Kini tiba hari dimana Nicho harus mengakhiri meeting-nya dengan para klien yang datang dari beberapa negara. Hari ini pula dirinya harus mengakhiri pertemuannya dengan Calista. Penutupan meeting kali ini menggunakan suasana yang berbeda yaitu dengan makan siang bersama. Disaat acara makan siang berlangsung, terdapat Izki di luar aula sedang memantau Calista dari balik jendela. Duduk termenung menghirup secangkir kopi hitam dan menjelma jadi orang lain. Izki kini semakin penasaran akan keberadaan Calista karena sekarang Calista telah sirna dari pandangannya. Ketika dirinya mengendap-endap mendekati gedung itu, ada seorang perempuan yang berlari dan menabrak dirinya. Izki sangat kesal, sebab kopi hitam pekat miliknya kini tumpah dan meninggalkan noda di kemeja biru kesayangannya.
“Ma-maaf ya.” Cewek itu sangat terkejut melihat kemeja biru Izki yang penuh noda. Izki menatap cewek itu dengan tatapan kesal, dipandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Maaf , maaf!! Lu bisa liatkan ini jadi kotor!” Bentak Izki kepada sosok cewek cantik mungil dihadapannya, kini ia hanya bisa merunduk sedih. Cewek itu memasang muka sok imut dihadapan Izki. Sesaat Izki memandangi wajahnya, Izki terpukau oleh pesona kecantikan yang terpancar di wajah manis itu.
“Ya sekali lagi maaf. Oh ya lu siapa? Kaya gak asing.” Cewek itu berusaha membersihkan noda dari kemeja Izki. Ketika dia memandangi Izki, dirinya teringat akan seseorang. Sosok cowok yang pernah dijumpainya disuatu tempat.
“Gua, Izki. Lu siapa? Pernah liat gua dimana?” Izki menatap sinis cewek dihadapannya. Menyelidik misterius. Tatapan itu penuh tanda tanya.
“Izki? Kayanya pernah dengar. Oh ya, lu sahabatnya Nicho, kan?” Cewek itu tak mengutarakan siapakah ia sebenarnya. Cewek itu sibuk mengenali Izki lebih dalam.
“Kok lu tau? Lu siapa si?”
“Gua Ara, mantannya Nicho.” Ara menjawab dengan rasa bangga yang membara.
“Oh Ara. Loh, lu ngapain di sini?” Izki terlihat kebingungan.
“Mending kita bicarain di tempat lain. Gimana kalau di kedai sebrang jalan?” Ara mencoba memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada.
“Yaudah boleh, ayo!” Izki menerima dengan semangat tawaran yang Ara berikan kepadanya. Seusai sampai di kedai yang dipilih oleh Ara, mereka duduk di dalam tepatnya di kursi yang paling pojok. Tempat yang memberikan sugguhan pemandangan cantik kota Yogyakarta. Dengan di balik kaca bening, kedua insan itu memandangi jalan raya kota Yogyakarta yang ramai dengan ribuan sapaan ramah disana. Kedua pelupuk matanya kini merasa senang, jarang hal tersebut dapat dijumpai di Jakarta apalagi Singapura.
“Nih jadi kedatangan gua kesini tuh gak sendiri.” Ara mulai membuka percakapan setelah sejenak terdiam menunggu pesanan datang.
“Sama siapa? Ngapain lu di sini?” Izki menatap Ara dengan serius, kedua bola matanya hanya terfokus oleh gadis cantik di hadapannya.
“Sama Viana. Kenal kan? Kita kesini tuh mau cari tau kebenaran tentang kedekatan Nicho dengan Calista.”
“Apa? Calista!”
“Iya, kenapa?” Ara menjawab dengan nada santai sembari menggigit biskuit cokelat di tangannya.
“Calista kan istri gua. Terus apa hubungannya sama lu? Emang lu siapanya Nicho?”
“Duh satu-satu dong nanya—nya,” Ara tersedak ketika mendengar bahwa Calista ialah istri dari Izki. Ara merasa dirinya tak lagi mempunyai kesempatan untuk mendekati Izki.
“Yaudah jawab. Oh ya emang Nicho dimana?” Izki semakin khawatir. Dirinya terus curiga terhadap Calista.
“Nih jadi gini, gua tuh assisten pribadi Nicho dikantor. Gua heran aja kenapa Nicho gak ngizinin gua ikut apalagi Viana istrinyapun gak di ajak. Terus beberapa waktu lalu kita dapat kabar dan bukti foto akan kedekatan mereka.” Ara memalingkan wajahnya ke luar jendela. Dirinya tak ingin melihat respons Izki yang meletup-letup.
“Mana buktinya?!” Bentak Izki dengan nada cepat. Lantas Ara mencoba meraih handphone-nya dan memperlihatkan sederetan foto mesra antara Calista dengan Nicho.
“Gak percaya gua. Ngakunya meeting tapi masih bisa selingkuh.” Izki menggeleng tak percaya. Izki marah, mukanya memerah.
“Aduh sabar dong sabar, kan kita belum tau kebenarannya seperti apa!” Ara mulai mencari perhatian Izki. Dirinya bersikap manis di hadapan Izki hanya untuk mendapatkan simpati dari Izki.
“Ya mending kita selidiki sekarang juga!” Izki menatap Ara dengan wajah menyeringai. Senyuman itu sungguh sadis.
“Yaudah bentar biar gua suruh Viana ke sini.” Ara menelfon Viana untuk segera datang ke kedai tersebut. Selama menunggu kehadiran Viana, Ara mencoba mengenal Izki lebih jauh. Ara terkagum terlebih terpukau dengan harta kekayaan Izki. Ara semakin menggila untuk jatuh cinta terhadap Izki. Disitulah kedekatan Izki dengan Ara terjalin. Diam-diam Ara tak memperdulikan kedekatan Nicho dengan Calista sebab Ara jatuh hati pada Izki. Izki pun memanfaatkan Ara. Sebab Ara tau bahwa Calista dekat dengan Nicho.
“Lama banget Viana,” ucap Izki lirih nyaris tak terdengar, namun telinga Ara sangat tajam dapat menjadi pendengar yang baik.
“Bentar lagi sampai kok.” Ara mencoba mencairkan suasana kembali, sesaat Viana tiba Ara menyambut dengan baik. Dirinya bersikap sangat manis di hadapan Izki.
“Jadi gimana?” Viana terkejut karena tak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
“Oh ya kamu kok di sini?” Viana menatap Izki tiada henti. Izki hanya memasang wajah yang tampan rupawan.
“Iya aku curiga dengan Calista. Ternyata setelah berbicara dengan Ara, ternyata mereka menjalin kedekatan lagi, ya?” Izki menatap Viana dengan mengangkat sebelah alisnya. Viana merasa tak enak hati sehingga dirinya hanya bisa tersenyum kaku.
“Gimana kalau sekarang kita kembali mendekati gedung itu dan menyelidiki mereka?” Ide Ara tiba-tiba saja muncul. Tanpa pikir panjang, Izki dan Viana menyetujui ide yang baru saja Ara sampaikan. Kini Izki, Ara, dan Viana menjelma menjadi detektif. Mereka bertiga bersatu untuk mengawasi Nicho dan Calista.
Namun disaat penyelidikan berlangsung, Izki dan Viana sibuk menata hati. Hati yang hancur berkeping-keping melihat pasangan yang kini berada di depan mata terlihat sedang asik berdua.
“Vi, kamu kenapa?” Tanpa sadar, saat menoleh Izki melihat Viana menjatuhkan air matanya.
“I'm fine.” Viana menjawab dengan singkat dan lirih nyaris tak terdengar oleh Izki.
“Kamu ga kuat ya lihat situasi seperti ini? Yaudah lebih baik kita cari kebahagiaan aja yuk ditempat lain.” Izki kini merangkul Viana. Viana sedang rapuh, dirinya butuh sandaran hingga ia tak berontak karena mendapat sentuhan selain suaminya. Ara terlihat sangat cemburu, dirinya terabaikan begitu saja.
“Eits … kalian mau kemana?” Ara memegang pundak Izki.
“Mau cari kebahagiaan! Kalau lu mau, lu aja yang nyelidikin mereka, kita berdua angkat tangan.” Izki kembali berjalan pergi meninggalkan tempat persembunyian mereka. Izki berusaha mengubah air mata Viana menjadi senyuman terindah.
“Kita duduk disana aja ya, aku ga kuat lagi untuk jalan,” Viana menahan isak tangis. Kini mereka duduk berdua dibangku taman yang sepi. Situasi dan kondisi sangat mendukung Viana untuk melepaskan semua penat melalui air mata. Dirinya kini bersandar di pundak Izki.
“Jangan nangis Vi, gua bingung sama Nicho. Kenapa dia ga bersyukur punya istri secantik lu. Masih aja berusaha merebut Calista dari gua.” Izki mengusap lembut pipi Viana. Mencoba menghapus setiap air mata yang mengalir. Memberikan ketenangan jiwa dari batin masing-masing yang saling tersakiti.
“Entahlah. Maafin Nicho ya, dia udah berusaha ngerebut Calista dari lu.” Viana meminta maaf. Disaat dirinya terjatuh rapuh, masih saja dia memperdulikan sosok yang telah melukai hatinya. Viana masih menjaga nama baik suaminya. Izki kini semakin berdecak kagum oleh sosok perempuan seperti Viana.
Ditengah misi yang kini tertunda, Izki jatuh hati pada Viana. Izki melihat betapa tulusnya Viana pada Nicho sejak dahulu kala. Izki sangat salut akan kasih sayang yang begitu besar yang Viana berikan kepada Nicho. Namun Nicho selalu mengabaikan rasa Viana. Vianapun mulai merasakan kenyamanan pada Izki. Diam-diam Izki dan Viana menyimpan rasa yang sama.
***
Melihat kedekatan antara Nicho dengan Calista serta Izki dengan Viana, Ara kesal. Dia yang ingin meraih Nicho tapi kini Nicho di raih oleh Calista. Ia pula ingin merebut Izki namun Izki mencintai Viana. Ara merasa kesal dengan keadaan yang hanya memanfaatkan dirinya. Oleh karena itu Ara menjadi pengkhianat ditengah suasana yang tak memungkinkan.
“Nicho!” teriak seseorang dari kejauhan, sontak Calista dan Nicho menoleh bersamaan. Ketika diamati ternyata yang memanggil mereka ialah Ara.
“Ara?!” teriak mereka serempak. Kini Ara semakin mendekat.
“Kok kamu disini?” Nicho menatap Ara tak percaya. Terus memandanginya tak berkedip sekalipun.
“Ialah gua disini gak sendiri kali!” Ara menjawab dengan nada santai sembari mengibaskan rambutnya. Sebelah alisnya menyerngit ke atas.
“Maksud kamu?” Calista kebingungan melihat tingkah laku Ara yang sangat aneh.
“Ya gua tuh disini ditemani oleh Viana dan Izki.”
“Apa?!” Calista dan Nicho teriak serentak. Kini mereka saling melempar pandang tak percaya. Ara hanya tersenyum lebar menyaksikan sepasang kekasih yang seperti ketahuan selingkuh saat sedang bercumbu.
“Gak percaya! Kalau ada mana mereka?” Calista menentang keras pernyataan Ara. Ara hanya menatap Calista dengan tatapan tajam. Menukik menyelidik dengan mendalam.
“Kalian jalan aja beberapa meter ke arah Barat. Disana ada mereka kok lagi berdua.” jawab Ara membuang muka.
“Oke! Ayo Nic,” seru Calista menarik tangan Nicho. Nicho tampak kebingungan, diikuti langkah kaki Calista. Sementara Ara hanya memandangi dari kejauhan. Menjadi saksi perang ketiga diantara mereka.
“Viana! Izki!” Calista berteriak dari samping bangku taman. Lantas Viana dan Izki menatap ke arah sumber suara.
“Calista! Nicho!” Viana menghapus air matanya dengan cepat. Berdiri tegak menghadap mereka.