Puzzle Pieces of Love

Arlita Dela
Chapter #8

Puzzle Pieces

Seusai melakukan double honeymoon di Bali. Izki segera mengajak Calista untuk pulang ke Singapura. Terlebih Izki khawatir akan kedekatan yang terjalin antara Calista dengan Nicho. Izki menghampiri Calista dengan membawa koper hitam dan meletakkannya di atas kasur. Calista tertegun mengetahui apa maksud Izki, namun sesaat Izki langsung menugaskan Calista untuk membantunya membereskan semua barang karena besok jam 7.00 pagi mereka harus take off dari Bali. Calista sangat terkejut, hampir dirinya tak dapat menahan emosi. Namun Izki tak mau kalah, ia berusaha setegas mungkin kepada Calista. Calista akhirnya memberanikan diri menentang Izki. Dirinya merasa tak di hargai karena Izki semena-mena dalam menentukan keberangkatannya menuju Singapura.

“Masa kamu dadakan gitu sih! Hargai aku dong. Harusnya tuh kita diskusi dulu untuk menentukan kapan kita akan pergi dari sini!” Calista kini marah, api amarah meletup-letup di dadanya. Ia hanya membutuhkan pelukan untuk mendinginkan suasana, namun yang diterimanya amarah jua dari sang suami.

“Aku yang suami disini. Aku berhak dalam melakukan apa pun yang aku hendaki! Dan kamu harus nurut sama perintah suami. Lagi pula apa sih alasan kamu segitu kalapnya waktu aku bilang besok kita take off?” Izki mencari alasan di mata Calista. Calista nampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan dirinya.

“Ya aku kan belum pamit sama Viana dan Nicho,” balas Calista lirih nyaris tak terdengar.

“Oh jadi itu alasan kamu? Kamu membantah perintah suami cuma gara-gara mereka? Iya!” Emosi Izki semakin menggelegar ketika mendengar nama Nicho . Sebenarnya Izki tau, tak bukan dan tak lain lagi pasti Nicholah penyebab kekacauan ini.

“Apa salahnya si aku izin sama sahabat aku? Aku kan sudah lama tidak bertemu dengan mereka,” Calista duduk di kasur, dirinya meneteskan air mata. Calista tak menyangka bahwa Izki segitu kejam dengan dirinya.

“Kenapa kamu menangis? Apa aku salah kalau aku mengajakmu kembali pulang ke Singapura?” nada bicara Izki kini mulai merendah karena melihat Calista menangis. Izki merasa bersalah karena telah melukai hati istri tercintanya, namun dirinya masih tersulut api cemburu.

“Gak. Kamu gak salah. Tapi kenapa kamu gak izinin aku untuk pamit dulu sama mereka?” Air mata mulai bercucuran di pipi Calista. Izki kini melupakan kegiatannya dalam membereskan baju. Izki berjalan mendekati Calista dan duduk disampingnya sembari merangkul Calista.

“Sayang, asal kamu tau. Aku cemburu liat kamu sama Nicho. Aku cuma gak mau kamu kebawa suasana. Aku gak mau kalian saling suka lagi. Ingat ini! Ini benang putih yang menjadi simbol janji suci kita.” Izki berkata dengan nada lembut. Kini lengannya mengusap-ngusap pundak Calista dengan lembut. Serta dirinya memperlihatkan cincin yang melingkar di tangan kiri Calista.

“Ya aku paham maksud kamu. Tapi izinkan aku untuk pamit sama mereka. Aku gak mau hubungan aku dengan mereka renggang lagi cuma karena kesalahpahaman semata.”

Calista bersandar di dada Izki yang bidang. Dirinya merasa lebih tenang ketika bersandar sembari mendapat pelukan. Izki pun mengangguk lembut pertanda memberi izin kepada Calista. Tangan Izki mulai menghapus tiap air mata yang membasahi pipi Calista. Calista lalu membantu Izki membereskan semua barang bawaannya. Mereka terlalu asik dalam packing barang hingga tak terasa kini jam berdenting keras menandakan jam 12 malam. Izki merasa kasihan karena sang pujaan hatinya terlihat sangat mengantuk. Kantung mata yang menghitam seperti panda terlihat jelas di wajah Calista. Izki memerintahkan Calista untuk tidur, namun Calista takkan membiarkan suami tercintanya membereskan semuanya sendiri. Hingga akhirnya mereka merebahkan diri bersama diantara kelelahan yang ada.

Keesokan harinya mereka bangun jam 6.00 pagi. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat jam yang terus berdetik tiada hentinya. Calista tertegun, ia menggoyangkan tubuh Izki yang masih berbaring lemas di atas kasur. Calista teriak-teriak sekuat yang ia mampu demi membangunkan suaminya. Izki sangat terganggu oleh seruan-seruan kecil Calista di pagi hari, Izki tak menggubris itu. Namun ketika Calista berteriak bahwa kini sudah jam 6.00, Izki langsung membuka mata lebar-lebar dan berlari ke kamar mandi. Calista menatap Izki dengan heran, setengah mati ia membangunkan dan ketika bangun ia di campakkan sungguh sedih bila di rasa.

Seusai mandi dan mengganti baju, mereka lekas ke kamar Nicho dan Viana. Calista mengetuk pintu kamar itu namun tak ada jawaban. Hingga tiba-tiba ada pelayan hotel yang lewat. Kebetulan di sana terlihat secarik kertas dan pulpen. Entah ide dari mana, Calista memberhentikan pelayan itu.

“Mas saya minta kertas dan pulpennya dong!! Please, ini penting banget!” Calista memberhentikan pelayan itu. Pelayan itu nampak kebingungan namun langsung diberinya pulpen dan secarik kertas. Calista langsung menuliskan sebuah pesan singkat di kertas lalu meletakkannya di bawah pintu yang ia dorong ke arah dalam.

“Makasih banget ya mas!” Calista tersenyum dan bergegas pergi meninggalkan hotel itu. Calista sempat kecewa tak dapat bertatap muka untuk terakhir kalinya dengan kedua sahabat karibnya. Namun waktu terus mendesak dan menghantui dirinya.

“Ayo cepat udah jam 6.25.” Izki menatap Calista yang sibuk dengan handphone di genggamannya.

“Iya iya bentar! Aku mau hubungi Viana dulu biar dia lihat pesan aku!!” Calista merasa tak bersalah akan ucapan itu. Izki lekas meraih handphone dari genggaman Calista.

“Loh kenapa handphonenya di ambil!” Calista menatap Izki dengan kesal. Keningnya berkerut penuh tanda tanya.

“Kamu kan udah ninggalin pesan lewat kertas jadi aku minta kamu stop berhubungan dengan mereka melalui media apapun itu!” Izki mencoba menghapus semua nomor, media social, dan apapun yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara Calista dengan Nicho.

“Ihs jangan di hapus! Kamu kok kejam sih!” Calista mencoba meraih kembali handphone miliknya namun naas, kini handphone itu jatuh tergeletak di lantai. Izki kesal hingga tak memperdulikan handphone itu.

“Tuh taxi-nya udah sampai. Ayo!” bentak Izki menarik tangan Calista. Calista kesal ingin rasanya melepaskan genggaman itu, namun Izki menggenggam tangan Calista dengan sangat keras dan kasar. Calista hanya bisa melihat handphonenya yang jatuh terkapar dari kejauhan.

Izki bergegas menugaskan sang supir untuk meletakkan koper miliknya di bagasi mobil. Izki pun sibuk dengan dirinya yang terus mengekang gerak-gerik Calista. Calista marah, ia menangis, menitihkan air mata penuh kesedihan. Izki tetap memegang erat tangan Calista. Namun Calista melakukan pemberontakan.

“Cepat pak jalan ke bandara!!” Perintah Izki dengan nada tinggi. Sang supir melihat melalui kaca kecil berbentuk persegi panjang yang berada tepat di kepalanya. Sang supir mengangguk namun di dalam hatinya bertanya apa yang sedang ia saksikan saat ini.

“Kamu jahat! Itukan handphone kesayangan aku!”

“Nanti aku beliin lagi. Kamu mau berapa? Aku beliin!!” Izki menatap Calista dengan penuh keangkuhan.

“Aww!! Sakit! Lepas ga!” bentak Calista. Sang supir hanya menjadi saksi bisu diantara mereka.

“Udah jangan nangis! Gak usah kaya anak kecil,” Izki membuang pandangannya ke arah luar sembari meredam semua emosi dan penat yang ada. Ingin rasanya sang supir itu membela Calista yang berderai air mata. namun dirinya tak memiliki keberanian yang besar. Terlebih tugasnya hanya menjadi supir bukan penasehat apalagi penasehat kerajaan. Sesaat suasana di dalam mobil hening, hanya isak tangis Calista yang terus terngiang di telinga Izki. Izki merasa dirinya sangat kejam. Namun Izki melakukan itu semua demi kebaikan hubungan rumah tangga mereka.

***

Hari sudah semakin terik. Izki dan Calista pun mulai kembali menuju Singapura. Begitu pula Viana dan Nicho yang akan berencana balik ke Jakarta. Kini Viana berjalan ke arah pintu untuk mengambil sweater biru yang ia sematkan di paku dekat pintu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat secarik kertas yang terbaring tepat di hadapannya. Viana mencondongkan badannya dan meraih kertas itu. Ia bingung hingga kini ia menghampiri Nicho.

“Sayang.. Ini surat apa?” Nicho menoleh sejenak, entah kenapa perasaannya kini mendesak dirinya untuk membaca surat itu sesegera mungkin.

“Mana sini biar aku yang baca!”

 Nicho merebut kertas dari genggaman Viana. Perlahan Nicho membuka kertas itu dan membacanya. Seusai membaca, Nicho melihat jam dinding di kamar hotel yang mewah itu. Viana nampak kebingungan melihat ekspresi wajah Nicho yang sangat terkejut. Viana berusaha mendekati Nicho untuk meraih kertas putih di tangan Nicho.

“Ini kamu baca aja,” Nicho menjulurkan tangannya untuk memberikan kertas itu. Viana membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis. Viana tiba-tiba meneteskan air mata. Nicho tertegun menatap istri tercintanya menitihkan air mata.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Nicho dengan nada lembut sembari mengusap pundak Viana.

“Aku sebel sama Calista!! Kenapa dia dengan cepat meninggalkan kita!” Viana melepas kertas itu, membiarkannya terbang ke lantai. Dirinya kini rapuh, lunglai tak berdaya. Ia menghempaskan dirinya ke kasur untuk duduk sejenak meluapkan air mata yang tak dapat terbendung lagi ketika membaca untaian kata di surat itu.

“Pasti ada alasan lain sayang. Udah kamu ga usah menangis. Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi.” Nicho menenangkannya dengan menghapus air mata Viana.

Seusai bercakap-cakap mengenai surat itu. Viana dan Nicho segera merapikan barang dan check up dari hotel. Mereka berjalan bersama beriringan menuju lobi hotel. Namun ketika sampai di depan pintu utama hotel itu, pandangan Viana tertuju pada sebuah benda. Benda yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Viana mencoba mendekati benda itu dan segera mengambilnya.

“Sayang… Inikan handphone Calista,” Viana memperlihatkan i-phone yang kini sudah usang. Layarnya sudah retak tak beraturan. Namun penampilannya tetap menawan disertai casing handphone yang indah nan lucu yang membalutnya.

“Oh iya! Inikan handphone Calista. Kamu dapat dari mana?” pandangan Nicho langsung tertuju pada handphone itu. Sebuah tanda tanya besar terngiang di kepala Nicho. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Calista sehingga ia meninggalkan jejak berupa surat dan handphone yang rusak.

“Itu tadi aku liat di samping pot bunga itu. Handphonenya tergeletak begitu saja.” Viana menunjukkan arah dimana ia menemukan handphone milik Calista. Nicho semakin curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Seakan semilir angin berbisik lembut sebagai pertanda, ada kejadian nyata yang tak terduga.

“Oh gitu yaudahlah simpan saja handphone itu. Siapa tau suatu saat di butuhkan.” ucap Nicho spontan tanpa menyadari arti akan pernyataannya.

“Maksud kamu?” Viana menatap Nicho dengan muka polosnya. Viana tak mengerti atas perkataan yang telah dilontarkan oleh Nicho.

“Enggak apa-apa, abaikan saja. Yaudah mana sini biar aku yang simpan,” Nicho merebut handphone itu.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya taxi pesanannya datang. Mereka bergegas menuju taxi untuk kebandara dan segera kembali ke Jakarta. Ketika di pesawat, batin dan pikiran Nicho saling bertautan satu sama lain. Sebuah tanda tanya besar terus memenuhi kepalanya. Menyesakan dada dengan penuh dilema. Berjuta jejak yang ditinggalkan Calista, hanya berupa serpihan yang mungkin saja akan menjadi suatu jawaban bila disatukan.

Dibalik itu semua, Nicho kecewa akan kepergian Calista untuk yang kedua kalinya. Nicho pun bertekad untuk mencari tau keberadaan Calista serta mencari tau kebenaran dibalik jejak-jejak itu. Nicho juga mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa ia mencintai Viana. Sebab seketika, semua rasa itu hilang saat dirinya memeluk erat Calista di pantai malam itu.

***

Kini Nicho kembali menjalani harinya bersama Viana. Tentunya tanpa ada Calista di sisinya. Pertemuan itu sangat singkat. Nyaris tak terasa. Semua hanya bayang semu bagi Nicho. Kini di saat dirinya termenung di hadapan laptop, tiba-tiba saja sebuah email masuk. Dengan gerakan lambat ia membuka email itu, terlebih koneksi internet sedang buruk karena baru saja hujan yang melanda sekitar rumahnya usai. Nicho tertegun ketika di dapati oleh sepasang matanya bahwa email itu ialah surat undangan reuni.

Dengan refleks, Nicho berseru pada Viana. Lekas Viana menghampiri dirinya dengan membawa secangkir teh hangat untuk Nicho. Viana terkesima menatap surat digital itu, terngiang jelas di benaknya akan pertemuan yang selama ini dinanti. Betapa bahagianya bila bertemu dengan teman seperjuangan yang kini sudah memiliki jabatan masing-masing. Keharuan, canda tawa, kesedihan akan melebur bersama di antara insan yang membayangkan sebuah kenangan.

“Gimana? Kita ikut?” Viana menatap mata Nicho dengan tatapan hangat. Seolah minta persetujuan atas surat itu. Nicho mengangguk pelan. Dirinya tak sabar menanti hari itu.

 Seusai membaca surat itu, Viana segera mengajak Nicho pergi ke mall untuk membeli beberapa barang kebutuhan rumah tangga. Nampaknya Nicho sangat malas karena kondisi jalan yang sangat riweh. Terlebih genangang air yang terhampar di hampir setiap sisi jalan memperkuat alasannya untuk tetap tinggal di rumah. Viana tak mau menerima alasan apapun, apa yang di inginkannya harus di lakukan sebelum ia bercerita sepanjang kereta dengan kecepatan mobil balap.

Sejak menjadi ibu rumah tangga, Viana terbawa oleh naluri keibu-ibuan yaitu suka bercuap dan selalu memikirkan persediaan di dapur. Dengan terpaksa, Nicho menuruti permintaan istri tercintanya. Sudah 15 menit berlalu, Nicho yang sedari tadi duduk di pekarangan rumah menanti istrinya mulai jenuh. Viana terlalu sibuk menata diri, sementara mereka hanya ingin belanja bukan bertamasya.

Suara jangkrik di pagi hari inipun semakin memperlengkap keadaan yang membosankan. Seakan Nicho sedang diajak bercakap oleh jangkring yang berderik nyaring. Anjing milik Pak Surya tetangganya pun masih meringkuk di depan pintu. Hewan pun tau mana waktu berjaga, mana waktu terjaga.

Nicho semakin jenuh, dirinya berkali-kali membolak-balikkan koran yang ada di tangannya. Ia tak menemukan satupun topik bacaan yang menarik, lagi-lagi berita kacangan tentang pembunuhan. Lelah. Lelah dengan dinamika hidup yang tak jauh dari tindak criminal dimana-mana. Nicho pula lelah jika terus menunggu selama sejam. Kini akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kamar, merebahkan diri dan bersandar di antara bantal yang memanjakannya. Tak lupa pula selimut yang menghangatkan tubuhnya terus terbayang di benaknya. Ketika dirinya hendak bangkit dan berjalan ke arah kamar, Viana mengejutkannya.

“Hei mau kemana kamu? Ayo pergi!” Nicho tertegun, ia menepuk keningnya dengan cukup keras. Seakan jiwanya berteriak ‘ LEPAS!! LEPASLAH AKU ’ namun apalah daya bibir tak berani berucap.

“Tadinya aku mau tidur lagi abis kamunya lama.”

“Oh gitu! Yaudah gak jadi!”

Tiba-tiba saja Viana memutar badannya dan kembali berjalan ke dalam rumah. Sungguh, sungguh Nicho cemas akan peristiwa kala itu. Nicho segera mencegah langkah kaki Viana dengan memegang erat tangannya dan berbisik lembut. Viana luluh, ia tak bisa melawan ego di dalam dirinya. Dengan cepat ia lekas menuju mobil dan duduk di samping Nicho. Nicho menghela nafas lega, ia tak tau jika Viana marah akan ada perdebatan seperti apa lagi. Akankah dirinya harus berpuasa karena tak mendapatkan sarapan pagi ataukah rumah berantakan karena Viana marah dan tak peduli dengan apapun. Nicho angkat tangan dengan istrinya, bila marah seperti anak kecil. Tak sanggup lagi menghadapi kelakuan nakalnya.

“Nic, Nicho!” Viana berteriak menghamburkan lamunan Nicho. Dirinya memasang muka marah. Ternyata sedari tadi Viana memperhatikan raut wajah Nicho yang berubah-ubah mulai dari kesal, tersenyum, hingga gelisah.

“Apa sayang?”

“Belok! Kamu kira kita mau belanja dimana?!” Tegas, nada bicara Viana sungguh tegas. Menyiratkan beribu kekesalan di dada yang menggebu kencang.

“Iya sayang.”

Tibalah mereka di pelataran mall, Nicho menebar pandang. Mengejutkan, sungguh mengejutkan. Di saat suasana dingin dan lembap, banyak orang yang sibuk berlalu lalang di pusat perbelanjaan. Entah mereka memang gila belanja atau pula karena ada urusan mendadak tapi itu sungguh padat merayap. Nicho pula hanya ingin memarkir—kan mobilnya harus menunggu antrian yang panjang.

 Akhirnya setelah berhasil memarkirkan mobil, Nicho segera mengajak Viana keluar. Viana menggandeng mesra tangan Nicho dan berjalan beriringan di tengah padatnya pengunjung. Semakin erat tangan Viana menggamit tangan Nicho ketika mereka memasuki salah satu toko yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Viana menatap troli sebagai pertanda Nicho untuk membawanya. Nicho sudah paham atas semua kode mata yang Viana sering lakukan di rumah.

“Kita mulai belanja apa?”

Tak ada jawaban, hanya saja Viana melepaskan tanggannya dan berjalan ke arah sederetan rak berisi mie. Dengan cekatan, Nicho mengikutinya. Saat mereka berkeliling, Nicho merasa sedang di perhatikan. Entah dengan siapa yang pasti setiap dirinya melempar pandang tak ditemukan seorangpun yang ia kenal. Dengan sangat penasaran, Nicho mencoba berjalan ke arah dimana dirinya merasa ada yang memperhatikan.

Namun ketika ia baru saja melangkah sebanyak 3 langkah, Viana pergi meninggalkan Nicho. Nicho terkejut ketika balik badan ia tak menemukan sesosok Viana. Nicho kelimpungan mencari Viana kesana-kemari. Sudah berkali-kali ia melewati sederetan rak mie namun tak kunjung di temuinya Viana. Ia kini mencoba berjalan ke rak berisi kosmetik dan alat kecantikan lainnya, namun tiba-tiba saja seseorang menabraknya dari arah samping.

“Duh, Bro! Kalau jalan yang bener dong!!” Nicho menghardik orang itu tanpa menatapnya secara langsung. Orang itu sungguh bersalah, ia menatap Nicho tiada hentinya. Nicho sangat risih oleh orang itu lantas Nicho bersungit pergi tanpa menoleh sedikitpun. Orang itu sungguh merasa terabaikan.

“Nicho!!”

Lihat selengkapnya