Di kesempatan berikutnya, masih dalam waktu Kelas Membaca Bersama aku menanyakan satu hal yang mana pertanyaanku membungkam seisi ruangan. Kelima kakakku tidak ada yang mengajukan diri untuk menjawab pertanyaanku seperti biasanya. Sungguh satu-satunya yang bisa menjawab pertanyaanku itu hanya Ayah. Aku mempertanyakan kenapa aku diberi nama Ahya, apa makna Ahya? Ketika semua bibir kelu ikut bingung atas pertanyaanku, Ayah menjawab dengan santai,
“Ahya itu dari Hayaa, hidup, kehidupan. Ahya itu penggambaran kehidupan, arti Ahya sendiri adalah bayangan. Kenapa bayangan? Ada yang bisa menjelaskan?”
Enam pasang mata milik enam anaknya itu hanya saling lirik.
“Konotasi bayangan itu buruk ya? Bayang-bayang gitu, sesuatu yang tidak nyata. Ada ungkapan begini, sebenarnya kamu benar-benar sendiri, karena bahkan bayanganmu meninggalkanmu saat gelap. Ya nggak? Pernah dengar itu?”
Kami mengangguk.
“Tapi mari perhatikan ini!” (Ayah menekuk-nekuk sepuluh jemarinya membuat serupa burung. Kemudian Ayah mengarahkannya pada cahaya, dan timbulah bayangannya di tembok hijau dekat papan tulis)
Tampak tiruan burung yang bergerak ke kanan kiri atas bawah sesuai dengan gerak tangan Ayah. Kemudian Ayah membentuk serupaan ular dari tangannya, merentangkan sepuluh jarinya dan berdadah. Bayangan di tembok menampilkan yang serupa dilihat.
“Ada yang bisa menyimpulkan?” kami semua masih diam, terlihat rona wajah kami sedang memikirkan maksud Ayah
“Tidak ada yang bisa?” Ayah bertanya sekali lagi, kami tetap hening khidmat memperhatikan Ayah
“Coba semua gerakkan tangan, buat bentuk sesuka hati!” pinta Ayah
Segera keenam anaknya, juga bunda melaksanakan perintah Ayah itu.
Kami bergerak bebas, tangan kami naik turun, ke samping, memutar, menjentik, dan masih banyak lainnya.
“Ada yang mulai paham?” tanya Ayah sekali lagi
Kelima anaknya menggeleng. Kepala mas Saaih sudah sejak tadi miring ke kanan, tatapan matanya tidak lepas dari Ayah. keningnya berlipat mencerna kalimat Ayah.
“Baiklah, kali ini dengar dan pahami baik-baik kalimat ini.” ujar Ayah membuat seisi ruangan tegang.
Ayah menegakkan posisi duduknya, punggungnya agak dimajukan, pundaknya naik dengan lengan menjadi tumpuhan di atas meja, kedua tangannya mengepal. Tujuh pasang mata lainnya sudah sedang menatap dalam mata Ayah seolah Ayah akan memberi tahu rahasia yang sangat penting. Ketika semua sudah begitu, Ayah tiba-tiba tersenyum dan memundurkan lagi badannya.
“Kenapa jadi pada tegang gini? Hihi hihi hihi…” ujar Ayah sambil membenarkan kacamatanya menahan tawa
Kami tersenyum, aku yakin bukan hanya aku tapi yang lainnya juga, tersenyum menahan tegang.
“Jadi gini, kenapa bayangan? Karena dari bayangan kita bisa belajar satu hal yang sangat penting, dan itu adalah tentang ketaatan. Bayangan itu selalu manut, patuh, tunduk, taat pada apa yang menjadikannya ada. Nggak ngeyel dengan bergerak melawan, mendahului, atau terlambat. Iya nggak?” Ayah menjeda kalimatnya sambil menggerak-gerakkan tangannya lagi membuat bayangan
“Nah, kalau yang menjadikan bayangan ada adalah benda di sekitarnya, lalu apa yang menjadikan manusia ada? Pada itu juga seharusnya manusia taat tanpa nawar.” Ayah menyudahi kalimatnya
Ruangan tetap hening. Semua kepala kecuali mas Saaih dan Bunda mengangguk berulang mendengar kalimat Ayah.
“Bayangan itu hanya tentang dua hal. Benda dan cahaya, salah satunya nggak ada, nggak bakal ada bayangan. Diibaratkan Manusia tuh ini,” ujar Ayah sambil mengangkat pulpen
“Lampu itu adalah cahayanya, Al quran, kalau manusia bersinergi dengan Al quran, tentu Manusia akan menjadi bayangan itu, bayangan atas siapa yang menjadikan manusia ada. Tanpa cahaya bayangan tidak akan ada, tanpa Al quran manusia tidak bisa menjadi sebagaimana yang Allah mau. Tanpa pulpen, bayangan itu juga tidak akan ada, tanpa manusia, Al quran itu juga sia-sia. Sesuai surat Al baqarah ayat 185, bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al quran sebagai petunjuk bagi manusia. Bukan bagi hewan, bukan bagi pepohonan, bukan bagi langit dan sungai, gunung dan palung, tapi bagi manusia, untuk manusia. Ahya manusia?”
Pertanyaan Ayah mengagetkanku.