Tau dah.”
“Lu tau dari mana kalau dia ke Bali? Kapan terakhir lu ketemu sama dia? Dimana?” Pertanyaan demi pertanyaan terlempar dari bibir kecil nan mungil milik Calista.
“Filling gua sih dia balik lagi ke Bali. Minggu lalu,”
“Dimana?!” bentak Calista kesal.
“Gak perlu tau!” hendak Nicho meninggalkan Calista.
“Kenapa? Kenapa gua ga boleh tau? Sebenarnya ada apa si Nic? Jujur! Lu kenapa berubah cuek gini ke gua?”
Tak dapat jawaban sedikitpun, Nicho hanya menoleh lekas ia melanjutkan langkah kakinya.
“Nicho! Lu dengerkan! Ga sopan banget si, orang ngomong di tinggalin!” Calista mulai menggerutu dengan nada tinggi. Namun sayang hal tersebut membuat Nicho tetap bergeming.
***
Di pagi hari yang cerah itu nampak seorang gadis berjalan di koridor campus. Gadis itu cantik dan fashionable. Semua mata memandang ke arahnya. Calista cuek dan ternyata ia anak baru di campus yang masuk di kelas Calista. Gadis itu kini memandang ke seluruh penjuru kelas, namun ia memilih untuk duduk berdampingan dengan Calista. Awalnya Calista menatapnya dengan tatapan sinis, namun sapaan yang di iringi senyuman manis itu membuat Calista luluh. Tak disangka, gadis berambut lurus tergerai manis dengan berpostur tubuh tinggi itu ramah. Calista fikir, ia adalah gadis yang menyebalkan serta membosankan namun semua sirna ketika terjadi percakapan di antara mereka.
Viana. Itulah nama gadis cantik yang kini menjadi mahasiswi baru di campus. Ia baru saja pindah dari Bandung dan meneruskan kuliahnya di sini. Dengan percakapan yang singkat dan hangat, Calista dapat menerimanya dengan baik dan berkenalan dengannya. Namun di saat perkenalan yang mengesankan itu terjadi, dosen yang terkenal galak itu memandang mereka. Calista segera membenarkan posisi duduknya seperti semula dan berbisik untuk melanjutkan percakapan itu ketika mereka menghabiskan mata kuliah.
Setelah seharian duduk manis di hadapan para dosen, akhirnya mereka dapat pulang ke rumah masing-masing untuk mengistirahatkan otak yang kian dipaksa berfikir tiada henti. Calista segera membereskan beberapa note di mejanya, lalu tiba-tiba saja Nicho menghampirinya. Nicho mengusik aktifitas yang Calista kerjakan dan mengajaknya ke kantin. Calista sempat mempertimbangkan hal tersebut, namun tiba-tiba saja bola matanya menjelajah kea rah Viana. Dengan refleks, Calista menarik tangan Viana dan menerima tawaran itu.
“Mau kemana Cal?”
Calista menatap Viana yang kebingungan lalu menukiknya tajam. “Kantin!”
“Mau ngapain?”
“Liat aja nanti.”
Setelah bersusah payah berjalan di antara ribuan mahasiswa-mahasiswi lain, tibalah mereka di kantin. Calista menatap suasana kantin yang sangat ramai dengan hiruk pikuk. Ia berhenti sejenak dan mencoba cari meja kosong untuk dirinya, namun kini ia tersadar bahwa Nicho telah berjalan meninggalkannya begitu saja. Dengan langkah malas, Calista mengikuti. Ternyata di meja paling pojok kantin, terdapat Erlangga dan Ferrel yang sedang menanti. Calista segera mempercepat langkah kakinya. Kini ia dapati meja mereka yang penuh dengan makanan. Calista senang, keberadaannya dengan Viana di sambut baik oleh ketiga cowok menyebalkan itu.
“Siang Calista cantik…,” Erlangga mulai menggoda Calista ketika Calista berhasil duduk di hadapannya.
“Ihs apa sih! Gombal!”
“Ah au lu. Jangan coba-coba ganggu Calista deh!” Nicho mengancam Erlangga dengan memperlihatkan garpu di hadapannya. Erlangga hanya membalas dengan senyuman meringis ketakutan.
Ferrel hanya menatap kelakuan aneh kedua sahabatnya itu. Namun kini matanya tertuju pada gadis cantik di samping Calista. “Eh siapa itu Cal?”
“Oh iya! Kenalin ini Viana. Mahasiswi baru,”
“Hai Viana, kenalin gu—” baru saja Ferrel ingin menyodorkan tangannya sambil memperkenalkan diri, Erlangga segera meraih tangan Viana dengan cepat.
“Gua! Erlangga Bramantio Setya!” Singkat. Jelas. Padat. Dengan rasa percaya diri yang tinggi Erlangga menatap lekat-lekat wajah Viana. Viana hanya membalasnya dengan senyuman manis sembari memperkenalkan dirinya.
“Ihs apaan si lu!! Rusuh banget!” Ferrel mencibir kesal.
“Udah-udah ah! Malu kali sama Viana. Yaudah makan dulu Vi.” Nicho mencoba melerai kedua sahabatnya itu.
Viana hanya menahan tawa yang ingin meledak. Calista hanya dapat geleng-geleng kepala. Dengan hangat, terangkumlah canda tawa diantara mereka. Semua matapun tertuju pada mereka yang tertawa lepas hingga lupa suasana. Memang sudah bukan rahasia umum jika mereka terkenal sebagai sekumpulan orang gila yang sangat tampan seantero campus. Perlahan-lahan pula Calista dapat menerima dan menganggap Viana sebagai sahabat keduanya setelah Riri.
Setelah percakapan hangat itu terjadi, mereka memutuskan diri untuk segera pulang. Namun kali ini Ferrel pulang bersama dengan Nicho karena mobilnya baru saja masuk bengkel kemarin sore. Di tengah perjalanan pulang, Nicho mulai membicarakan apa yang mulai mengganggu pikirannya sejak pertama kali menatap Viana. Ferrel mencurigai Nicho bahwa ia telah jatuh hati pada pandangan pertama. Nicho membantah keras tudingan itu dan mengakui bahwa ia masih sangat mencintai Calista meskipun bertepuk sebelah tangan. Namun jauh yang ia ketahui bahwa Calistapun memendam rasa yang sama.
***
Keesokan harinya seusai mata kuliah, Nicho mengajak Viana pergi ke sebuah taman. Tak ada seorangpun yang tau bahwa mereka pergi berdua kala itu. Viana terlihat cantik dengan balutan baju biru muda dan jeans miliknya. Rambutnya terurai indah mengkilau hingga Nicho dibuat tercengang oleh penampilannya yang begitu anggun.
“Vi … Kita duduk disana aja ya!” tangan Nicho meraih jari jemari lentik Viana.
“Emm … i—iya ,” Viana terlihat gugup ketika tangannya digandeng oleh Nicho.
“Indahkan pemandangannya?” Nicho menilai setiap sudut taman.
“Ya. Oh ya apa tujuan lu Nic ngajak gua ke sini?”
“Emm.. Ya gua pengen lebih kenal lu aja, gapapakan?”
“Oh gitu. Oh ya sebelumnya maaf nih, lu itu terkenal playboy ya di campus ?” tanya Viana lirih.
“Kok lu tau! Lu kan anak baru.”
“Ya gua denger-denger aja dari mereka … Kenapa lu jadi playboy?”
“Dulu sih iya … Tapi semenjak gua kenal Calista ga kok! Gua tuh bisa jadi goodboy kalau ada yang handle. Sekaligus ada cewek yang tepat bagi gua.”
“Emangnya Calista nge—handle lu?”
“Ya.. Dia tuh tipe cewek yang perhatian banget dan baik,”
“Lantas kenapa lu ga jadian aja?”
“Banyak konflik, rintangan dan hambatan. Apa mungkin gua bisa miliki dia?” suara Nicho terdengar tak bersemangat. Suara paraunya melebur diantara bisikan angin yang bertiup kencang.
“Ga ada yang ga mungkin di dunia ini,” Viana berusaha menyemangati.
“Gua ga mau aja kalau harus mengejar yang tak pasti,”
“Emang ada yang pasti?” tanya Viana dengan mengerlingkan mata.
“Gak tau sih. Akan kali ya hahaha.”
Canggung. Tawa itu penuh keraguan. Vianapun dapat merasakan ada keganjilan pada tawa itu.
Seusai percakapan itu mereka mengelilingi taman, menikmati pemandangan hijau di sana. Melihat kupu-kupu beterbangan, air di danau yang menggenang tenang, serta mendengar kicauan burung yang merdu. Canda tawapun begitu terasa diantara mereka, senyuman melebur menjadi satu dengan alam. Menandakan betapa bahagianya sepasang sejoli itu hingga mereka terlarut. Hari sudah sore, lekas mereka bergegas pulang ke rumah.
Keesokan harinya Nicho datang menghampiri Ferrel. Ia tak lagi segan untuk mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Ferrel sangat terkejut akan pernyataan itu, iapun marah karena Calista di permainkan oleh Nicho. Dengan cermat Ferrel menelaah keadaan, mencoba menemukan jalan keluar. Tibalah sebuah ide terbesit, ia segera membiarkan Nicho melepaskan Calista agar ia dapat meraih kembali hati Calista. Nicho sangat bimbang, tak sedikitpun terbesit di pikirannya bahwa Ferrelpun menyukai Calista. Terlebih kini Nicho semakin bimbang harus memilih yang terbaik atau yang terindah.
Nicho terus di buat bingung oleh dirinya sendiri. Perasaan berkata harus memilih yang terbaik, sementara logika berkata memilih yang terindah. Nicho tak ingin ambil pusing hingga ia memutuskan untuk menjalaninya beberapa bulan ke depan. Ia yakin seiring berjalannya waktu ia pasti menemukan jawaban yang ia butuhkan bukan yang ia inginkan.
***
Siang ini. Siang yang indah. Indah seperti biasanya namun berubah pekat ketika terjadi pertemuan antara Viana dengan Calista.
“Cal…,” bibir Viana memanggil Calista dengan riangnya ketika mereka berdua asik duduk di bawah pohon rindang yang berada tepat di taman sekolah.
“Kenapa?” jawab Calista cuek karena sibuk membaca literatur untuk skripsinya.