Disaat Nicho dilanda kegelisahan yang sangat menggetarkan, ada tugas baru untuk dirinya. Nicho memiliki tugas untuk memperluas jangkauan perusahaannya. Nicho terus merenung, dirinya tak bisa memilih antara keluarga ataupun karir. Desakan ekonomi yang mencekik meraung-raung akan kebutuhan insani. Begitu pula kehancuran yang kini melanda hubungan rumah tangganya. Nicho tertekan, dirinya lunglai tak berdaya. Ia bersandar pada kursi kerja miliknya. Tak terlihat pula gadis penghancur hubungan itu berlalu lalang. Nicho melarang siapapun untuk masuk ke ruangannya terlebih harus mengganggunya.
Kini hari larut malam, sinar matahari yang sedari tadi membiaskan wajah Nicho kian meredup. Sinar yang hangat itu berganti dengan sorotan lampu gemerlap malam. Jakarta yang terlihat panas membara berubah menjadi taburan kelap-kelip cahaya. Dengan sejuta warna yang terhampar luas di depan mata, Nicho membayangkan wajah indah istrinya. Hati yang terluka terasa jelas dibenaknya. Bisikan tangisan itu terus terngiang ditelinganya. Hingga kini ia tersadar, dilihat jam yang melingkar di tangan kanannya. Jam itu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sontak Nicho terkejut, sudah seharian dirinya hanya termenung di depan jendela kaca. Meratapi kebodohan yang ia lakukan bersama Ara. Menyesalkan segalanya yang telah terlewati.
“Hah?! Jam 9.” Nicho menoleh ke jam tangan hitam yang melingkar di lengannya. Lekas Nicho meraih tas miliknya dan segera beranjak dari tempat duduknya. Namun ketika Nicho melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja seseorang menghalanginya. Orang yang selalu mengganggu segala aktivitasnya membuat dirinya semakin jenuh atas sifatnya.
“Malam Nic … bagaimana atas jawabannya? Apakah bisa hadir pada meeting kita kali ini?” tanya Ara dengan wajah yang sangat ceria. Tak terlukiskan sedikitpun rasa lelah disana. Hanya senyuman tulus yang terkembang diwajah manisnya.
“Loh, kamu belum pulang? Besok saya kasih kepastiannya.” Nicho berlalu begitu saja meninggalkan Ara. Nicho tak ingin berbicara dengan Ara untuk saat ini, semua dikarenakan hal yang baru saja mengguncang hubungan rumah tangganya.
Nicho melajukan mobilnya secepat mungkin. Dirinya terus menatap kedepan dengan fokus. Sesekali dirinya melempar pandangan ke arah luar. Namun lagi-lagi hanya ingar bingar Jakarta yang ramai, tersuguhkan di depan mata. Ia merasa kesepian ditengah keramaian yang ada. Tak seorangpun yang bisa mengubah gairahnya untuk hidup. Hanya Viana—lah yang ada di pikirannya.
“Mah, aku pulang.” ucap Nicho ketika membuka daun pintu. Kini dirinya sangat terkejut ketika mendapati Viana tertidur di sofa dengan ditemani secangkir teh hangat. Nicho tau bahwa Viana terlalu lelah untuk menantikan kehadiran dirinya. Teh hangat yang selalu disuguhkan untuk dirinyapun kini berada di hadapan Viana. Nicho tertegun, hatinya tersentuh. Betapa mulianya Viana sebagai seorang istri. Masih saja dirinya tega bercumbu dengan wanita lain. Lelaki mana yang tak bersyukur jika memiliki istri solehah. Mungkin hanya dirinyalah yang tak dapat mensyukuri apa yang ada. Sebab apa yang sering hadir diantara kita akan lebih berharga bila sudah hilang.
Ketika Nicho usai menatap Viana sejanak, dirinya bertekad untuk membawa Viana ke kamar tidur. Namun ketika dirinya hendak mengangkat tubuh mungil Viana, Viana terbangun. Viana segera membenarkan posisinya. Viana segera mencium tangan suaminya.
“Maaf ya aku ketiduran. Oh ya ini teh hangat untukmu,” Viana mengambil teh hangat itu. Nicho menatap Viana dengan berlinang air mata. Nicho sangat kagum oleh sosok Viana. Segera diambil secangkir teh hangat itu.
“Gapapa kok. Makasih ya.”
“Ya sama-sama. Kamu pasti lelah. Istirahat yuk!” seru Viana sembari membukakan dasi Nicho. Perhatiannya, sentuhannya, senyumannya sungguh tulus. Tak ada kebohongan yang tersiratkan disana. Seolah tak ada masalah yang kini menimpa dirinya. Meskipun hati dilema, namun Viana tetap mencoba tegar dan mempercayai suaminya.
“Iya. Maafin aku ya sayang. Aku ga bermaksud melukai hati kamu sama sekali. Aku minta maaf yang sedalam-dalamnya.” Nicho kini mencium kening Viana. Viana hanya membalas dengan sebuah senyuman. Viana tau bahwa Nicho hanya mencintai dirinya. Viana pula yakin bahwa Nicho berkata yang sejujurnya.
“Iya aku maafin kok.” Viana menatap Nicho lekat-lekat. Namun ada saja yang masih tersimpan diantara mereka. Viana terus menerus menatap Nicho hingga Nicho mau mengutarakan apa yang sebenarnya ia sembunyikan.
“Oh ya, aku mau minta izin sama kamu.” Nicho menggenggam tangan Viana lembut. Seolah tak ingin melukai hatinya untuk yang kedua kali. Nicho tak ingin membuat Viana kembali bersedih terlebih jika harus menitihkan air mata.
“Izin untuk apa?” Viana terkejut, matanya berbinar. Seolah tak ingin ditinggal pergi oleh orang terkasihnya.
“Aku izin meeting di Yogyakarta selama 1 minggu. Mungkin itu waktu yang cukup lama. Namun kali ini beda.” Nicho memutuskan pembicaraannya. Nicho mencari ekspresi yang tergambar di wajah Viana.
“Apa yang beda?” tanya Viana cepat tak ingin terlewatkan sepatah katapun. Viana ingin meyakinkan bahwa dirinya tak akan ditinggalkan suaminya.
“Kliennya datang dari beberapa negara. Tapi aku hanya sendirian ke sana. Aku gak bisa ngajak siapapun, apalagi asisten itu hanya akan memperkeruh suasana dan menghancurkan rumah tangga kita.” Nicho menjelaskan dengan tegas. Viana kini merasa sedih, dirinya seakan tak dianggap nyata.
“Oh gitu yaudah. Berapa lama kamu?” Viana tetap menampilkan senyum andalannya. Jauh di lubuk hatinya dirinya semakin terluka. Tak sedikitpun Nicho menganggap dirinya ada. Nicho tak melirik Viana bagaikan pendamping hidupnya. Viana hanyalah bayangan semu di hidup Nicho. Viana hanyalah penyemangat di kala keterpurukan melanda. Viana hanyalah tempat bersandar, tanpa ada balasan kasih sayang yang mendalam.
“Aku akan 1 minggu di sana. Besok aku berangkat. Bolehkan?”
“Iya boleh kok. Yaudah kalau gitu kamu mandi sana, biar aku yang bereskan semua kebutuhanmu.” Viana beranjak pergi menuju kamar tidur tanpa memedulikan Nicho. Nicho hanya tersenyum bahagia. Dibalik senyuman itu, ada hati yang terluka.
***
Setelah semalaman ia beristirahat, tiba saatnya Nicho menginjakkan kakinya di kota indah yaitu Yogyakarta. Kota yang penuh warna-warni sejarah. Kota yang tak luput dari wisata kuliner dan budaya yang khas. Serta kota yang selalu menjadi destinasi wisata. Namun jauh di Jakarta, Viana kesepian. Merajut asa di antara air mata yang bergelimpangan di pipinya. Sepi. Tak ada yang menemaninya dalam kesendirian. Tak ada gairah untuk hidup. Sinar mentari yang mencoba masuk ke kamar , seakan menyapa dirinya. Mencoba memberi semangat kehidupan yang melekat erat di tubuhnya. Serta semilir angin di luar seakan melambai-lambai. Meniupkan irama tak beraturan yang menenangkan jiwa. Lengkap sudah semua perasaan yang hancur. Perasaan yang tak lagi sama ketika pertama berjumpa. Perasaan yang terabaikan dari rasa kasih sayang yang pernah ada. Tapi jauh tanpa Viana ketahuipun Nicho sedang berjuang. Berjuang menyelesaikan masalah yang bertubi-tubi menyerangnya. Merapuhkan semangat 45 yang telah tertanam pada dirinya. Mencoba menggoyahkan hati dan rumah tangganya. Serta mencari sesuap nasi di antara kerasnya kehidupan yang ada.
Kini sehari setelah Nicho tiba di Yogyakarta, ia bergegas ke tempat dimana ia akan melakukan pertemuan dengan beberapa kliennya. Betapa terkejutnya Nicho ketika melihat para kliennya yang datang. Dari sederetan orang disana, dirinya hanya terpaku oleh cewek cantik nan rupawan yang telah lama tak dijumpainya. Ya, itu ialah Calista. Sosok cewek idamannya yang dari dulu hingga kini tak dapat berada di genggamannya. Nicho mencoba fokus pada materi yang akan di bahas, tapi entah kenapa seketika pikirannya terfokus pada Calista. Seusai melakukan meeting pada hari pertama, Nicho mencegah Calista untuk pergi.
“Calista,” seru Nicho dari kejauhan sembari mengikuti langkah kaki Calista. Calista terlihat sangat takut akan dirinya untuk diintrogasi oleh mantan kekasihnya. Calista pula tak menghiraukan panggilan itu. Ia semakin mempercepat gerakan kakinya. Tak kan lagi kerinduan yang telah lama sirna akan bangkit. Tak akan lagi pelukan itu ia rindukan. Tak akan ada lagi kenangan yang terjalin di antara mereka. Oleh sebab itu ia terus berlari tiada henti.
“Calista … Calista!” Nicho terus mencoba memanggil Calista hingga kini langkah kaki itu terhenti. Calista menoleh sebentar, awalnya ia hanya tersenyum untuk menghargainya dan kembali membalikan posisi utamanya. Namun tiba-tiba saja Calista menoleh dan berlari memeluk tubuh Nicho. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Calistapun sangat merindukan Nicho. Tak akan ada lagi kesempatan emas seperti itu. Calista tak ingin jika harus berpisah lagi dengannya.
“Nicho … I really miss you!” Calista terus memeluk tubuh Nicho. Nicho sangat rindu sosok Calista, terlebih pelukan hangat itu. Sudah lama tak berjumpa namun kini hadir di depan mata. Sungguh ini anugerah terindah yang ada dalam hidup mereka.
“Miss you too,” Nicho melepaskan pelukan itu sembari menatap mata indah Calista.
“Maaf waktu itu aku gak pamit, cuma lewat secarik kertas.” Calista merunduk seakan mengenang kesalahannya diwaktu lampau. Secarik kertas? Kata itu mengingatkan Nicho tentang teka-teki yang terus terngiang dikepalanya.
“Emm … oke ayo ikut aku, ada yang ingin aku perlihatkan. Sekaligus kita makan malam ya?” Nicho melihat langit yang mulai meredup. Pertanda kini hari mulai malam.
“Oke kita makan dimana? Diangkringan aja ya.” Calista meminta dengan nada manja, sungguh menggoda Nicho. Lantas mereka berjalan berdua beriringan, hingga tanpa diduga Nicho menggandeng erat tangan Calista. Sungguh Calista bahagia dan terhanyut suasana malam hari yang hangat di Yogyakarta. Mereka menyinggahi salah satu angkringan di pinggir jalan. Sungguh romantis bila dirasa walaupun terkesan sederhana. Canda tawa tergambar diantara mereka hingga Nicho tersadar bahwa dirinya ingin memperlihatkan suatu benda.
“Oh ya ini kan maksud kamu?” Nicho memperlihatkan secarik kertas dan sebongkah handphone yang kini usung. Calista tertegun, kertas yang ditulis tangan olehnya beberapa waktu silam serta handphone yang sempat terabaikan kini berada di genggaman Nicho. Nicho menjaga baik dua benda itu.
“Loh kok, ada di kamu? Kamu sengaja simpan ini?” Calista menatap Nicho dengan mata berbinar. Calista tak menyangka bahwa Nicho sebegitu perhatian terhadapnya. Terlebih Calista sangat bahagia dapat menikmati kebersamaan yang tak terduga. Mungkin memang waktu yang menarik ulur mereka sehingga mereka dipertemukan kembali di tempat dan suasana yang berbeda.
“Iya. Aku penasaran dengan dua benda ini. Aku anggap ini teka-teki atas kepergianmu. Apakah kamu bisa menjelaskan ada apa dibalik ini semua?”