Cekrek. Aku menjepret istana Montaza dari luar gerbang. Sekali lagi mencari sudut terbaik agar hasil fotonya bagus. Aku bergeser ke kanan kiri, melangkah sedikit demi sedikit, hingga tiba-tiba dari lensa kamera aku melihat seseorang melambaikan tangan ke arah kamera. Aku segera menjauhkan arah kamera dari orang itu. Namun sekali lagi orang itu mengikuti arah kameraku, aku menurunkan kameraku dan berisyarat dengan tangan agar orang itu bergeser. Dia tersenyum dan menjauh dari pandanganku. Tetapi anehnya, seorang lelaki berwajah Asia itu malah berjalan ke arahku. Aku tidak memedulikannya dan sekali lagi mengabadikan senja bersama bangunan perpaduan gaya Turki dan Itali. Aku menjepret dua dan tiga kali lagi. Kemudian mengedarkan pandangan memandang jauh Laut Mediterania yang debur ombaknya terdengar damai memenuhi telinga. Menjepret satu dua pemandangan laut, beberapa sisi bagian taman, dan lelaki itu masih mengikutiku.
“Jangan takut, saya orang Indonesia, Aceh Minang. Muusir, Ibnu Muusir. Thalib di Jami’ah Iskandariyah. Saya lihat kamu juga sepertinya orang Indonesia, saya hanya mau menyapa, sesama saudara setanah air.”
Aku menoleh ke lelaki itu. Dia tersenyum, aku balas tersenyum.
“Mari,” yang mengaku bernama Muusir itu pamit sambil tersenyum sekali lagi
“Saya juga sedang menempuh studi di sana. Ya, saya orang Indonesia juga.” Sahutku menghentikan langkahnya
Muusir berbalik, melihat lagi ke arahku sambil tersenyum dan mengangguk. Dia menghampiriku.
“Mari!” tangannya mempersilakanku berjalan, kami berjalan beriringan
“Kalau boleh tahu, dari fakultas mana? Jurusan apa?” tanyanya setelah beberapa langkah kami jalan bersama
“Farmasi, farmakognosi,” sahutku singkat
“Semester?” tanyanya lagi
“Dua,” sahutku lagi
Muusir berdehem. Aku menjepret sekali lagi ke arah pantai.
“Wa kaifa ant?”1 aku balas bertanya
“Saya semester enam di oseanografi,”
“Waah sungguh? Saya punya kakak, dan dia ingin sekali kuliah di sini di jurusan itu juga,”
Muusir menahan senyum melihat ekspresiku.
“Begitukah?” responnya
“Yaa, tapi karena beberapa hal dia tidak bisa berangkat. Oh ya, jadi saya panggil Uda atau Abang atau Akhi saja?”
Muusir tersenyum lagi mendengar pertanyaanku.
“Sebenarnya Minang Aceh darah saja, saya tinggal lama di Jawa, adik saya perempuan dan memanggil saya Mas. Adik saya juga ingin sekali kuliah di sini bareng Masnya, tapi sudah diterima lebih dulu di medical school NUS, yaa akhirnya lebih milih itu, karena lebih dekat Indonesia juga.” Muusir menjelaskan
Aku mengangguk berulang, teringat teh Naya yang juga sedang menempuh pendidikan di sana. Aku tersenyum lega tidak lagi ada rasa takut dan pikiran yang aneh tentang Muusir.