Hujan masih belum berhenti sejak semalam tadi. Membuat kediaman milik kelurga Kaf yang hanya diterangi satu lampu kecil, sama gelapnya saat malam hari. Padahal Ane-Istri Kaf paling senang jika matahari datang. Membuat rumah remang-remangnya bisa sedikit lebih terang.
Apartemen yang berdempetan membuat keluarga Kaf dan warga sekitar sulit mendapatkan sinar matahari yang cukup.
Kaf beserta dua anaknya Nahl dan Piyuy menanti sarapan di meja makan besi yang sudah karatan. Cuaca sejuk dan wangi telur dadar membuat perut mereka makin keroncongan.
"Sudah belum, Ma? Cacing-cacing di dalam, kayanya bentar lagi makan perut Piyuy," tanya Piyuy, sambil menunduk dan menunjuk perutnya dengan dua jari telunjuk. Rambutnya yang sehitam arang, berjatuhan menutupi wajah.
Kaf bangun dari duduk dan mengikat rambut putri kecilnya. "Sabar, ya, Piyuy. Bentar lagi telur dadar kesukaan kamu udah jadi."
"Asiiik, Piyuy tau dari wanginya, ini pasti telur dadar." Piyuy mendongak menatap ayahnya. "Ayah, Piyuy boleh minta punya ayah? Sedikit aja. Soalnya Piyuy, kan, hari ini ulang tahun."
"Oh, iya!" pekik Kaf, "Piyuy hari ini ulang tahun, ya?"
Piyuy mengangguk cepat, mata hitam pekatnya berkilat-kilat.
"Ulang tahun yang ke berapa?" tanya Kaf pura-pura tidak tahu.
"Lima!" jawab Piyuy dengan jari tangan menunjukan angkat empat.
Kaf tertawa sembari membetulkan jemari Piyuy menjadi angka lima.
"Ini baru lima." Kaf mengusap kepala Piyuy yang tertawa geli dengan kesalahannya sendiri.
"Kue telur dadar udah jadii," ucap Ane membawa sepiring telur dadar berhias satu lilin kecil di tengahnya, kemudian meletakannya di meja.
"Waah, ada lilinnya." Piyuy bertepuk tangan. "Akhirnya Piyuy punya kue ulang tahun juga."
Ane dan Kaf duduk di kursi, bersiap untuk tiup lilin sebelum makan.
"Setiap hari juga makan itu Piyuy," kata Nahl, Kakak Piyuy yang berumur sebelas tahun dengan nada ketus. Tangannya terlipat di meja sedari tadi.
Kaf menoleh, "Jangan begitu, Kak. Ayo kita tiup lilin dulu terus makan."
Sementara Ane, sibuk membagikan nasi sisa kemarin ke atas piring masing-masing agar semua terbagi rata. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini Ane membagi setengah nasinya pada Nahl.
"Udah jangan marah. Mama tau kamu laper, kan? Ini mama lebihin nasi buat kamu, gimana?"
"Enggak, Ma! Nahl bosen makan telor terus!"
"Terus kamu mau makan apa, Nahl? Ayah belum ada uang," ungkap Kaf. "Hasil foto Ayah belum ada yang laku."
Sebagai seorang fotografer lepas, Kaf kesulitan mendapat panggilan karena kamera yang Kaf punya sudah ketinggalan zaman.
Kamera turun temurun dari kakek Kaf, sudah tidak bisa diterima lagi di tahun 3000 ini. Sudah tidak ada tempat ataupun alat yang bisa mencetak foto dari hasil kamera itu. Lebih tepatnya sudah tidak ada lagi foto. Yang ada hanya video singkat yang bisa dicetak ke dalam arklirik sukuran telapak tangan untuk kemudian dijadikan kenang-kenangan.
Kaf sedikit menyesal dengan ideologinya untuk tidak menjual demi bisa membeli kamera baru. Hanya bekerja serabutan yang kini bisa Kaf harapkan untuk membeli seplastik telur ayam, agar bisa menyambung hidup keluarganya selama seminggu.
"Ayo tiup lilin," rengek Piyuy.
"Yuk, tiup lilun dulu, Kak. Demi adik kesayangan kamu." Ane memgang tangan Nahl dengan lembut.
Selsai tiup lilin, Ane membagi satu telur dadar menjadi empat bagian dengan sendok.
"Ini buat yang ulang tahun dapat potongan kue telur dadar yang paling pertama." Ane tersenyum pada Piyuy.
"Asiik." Piyuy langsung menyantap nasi telur dadarny
Ane membagikan sisa telur pada Kaf, Nahl dan dirinya sendiri. "Ayo dimakan, Nak."
Nahl bergeming. Tangannya yang tadi terlipat di meja, sekarang terlipat di dada.
"Nahl, ayo Nak makan dulu," ucap Kaf dengan mulut penuh makanan. "Telor itu baik untuk tumbuh kembangmu. Bahkan lebih baik dari ayam broiler."
"Gak!" Nahl mendorong piringnya dengan kasar. Sebagian kecil nasinya ikut tumpah ke meja.
Kaf dan Ane terdiam. Mereka tak menyangka anak pertamanya akan berbuat seperti itu, meski Nahl memang agak nakal sewajarnya anak laki-laki berumur sebelas tahun.
"Nahl, kalau kamu tumpahkan itu lagi, berarti tidak ada yang bisa kamu makan untuk mengganjal perut sampai siang." Kaf berusaha untuk tenang.
"Ayah, lihat, nih!" Nahl melingkari seluruh wajahnya dengan jari telunjuk. "Kakak udah dijulukin Si Muka Bisul sama temen-temen!"
Nahl mendorong kursinya kemudian pergi meninggalkan rumah.
"Nahl! Kembali kamu!" Ane berniat mengejar Nahl, tapi ditahan oleh Kaf.
"Biarkan saja dulu," ucap Kaf menenangkan Ane, "Dia cuma butuh udara segar. Nanti juga kembali sendiri. Yuk, kita lanjut makan."
Ane kembali duduk dan lanjut menyantap sarapannya, begitu juga dengan Kaf. Namun, tiba-tiba Piyuy kejang. Sorot mata piyuy kosong, sementara tangan kakinya lurus menegang hingga menampakkan tulang dan sebagian urat,
"Piyuy!" Kaf berusaha menahan Piyuy, tapi dia terlambat sekian detik. Piyuy terjatuh dari kursinya dan kepala bagian samping menghantam lantai.
Ane langsung meraih Piyuy, dan meletakan kepala anaknya di pangkuan. Ane juga menepuk-nepuk pelan pipi Piyuy agar tersadar.
"Piyuy, kamu kenapa Piyuy? Piyuy!" Ane berusaha membangunkan Piyuy. "Kaf, Piyuy kenapa?"
"Aku tidak tahu, Ane." Kaf berjongkok dan kebingungan hingga tak berani menyentuh piyuy yang masih terbujur kaku dengan dada sedikit naik.
"Nak, bangun, Nak." Kaf juga berusaha membangunkan Piyuy. Mereka bedua panik hingga berkeringat dingin. Piyuy belum pernah kejang seumur hidupnya.
Tiga detik kemudian Piyuy berhenti kejang. Tubuhnya melunak sering matanya yang menutup. Ane dan Kaf makin panik karena Piyuy bukannya bangun, malah tidak bergerak.
"Piyuy! Piyuy!" Ane makin histeris sambil mengguncangkan tubuh Piyuy. "Kaf, lakukan sesuatu!"
Kaf memeriksa nadi dan napas Piyuy. "Dia pingsan."
Ane mengembuskan napas lega, karena Piyuy cuma pingsan. Namun tetap saja Ane merasa cemas, sebab mereka tidak punya uang untuk membawa putri kecilnya ke dokter. Ane khawatir Piyuy terlambat ditangani.
"Ane, tolong ambilkan minyak angin!" perintah Kaf.
Ane beranjak ke kamar mengambil minyak angin. Barangkali cara tradisional ini mampu membuat badan Piyuy jadi enakan sehingga mereka tidak perlu ke dokter.
Sedangkan Kaf berinisiatif memindahkan Piyuy ke satu-satunya sofa tepat di bawah jendela; dan merupakan tempat tidur Kaf, agar Piyuy lebih nyaman.
Ane datang membawa minyak angin yang tersisa sedikit lagi, saat Kaf sedang membuka jendela.
Tanpa banyak bicara, Kaf menuangkan minyak angin pada tangannya kemudian membalurnya pada dada, perut, dan punggung Piyuy. Hati Kaf berdesir melihat putrinya terkulai lemas meski tubuhnya digerakan ke sana kemari. Biasanya anak itu paling susah dibaluri minyak angin jika sedang tidak enak badan.
"Ayo, Nak bangun, Sayang," ucap Kaf lirih.
Kaf juga mengoles sedikit sisa minyak angin yang masih menempel pada tangannya ke hidung mungil Piyuy.
Semenit, dua menit bahkan nyaris sepuluh menit, Piyuy belum menunjukan pergerakan sama sekali.
Kaf kembali menuangkan sisa minyak angin dan membalurnya pada tubuh Piyuy, lalu menggosoknya lebih kuat agar tubuh Piyuy lebih hangat.
Sebagai orang awam tentu Kaf dan Ane tidak tahu langkah apa yang tepat untuk menangani orang pingsan. Apakah memaksanya untuk bangun alih-alih menunggu sadar sendiri adalah cara yabg betul atau malah berbahaya, mereka tidak tahu sama sekali.
Untuk itu Kaf mencoba menunggu sekali lagi sambil mengipas-ngipas tangannya agar Piyuy dapat udara lebih. Hanya saja hasilnya kasih nihil.
Saat Ane dan Kaf masih kebingungan bagaimana caranya menangani Piyuy, Nahl tiba-tiba masuk dengan terengah-engah. Di ke dua tangannya, Nahl memengang dua potong ayam goreng.
"Dari mana kamu Nahl?" tanya Ane, yang juga mewakili pertanyaan Kaf, "dan dari mana juga ayam goreng itu?"
"Piyuy kenapa?" Bukannya menjawab, Nahl malah balik bertanya soal kondisi adiknya. Bahu Nahl terlihat turun saat berjalan mendekati sofa.
"Piyuy tadi tiba-tiba kejang, lalu pingsan," jawab Kaf.
"Apa itu kejang?" Nahl berjongkok di sebelah sofa, tetap memegang dua ayam gorengnya.
"Ayah juga sulit menjelaskannya. Yang jelas kondisi itu gawat."
Nahl menunduk sambil menatap nanar dua ayam goreng yang dia bawa. "Padahal, Nahl udah bawa hadiah ulang tahun untuk Piyuy."
"Nanti kita beli hadiah ulang tahun untuk Piyuy, ya." Ane mengusap pungung Nahl. "Sekarang cerita sama Mama, kamu dapat ini dari mana?"
"Permisi." Seseorang mengetuk pintu yang belum sempat ditutup. Kaf berdiri untuk melihat siapa yang datang.
Di ambang pintu, seorang pria berusia sekitar setengah abad lebih lima tahun, berdiri membawa sepiring penuh ayam goreng. Rambutnya yang sudah hampir memutih seluruhnya membuat Kaf yakin dia lebih tua meski bisa dibilang badannya lebih bagus dari Kaf; dadanya bidang, berotot, dan kentara sekali bahwa pria itu masih 'terlatih' hingga kini.
Sangat berbeda dengan Kaf yang tiga tahun belakangan ini malah makin kurus. Bahkan kacamatanya lebih sering melorot.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kaf sambil membetulkan posisi kacamata.
"Apa tadi ada anak laki-laki kira-kira setinggi ini masuk ke sini sambil membawa dua ayam goreng?" Pria itu bertanya sambil memperagakan tinggi badan Nahl dengan salah satu tangannya.
Kaf terkuhat gerogi dan menoleh ke arah Nahl yang masih duduk di samping sofa bersama Ane menjaga Piyuy. Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab iya, atau tidak.
"Mmm... Kenapa memangnya?" tanya Kaf.
"Begini, anak itu tadi mengambil dua ayam goreng milikku tanpa permisi, dan—"
"Nahl! Kesini kamu!" Mendengar jawaban pria itu, Kaf emosi dan langsung memanggil Nahl meski pria itu belum selesai bicara.
Nahl datang dengan wajah tertunduk lesu. Karena tahu siapa yang datang, tanpa berniat untuk berdebat Nahl langsung meletakam dua potong ayam goreng itu di piring yang masih dibawa oleh pria tersebut.
"Lho, kenapa dikembalikan?" pria itu malah terkejut melihat reaksi Nahl.
"Maaf, Pak. Saya betul-betul mohon maaf atas kesalahan anak saya." Kaf menunduk. "Nahl, kamu juga minta maaf!"
"Lho, tidak usah minta maaf." Pria itu mengibaskan satu tangannya. "Saya ini justru ingin memberikan lagi ayam goreng untuk kalian."
"Maksudnya?" tanya Kaf keheranan.
"Begini. Sebelumnya saya mohon maaf jika lancang." Pria itu diam sejenak. "Saya, yakin adik ini tidak bermaksud mencuri jika bukan karena terpaksa, karena dia cuma mengambil dua sementara dia bisa saja mengambil lebih. Dugaan saya, dia pasti lapar, tapi tidak punya uang."
"Sekali lagi maafkan saya jika lancang. Seperti yang kita tahu, lingkungan di sini memang mengkhawatirkan. Dan kebetulan saya ada makanan lebih."