QUBA - Perjalanan Menjadi Bayangan

Manna wa Salwaa
Chapter #4

Taswir

Ayah berdarah Minang Betawi. Wajahnya tegas. Perawakannya tinggi besar, dadanya bidang, nampak sehat dan segar meski usianya sudah setengah abad lebih sedikit. Tatapannya tajam dan menundukkan. Dagunya panjang, alisnya lebat panjang dengan bulu mata yang lebat juga. Kulitnya putih bersih, namun ada bekas jerawat di wajahnya. Persis begitulah juga Bang Fai.

Berbeda dengan Mas Saaih yang berkulit gelap manis, dengan perawakan kurus dan tinggi, dadanya tidak sebidang bang Fai, tulang pundaknya juga agak menaik. Tatapannya sayu dan meneduhkan, ditambah lesung pipit wajah Mas Saaih mengaurakan rasa nyaman. Tulang rahangnya tegas dan simetris di sudutnya. Dagunya lebih lancip dengan milik Ayah dan bang Fai. Alis dan bulu mata mereka sama-sama lebat dan panjang, bedanya bulu mata mas Saaih panjangnya merunduk, mungkin sebab itulah tatapannya nampak teduh. Kedua bola matanya nampak sayu seperti mengantuk. Namun tak bisa dipungkiri, bulu matanya adalah karisma di wajahnya.

Mas Saaih adalah satu-satunya anak Bunda yang mendapat warisan lesung pipit. Dan dengan lesung pipit itu Bunda terlihat sangat manis dan awet muda.

Wanita hebat berdarah Jawa Sunda itu bernama Wardah

Ainun Zahira. Bunda berkulit sedikit gelap, mungkin karena gen Jawa agak kental di dirinya. Ayah lahir dan tumbuh di langit J-Town. Sedang Bunda lahir di tatar Kabayan namun bertumbuh kembang di panggung Gareng dan Bagong. Karenanya, keenam anaknya berdarah Betawi Jawa.

Ketika dua anak laki-laki mereka adil berbagi masing-masing mengikuti satu pihak dalam urusan wajah, keempat anak perempuannya kompak mengikuti gen Ayah. Berkulit putih bersih berperawakan ideal antara tinggi dan berat, tidak menjulang tinggi kurus seperti mas Saaih. Dengan bulu mata yang tidak merunduk, dan mata sedikit lebih besar dan bulat untuk mbak Muthi dan teh Naya, sedang aku dan kak Hawa terlihat lebih khas karena ada kumis tipis di bawah hidung. Wajah mbak Muthi dan teh Naya juga terlihat sedikit lebih bulat dengan rupa dagu terbelah di ujungnya, sedang aku dan kak Hawa memiliki tulang pipi yang tinggi dan tegas.

Formasi wajah kami jauh dari bunda, tapi juga tidak terlalu mirip dengan Ayah, kami membuat perpaduan versi masing-masing kami.

Oh ya satu lagi, satu hal yang sebenarnya bisa disebut sebagai kekurangan itu justru membuatku merasa semakin menjadi autentik, adalah lidahku yang tidak sempurna ketika mengucapkan huruf “R”. Perlu persiapan dan usaha lebih agar lidahku bisa menghasilkan getaran yang tetap tidak sempurna ketika bersinggungan dengan huruf itu. Istilahnya cadel.

 

Aku menatap satu-satunya foto keluarga yang kubawa. Di dalam kamar dengan jendela menghadap keluar yang berpemandangan alam indah bentang laut Mediterania, langit biru cerah membungkus jantung kota wisata ini. Ah melulu, suasana hatiku tidak bisa secerah ambal dirgantara Mediterania ini. Baskaranya selalu maksimal ketika bertugas.

Momen yang diabadikan oleh kamera ke dalam bentuk gambar yang sedang ku pegang itu adalah salah satu momen paling membahagiakan yang pernah terjadi selama hidupku. Itu foto wisuda sarjanaku. Keenam anak ayah berkumpul lagi setelah sekian lama tidak saling bertemu karena tugas melimbang berpencar di berbagai daerah nan jauh.

Aku berdiri di tengah mendekap buket dengan seperangkat pakaian toga diapit Ayah dan Bunda. Jilbab ungu yang kukenakan hanya terlihat sedikit karena tertutup topi toga, berwarna senada dengan bagian lengan baju yang terlihat karena lengan toga yang agak ngatung. Aku mengenakan gamis kala itu, seragaman dengan bunda dan semua kakak perempuanku. Sedang Ayah terlihat sangat gagah dengan kemeja ungu yang dipadukan dengan jas dan celana hitam gelap. Kemeja ungu yang juga seragam dengan yang dikenakan bang Fai dan mas Saaih, hanya saja mereka tidak mengenakan jas.

Lihat selengkapnya