Puzzle Pieces of Love

Arlita Dela
Chapter #6

Miracle in Singapore

Sepulang dari Cafe Batavia, Ferrel mengantarkan Nicho kerumah Nicho untuk mempersiapkan diri untuk tinggal beberapa bulan kedepan bersama dirinya. Setelah mempersiapkan diri, mereka segera melesat menuju rumah Ferrel. Kebetulan hari itu kedua orang tua Ferrel sedang berada di rumah. Sesampainya mereka, Ferrel segera turun dari mobil dan di sambut hangat oleh pembantu rumah tangganya.

 Dengan sigap pembantu rumah tangganya membawakan beberapa barang milik Nicho. Nicho berusaha mencegah namun sayang hal tersebut semakin di persulit oleh Ferrel. Nicho agak ragu untuk memijakan kakinya di rumah Ferrel yang mewah sebab ia merasa malu akan dirinya. Ferrel tersenyum seraya menepuk pundak Nicho dan mengajaknya masuk bersama.

 Di ruang tamu ada kedua orang tua Ferrel yang sedang sibuk bercakap-cakap. Ferrel segera menghampiri kedua orang tuanya dan berbisik perihal kedatangan Nicho. Ibunda Ferrel tersentuh, tiba-tiba ia memandang ke arah Nicho dan tersenyum hangat. Di sambut sangat ramah Nicho di rumah itu. Nicho agak canggung, namun seiring berjalannya waktu yang telah mereka habiskan untuk bercanda gurau kini Nicho sangat bahagia. Nicho merasa bahwa ia tak lagi sendirian ataupun kesepian, kini ia telah memiliki keluarga baru. Ferrel sudah menganggap Nicho sebagai saudaranya sendiri.

Ibunda Ferrelpun berinisiatif untuk memberikan Nicho sebuah pekerjaan. Bukan bermaksud untuk menyinggung melainkan menanamkan sebuah peluang usaha kepadanya. Nicho sangat antusias mendengar tawaran yang sangat bagus untuknya. Nicho agar ragu karena ia tak ada bakat di dalam dapur namun tekadnya yang kuat terus mendorongnya agar mencoba sesuatu yang baru.

Sebab takkan ada kesuksesan jika di awali sebuah ketakutan. Orang sukses adalah orang yang dapat melawan semua rasa takut bukan orang yang di pengaruhi oleh rasa takutnya. Itulah prinsip bagi Nicho selama ini, lebih tepatnya sejak ia jatuh miskin sebab ia baru menyadari arti kehidupan yang sesungguhnya.

Dua bulan Nicho menjadi salah satu bagian dari keluarga kecil di rumah Ferrel. Sejak kehadiran Nicho di rumah, Ferrel lebih sering berada di rumah bersama keluarga. Iapun tak pernah melupakan jam-jam mata kuliah yang selalu menjadi rutinitasnya. Pergi dan pulang selalu berdua bagaikan adik kakak yang sangat bahagia. Selama itu pula, Nicho banyak belajar dari Ayahanda Ferrel. Nicho belajar memasak dan menghias makanan, baik yang diluar maupun dalam negeri.

Hingga akhirnya pada suatu hari, Nicho rindu akan sesosok wanita yang selalu menghiasi hari-harinya. Yang selalu memberi warna cerah pada hatinya. Yang selalu memberi perhatian dan kasih sayang yang tulus. Hingga ia tak sadar bahwa Calista telah pergi meninggalkannya tanpa jejak.

***

Kini Nicho mencoba menjalani hari seperti biasanya meskipun bayang-bayang Calista terus menghantuinya. Viana tertegun melihat Nicho yang sedang merenung di pojokan kelas yang gelap dengan seberkas sinar dari balik jendela. Viana mencoba mendekati Nicho dan berusaha membuat Nicho tersenyum. Viana tertegun mendengar alasan kegalauan Nicho selama ini, sepertinya Nicho sangat tak bisa melupakan sosok Calista yang semu. Viana mulai mencoba memberi beberapa isyarat cinta kepada Nicho namun ia tak kunjung paham atas kode cinta yang telah Viana berikan.

“Emm Nic… Emangnya ga ada yang bisa gantiin dia? Ga ada yang bisa hibur lu selain dia?” tanya Viana penasaran.

“Ga ada. Mungkin ada, tapi itu hanyalah kenangan,”

“Memangnya siapa?” Viana menaruh harapan besar melalui tatapan matanya yang berbinar.

“Ara!”

 Tiba-tiba sebuah nama terlontar tak terduga dari bibir Nicho. Viana cemburu. Viana putus asa. Selama ini dirinya tak di anggap nyata. Beribu sikap manis Nicho hanya seolah-olah sebagai teman belaka. Viana sakit hati, setelah berjuang segitu hebatnya namun posisinya tergantikan oleh kenangan Nicho di masa lampau. Viana mencoba tersenyum. Dirinya seolah kuat di atas titik kelemahan yang mengguncang hebat tubuhnya.

 Dengan senyuman kecut Viana menyarankan Nicho untuk mengejar orang yang ia inginkan. Viana tak ingin Nicho terus tersiksa oleh dilema hatinya yang terus menguntitnya tiap waktu. Merindukan orang yang salah itu menyakitkan. Sebab itulah Viana mencoba mengikhlaskan perasaannya demi kebahagiaan orang yang di cintainya.

Keesokan harinya Nicho mencoba mendekati Ara. Ara merespons baik kedatangan Nicho. Ara mencoba membuka celah hatinya dengan memberikan perilaku manis di hadapan Nicho. Nicho sungguh terbuai di buatnya.

“Ara…,” teriak Nicho sambil berlari kecil mengikuti langkah kaki mungil nan gemulai Ara.

“Kenapa sayang?” Suara Ara sungguh menggoda iman seraya mengibaskan rambut ikal panjang miliknya dan melemparkan sebuah senyuman terindah.

“Kantin yuk?! Ada yang gua mau omongin,” tawar Nicho sedikit gugup dengan kaki sedikit gemetar dan muka berwujud harap-harap cemas karena sudah sekian lama ia tak bertatap muka dengan Ara. Apalagi sedekat itu, hanya sekitar 10 cm diantara mereka.

“Kenapa harus kantin? Hotel aja yuk sekalian having fun. Kan udah lama kita ga main bareng.” Ara menatap Nicho dengan menaikan sebelah alis miliknya. Nicho terlihat kebingungan. Ia ingin sebab sudah lama ia tak melakukan sikap badboynya namun di sisi lain ia masih ingat itikad baiknya untuk berubah menjadi goodboy.

“Emm … Gi-ma-na ya,” Nicho terbata-bata.

“Ayolah! Ga usah sok alim karena Calista deh. Kan dia juga udah gak ada di sini! Urusan uang biar gua yang nanggung,” ucap Ara dengan santai dan manjanya lalu lekas melingkarkan tangannya di lengan kiri Nicho. Tanpa ba-bi-bu Ara bawa Nicho menjalani koridor campus menuju mobil pink kesayangannya. Nicho terlihat bingung, ia sama sekali belum menjawab pertanyaan Ara. Mukanya terlihat pucat, dengan kaki agak gemetar ia mencoba mengikuti apa kemauan Ara.

Selama di perjalanan, Ara dan Nicho diam membisu. Hanya mesin mobil berderu yang terdengar diantara mereka. Saling melempar pandang namun tak sepatah katapun keluar dari kedua bibir itu. Hingga mereka tak sadar bahwa mereka telah sampai di sebuah hotel mewah di Jakarta. Akhirnya Nicho membuka mulutnya.

Stop Ra! Kita gak usah ke hotel. Kita ke taman aja,” Tangan Nicho memegang tangan Ara yang sedang berada di stir mobil. Sontak Ara kaget dan menepikan mobilnya. Lalu dengan berat hati Ara mengurungkan niatnya untuk ke hotel dan segera melaju ke taman kota.

Ketika mereka telah sampai di dalam taman, mereka segera menuju sebuah bangku berbentuk dahan kayu yang tak jauh dari pintu masuk. Ketika sampai di bangku itu, Nicho segera mengutarakan apa tujuannya kembali mendekati Ara. Ara menatap Nicho dengan tatapan tak percaya.

“Maaf gua ga bisa balikan sama lu.”

“Kenapa?” Nicho tersentak oleh jawaban Ara yang seketika berubah menjadi judes. Sedari tadi Ara bersikap manis di hadapannya namun kini semua berubah.

“Ya karena lu tuh miskin! Gini ya … Gua selama ini memang diam. Jauh dari kalian. Tapi diam-diam gua tuh tau informasi dari sana-sini kalau lu ditinggal Calista terus orang tua lu bangkrut. Ibu lu ninggalin lu dan sekarang lu tinggal sama Ferrel. Benerkan?”

“I … Iya lu bener,” Nicho menunduk malu dan kecewa kepada dirinya sendiri.

“Gua tau lu balik ke gua cuma karena kehilangan Calista! Kemarin kemarin pas ada Calista lu yang ninggalin gua! Lagi pula kalau gua jadian sama cowok kere kaya lu mau jadi apa hidup gua nanti?” bentak Ara pada Nicho dengan nada tinggi.

“Ya gua tau gua salah, maaf.”

“Lu jangan salah persepsi ya mengenai gua!! Dengan gua tadi sok ngajak lu ke hotel dan pada akhirnya kesini gua tuh cuma mau nguji lu! Gua udah ga sayang sama lu. Ya lu taukan gua ga bisa hidup tanpa uang. Kalau lu miskin gua gimana? Sorry gua udah tunangan sama cowok yang jauh lebih mapan dari pada lu,” tutur Ara dengan sombongnya.

“Ya gua tau. Yaudah iya makasih atas waktunya.”

“Yaudah kalau gitu udah jelaskan!! Jangan pernah ngusik hidup gua lagi sebab gua udah bahagia dengan kekasih baru gua yang mapan. Udah ah ngapain gua disini cuma buang-buang waktu mending gua balik.” tutur Ara dengan beranjak dari bangku dan segera membuka tas mewah miliknya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.

“Udah ya gua balik duluan. Nih uang buat lu naik taxi!!” Disodorkan uang 200.000 dihadapan Nicho dengan menggantungkan uang tersebut dengan angkuhnya.

“Ga usah makasih! Gua ga butuh!” Lantas Nicho segera pergi meninggalkan Ara. Nicho sangat malu menjadi pusat perhatian di sana, terlebih kini harga dirinya jatuh di mata Ara. Materi. Itulah yang menjadi persoalan di sebagian besar kalangan masyarakat. Entah keluarga, pertemanan, atau pekerjaan, kerap sekali terjadi perdebatan cuma karena materi semata.

“Ih gila … Sombong banget lu!! Belagu banget lu!! Miskin aja belagu!” Ara menghardik Nicho dari kejauhan sehingga beberapa orang melirik ke arah Ara. Lekas Ara pergi dari taman dan segera masuk ke mobil pink kesayangannya itu.

Ketika di jalan pulang Nicho sangat marah diperlakukan seperti itu oleh Ara. Ia sadar bahwa dirinya tak kaya, tak mapan, dan ia bersalah tapi ia sangat malu atas kejadian itu. Nicho merasa sangat bodoh dihadapan Ara kala itu. Nicho frustasi dan ia berteriak sekeras mungkin ditengah jalan yang sepi di bawah rimbunan pohon, di kiri kanan jalan. Nicho menendang kaleng kosong yang berada tepat di hadapannya. Lantas kaleng itu menghilang dari hadapannya dan ditangkap oleh seseorang di ujung jalan.

Nicho duduk diantara rerimbunan pohon dan beberapa daun kering yang berguguran. Ia menundukkan kepala di jalan yang sepi nan damai, mencoba menahan emosi yang terus meluap di dalam dadanya.

“Permisi pak. Apakah kaleng ini milik Anda?” Terdengar suara seseorang yang berdiri di hadapannya sambil menyodorkan kaleng yang baru saja Nicho tendang. Nicho terkejut hingga mencoba mengadahkan kepala untuk mencari tau siapakah orang tersebut.

“Vi …Viana,”

“Iya. Kenapa?” Viana menatap muka Nicho yang lusuh.

“Kok kalengnya ada di tangan lu?”

“Ya tadi kaleng ini jatuh persis depan kaki gua, ketika gua melangkah menyusuri jalan ini. Kalau gua gak beruntung pasti gua kena kaleng ini. Sakit loh kalau kena.”

“Maaf ya.”

“Lu kenapa Nic? Ada apa?” Viana serta merta duduk disamping Nicho dan mencoba menenangkan Nicho.

“Gu …Gua gak berarti lagi ya Vi?”

Viana yang mendengar pernyataan itu langsung tertegun menatap Nicho. Kenapa Nicho harus putus asa hingga menganggap dirinya tak berarti? Viana panik, dirinya memberi perhatian lebih pada Nicho. Mencoba membiarkan Nicho bercerita apa yang baru saja terjadi di taman kota. Viana terhenyak, ia tak menyangka bahwa Nicho akan ditolak mentah-mentah oleh mantan kekasihnya. Viana pula berfikir bahwa sikap manis Ara selama ini hanya untuk membalas dendam yang ada. Viana tersenyum menatap Nicho sembari berkata dirinya sangat berarti.

“Ya tapi gua merasa gak berguna banget! Calista! Ara! Semuanya lenyap hilang.. Gak ada satupun orang yang sayang sama gua!” bentak Nicho kepada Ara karena terbawa emosi.

“Ada kok. Kan ada gua, Ferrel, Erlangga yang selalu ada buat lu!” Viana menatap Nicho dalam-dalam.

“Ya tapi kalian hanyalah sahabat! Ga ada yang spesial di hidup gua,”

“Ta … Tapi—”

“Tapi apa?”

“Tapi … Gua sayang sama lu lebih dari seorang sahabat Nic! Gua cinta sama lu. Lu nya aja ga pernah sadar akan perasaan ini. Gua bisa gantiin Ara ataupun Calista di hidup lu. Gua sayang banget sama lu Nic. Please, anggap gua ada. Please, lihat keberadaan gua di sisi lu. Gua yang selalu hibur lu, ada untuk lu setiap waktu tapi gak pernah lu lirik! Lu sibuk mencari yang lain sementara gua di samping lu terus berharap lu merasakan apa yang gua rasakan.”

Viana memeluk erat tubuh Nicho dan mengalirkan tangisan di pundak hangat Nicho. Nicho sangat tertegun mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir Viana. Nicho merasakan kehangatan, kenyaman, dan kasih sayang yang sungguh mendalam. Nicho merindukan pelukan tulus itu, hingga Nicho teringat bahwa ia memiliki perasaan pada Viana yang selama ini terpendam. Lekas dilepaskanlah pelukan itu.

“Ma … Maafkan gua Vi. Gua sibuk mencari yang lain sampai gua lupa bahwa gua punya perasaan yang terpendam sama lu dari dulu. Gua suka dan sayang sama lu dari dulu sebelum Calista pergi. Hingga pada akhirnya kejadian di Cafe Batavia gua milih Calista dan akhirnya gua malah ditinggal pergi. Gua sayang sama lu juga Vi. Ta … Tapi maaf kita ga bisa bersatu untuk saat ini.” Nicho memegang lembut kedua pipi Viana sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

“Kenapa Nic? Kenapa? Setelah sekian lama kita bersama kenapa ga bisa bersatu?” tangisan Viana semakin menjadi-jadi.

“Karena sekarang belum saatnya cantik. Kamu tau kan ayah aku masih di rumah sakit dan kuliah aku sempat terganggu. Aku janji setelah semua selesai kuliah aku akan segera melamar dan menghalalkan kamu Vi.”

 Viana menangis kembali karena kebahagiaan. Setelah sekian lama ia menunggu akhirnya mendapatkan jawaban terindah. Viana sangat yakin bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari rencananya, itulah hasil buah manis dari kesabarannya selama ini. Viana memanglah pantas mendapatkan yang terbaik sebab ia memberikan pengorbanan dan kesabaran yang tinggi.

***

Lima bulan telah terlewati. Nicho mengejar semua mata kuliah dan skripsinya hingga tuntas. Serta Nicho sudah mulai menitih karirnya menjadi seorang wirausahawan. Ayahnya pun telah usai melaksanakan terapi psikis yang telah ia jalani selama ini. Hingga akhirnya Nicho pamit dari rumah Ferrel dan kembali tinggal dengan Ayahandanya di rumah kecil nan mungil.

Ketika mereka sampai di rumah, Nicho mencoba memberikan pengertian kepada Ayahandanya perihal keadaan mereka saat ini. Ayahanda Nicho kini sudah pulih hingga ia dapat menerima semua yang telah terjadi. Nicho pula meminta maaf atas keterlambatannya dalam mengikuti wisuda, namun tak lama lagi ia akan segera mengakhiri masa pendidikannya.

Nicho juga tak lupa untuk meminta izin kepada Ayahandanya perihal rencana yang sudah ia buat. Nicho ingin segera melamar dan menikahkan Viana sang pujaan hatinya. Nicho selama ini merasa bodoh telah mengkhianati hatinya sendiri hingga ia tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dengan semangat Ayahandanya menyetujui permintaan izin itu.

Mendengar persetujuan dari Ayahandanya, Nicho sangat senang serasa ingin terbang kelangit ketujuh. Sebab bukan lagi ikatan hubungan biasa melainkan ada ikatan yang kuat yaitu lamaran yang akan ditandai oleh cincin di jari manis Viana. Nichopun perlahan-lahan sedang menabung demi cepat menghalalkan Viana sebagai kekasih hidupnya.

Setelah 3 bulan terlewati, akhirnya tibalah saat dimana graduation tiba. Disana dihadari oleh ribuan mahasiswa-mahasiswi dari berbagai program studi yang berkumpul di gedung megah nan mewah. Semua orang berdandan mewah dengan hiasan warna-warni cerah. Terlebih Viana nampak cantik dengan balutan kebaya pink miliknya yang lembut dan berkilauan.

“Mah,Pah … Ini Nicho orang yang selama ini aku ceritakan pada kalian,” Viana meggandeng tangan Nicho yang terlihat tampan dengan balutan kemeja merah hati dan jas hitam yang mengkilau.

“Om …Tante…,” sapa Nicho sopan.

“Oh jadi ini.” Ayahanda Viana berkata sembari menatap Nicho dengan senyuman yang menyiratkan sejuta makna.

“Vi, ikut gua sebentar yuk?!” Ferrel menarik tangan Viana sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Nicho.

Lihat selengkapnya