PENJAGA Toko Istana Mainan yang baru saja memasang mainan robot kucing-kucingan melempar tatapan prihatin kepada ibu Qasidah. Rupanya penjaga toko merasa bersalah. Tapi, ibu Qasidah menggeleng singkat kepada penjaga untuk memberi kode bahwa masalah ini tidak perlu ditanggapi serius.
Penjaga itu menangkap isyarat dari ibu Qasidah. Dia mengangguk mengerti dan hanya berdiri memandangi ibu-anak itu dari kejauhan. Ibu Qasidah berjalan ke arah penjaga toko sambil berkata.
“Mas-Mas, titip anak saya, ya. Saya mau membeli kue di toko dekat tikungan sana,” Ibu berkata sambil menunjuk lokasi toko kue.
“Oh, ya, Bu, tidak apa-apa. Nanti akan saya awasi dari sini,” jawab penjaga toko sambil tersenyum.
“Terima kasih, Mas.”
“Ya, sama-sama.”
Ibu Qasidah lalu kembali ke tempat putrinya berdiri, beliau mengelap air mata Qasidah dan mencium keningnya.
Qasidah sebal bukan main, hatinya terasa panas dan kepalanya terasa berat. Tampaknya setan penggoda sedang membisiki hati Qasidah. Qasidah malah merasa disepelekan ibunya. Dia melipat dahi sambil mengerucutkan bibirnya lagi. Qasidah malah tampak lucu dengan tampang seperti itu. Suasana hatinya dapat dirasakan oleh siapa saja yang melihatnya.
Qasidah menangis nyaris tidak bersuara, namun begitu dalam kepedihannya. Hidungnya sampai kembang-kempis. Sambil menggeram-geram, dia membatin kalau dirinya benci—sangat benci Ibu. Dia bahkan berpikir tidak ingin melihat ibunya lagi.
“Ibu jahat! Aku enggak mau lihat Ibu lagi. Aku sebel sama Ibu!” Sambil mengentak-entakkan kaki di atas tanah dengan tangan diremas-remas, Qasidah meracau dengan suara serak kepada diri sendiri. Kemarahan terpancar dari mimik wajahnya.
Qasidah kalap.Ya, emosi sedang menguasai dirinya. Setan-setan semakin riang menari-nari merayu mengompori hatinya. Qasidah berulang kali berkata bahwa dia membenci Ibu dan tidak ingin memandang Ibu lagi. Dia marah sambil menyedot ingus dan terisak-isak.
Setelah tiga menitan, akhirnya air mata Qasidah mulai mengering dan meninggalkan jejak di pipi kanan dan kiri. Qasidah sesenggukan sampai tubuhnya bergetar-getar. Warna hidungnya masih kemerahan karena sembap.
Karena kelelahan, gadis kecil itu berjalan gontai dengan langkah kecil-kecil seperti robot ke bawah pohon rindang. Dia duduk di bawah, masih dengan kedua mata yang sembap.
Sekitar 6 meter dari tempat Qasidah duduk, penjaga Istana Mainan tadi masih memberikan tatapan kasihan, tetapi Qasidah mengabaikannya. Dia masih terisak, sampai batuk-batuk dan sesenggukan.
Qasidah termangu beberapa saat. Setelah batuknya mereda, Qasidah kembali fokus menatap sekeliling. Dia mendapati penjaga Istana Mainan membawa kemoceng otomatis. Sejenis kemoceng yang digerakkan dengan daya baterai agar bisa berputar sendiri dan menyemprotkan cairan kimia pembersih jendela.
Qasidah menggerutu sambil balas menatap petugas dengan pandangan penuh kejengkelan sampai petugas Istana Mainan itu mengalihkan pandangan dan berbalik membersihkan kaca.
Qasidah kesal diamati terus. Dia tidak suka petugas Istana Mainan ikut campur urusannya. Benar-benar menyebalkaaan! Qasidah membatin sambil mengerutkan dahi. Dia bersandar di pohon besar dan dengan mata cokelat beningnya melihat suasana pasar di sekitar.
Orang-orang berpakaian formal lengkap dengan jas dan dasilah yang paling sering berlalu-lalang di dalam pasar. Wanita-wanita mendorong kereta bayi, ibu-ibu membawa tas belanjaan besar, dan semuanya berjalan tergesa-gesa. Pandangan menghadap ke arah depan dan bersikap cuek dengan sekitar.
Semua orang terlihat sibuk, padahal ini hari libur, Qasidah membatin sambil menyipitkan mata sembap
nya yang mengilap terkena sinar matahari. Dia mengingat Ibu yang meninggalkannya begitu saja. Qasidah kembali terisak sambil berselonjor di bawah dan menyeka air mata. Dia termangu ke arah para pejalan kaki. Tidak berpikir apa pun, seperti melepas kepenatan.
Setelah beberapa belas detik, ada sepasang kaki unik yang menarik hati Qasidah. Kaki itu berada di antara orang-orang yang berlalu-lalang, membuat Qasidah penasaran setengah mati. Mata bulatnya mengikuti ke mana pun kaki itu bergerak.
Kaki itu tidak memakai celana seperti kaki-kaki lain di sekitarnya. Warnanya aneh, hitam-putih seperti zebra, tetapi berpola seperti kulit jerapah, totol-totol di sana-sini. Banyak aksen kuning, hijau, dan merah cabai di bagian-bagian tertentu. Seperti warna-warna boneka kesukaan Qasidah. Qasidah melongo kagum.
Bagian depan kaki itu menghadap ke arah Qasidah, seperti memperhatikannya. Kaki yang panjang dan kurus itu sesekali mengatup-ngatup seperti gerakan kaki kijang. Lincah dan lucu, membuat Qasidah penasaran.
Olala! Qasidah langsung mendongakkan kepala untuk melihat siapa dan seperti apa pemilik kaki itu. Saat mendongakkan kepala untuk melihat pemilik kaki indah itu …, sayangnya Qasidah kalah cepat. Kaki itu sudah melompat duluan seperti anak kijang yang menari-nari, mendarat di antara semak-semak kecil yang menjadi pagar pembatas trotoar.
Qasidah refleks berbalik menengok, mencari sosok
gesit itu. Ternyata, ia melompat lagi ke pohon besar tidak jauh dari Istana Mainan. Qasidah mengamati sosok yang sedang bersembunyi itu untuk kesekian kali dengan beribu pertanyaan di benaknya. Apakah itu sejenis rusa spesies baru? Atau, binatang yang belum pernah aku lihat sebelumnya? Kenapa warna kakinya bercorak-corak? Apakah Manusia Sirkus yang memakai egrang? Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Qasidah mengarahkan pandangannya ke pohon besar yang terletak dekat Istana Mainan untuk menemukan sosok tadi.
Namun secepat kilat, terlihat bayangan melesat keluar dari pohon. Melompat-lompat begitu cepat ke berbagai arah. Mata Qasidah tidak sanggup mengikutinya untuk menangkap sosok itu secara utuh. Terakhir, sosok itu bersembunyi di balik sebelah pohon yang akarnya tadi diduduki Qasidah.
Qasidah mendadak lupa dari kesedihannya. Rasa ingin tahunya jauh lebih mendominasi. Dia sangat penasaran. Sosok itu seperti mainan yang benar-benar “hidup”. Dia bertekad menangkap dan membawa sosok tadi pulang ke rumah.
Qasidah terus menatap pohon tempat Si Lincah menghilang. Tidak ada apa-apa. Qasidah masih setia memandangi pohon itu sampai ….
Sesosok wajah putih belang-belang itu muncul sedikit, mengintip Qasidah.
Wajah putih itu lucu sekali. Bulunya halus dan tebal seperti bulu kelinci, Qasidah membayangkan.
Qasidah seketika tersentak dengan senyuman lucunya. Dia beranjak ke balik pohon, tapi kemudian Si Lincah buru-buru bersembunyi lagi. Ia seperti mengajak Qasidah bercanda dengan permainan sederhana “cilukba” yang digemari anak-anak di bawah usia Qasidah.
Qasidah tanpa sadar meringis lebar. Deretan gigigigi putihnya menunjukkan kalau dia rajin sikat gigi sebelum tidur. Dan, oh, saat Qasidah tersenyum dengan hati gembira, dia begitu lucu dan menggemaskan.
Permainan itu berlangsung berulang kali, dihiasi ledakan-ledakan tawa gemas Qasidah. Ya, semakin lama bermain, semakin Qasidah tertawa cekikikan. Dia lupa dengan kesedihannya. Qasidah begitu ingin memegang makhluk lincah yang menggemaskan itu.
Makhluk lincah itu bermain “cilukba” dengan variasi berbeda-beda: menjulurkan lidah, membelalakkan mata, hingga menggembungkan pipi. Bagaimana Qasidah tidak terkikik geli sambil memegangi pipinya berulang kali? Semakin lama, jarak makhluk itu semakin dekat dengan Qasidah. Makhluk itu seperti membuat Qasidah beranjak dan mendekatinya sedikit demi sedikit.