~ Kalau titik nol dianggap sebagai titik aman, maka kembali ke titik nol tidak salah. Tapi perlu diperhatikan langkah pertama dari titik nol itu. Menuju plus satu (+1) atau minus satu (-1). Karena setelah tidak lagi ada di titik aman kemungkinannya hanya dua, bertambah amannya atau berkurang amannya. ~
Setelah menempuh perjalanan dengan mobil yang membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam, akhirnya sekitar pukul empat sore kami sampai di Luxor. Secara bergantian, Salman pemilik mobil dan IDP, bergantian menyetir dengan Adhi yang juga memiliki IDP. IDP adalah semisal kartu SIM internasional yang bisa digunakan di beberapa negara. Salman dan Adhi duduk di depan, Muusir dan Adam di belakangnya, barulah kemudian aku dan Ida duduk di bangku paling belakang. Suasana perjalanan di mobil cukup menyenangkan berkat kehadiran Ida yang ibarat tim hore dalam sebuah pertandingan. Jenaka yang dilontarkannya bersambut dengan Adhi yang duduk di sebelah Salman yang adalah kakak Ida.
Ada salah satu momen lucu yang terjadi ketika kami belum lama keluar dari kota Alexandria. Suasana yang semula sepi berakhir ketika Ida tiba-tiba bertanya kepadaku dengan suara cukup terdengar sampai ke jok paling depan. Yaa, memang begitu intonasi dan volume bicara Ida. Begini tanyanya,
"Ahya, kata mas Ibnu Ahya mau banget lihat Nil di Luxor, kenapa?"
"Yeee, namanya dibawa-bawa tuuh Nu!" Sahut Adhi dari jok depan
"Iyaa nih," sahut Muusir
"Tapi emang bener kok, gue pernah bilang gitu," tambah Muusir
"Yeee, denger tuh Mas Adhi... udah biarin aja Ya, ga usah dengerin dia, jadi kenapa pengin lihat Nil di Lux...?" Timpal Ida
"Yeee... adiknya tuh Maas, pengin tahu banget urusan orang..." Adhi memotong pertanyaan Ida
"Maa syaa Allaah, khalash Man, nikahin faqqat ni anak dua, suruh regenerasi series Tom and Jerry," dari sisi lain Adam ikut menimpali
"Mutawaafiq," timpal Muusir di sebelah Adam
"Tuuh alhamdulillaah tetua Ibnu udah mutawaafiq, ente mau kapan ke rumah ngelamar Ida, Dhi?" Sambung Salman diakhiri tawa kecil diakhir
Kompak aku, Adam, dan Muusir ikut tertawa kecil, mengiringi Ida dan Adhi yang beristighfar bersamaan. Mendengarnya, tidak ingin menjadi pendiam yang tidak asyik, aku ikut bersuara,
"Iyaa tuuh kan maa syaa Allah, istighfar aja udah kompak, mana namanya juga punya unsur yang sama. Adhi, Ida..."
Mendengarnya, Salman yang sedang menyetir menepuk pundak Adhi sambil tertawa yang bersamaan dengan bahakan Adam dan Muusir.
"Maaf, tapi beda Ya. Nama saya Ad-hi, ada unsur H nya..."
"Ida juga kan Idah sebenernya, Dhi. Kan Hamidah, Hamnya dibuang, jadi Idah. Jadi sama kan unsur namanya?" Serobot Adam
"Mabruk Dam, hahaha..." giliran Muusir yang menepuk pundak Adam
Aku juga sempat melihat tangan Salman mengacak rambut Adhi sambil menahan tawa.
"Udah bro, udah mendung, kayaknya bakal hujan," ujar Salman setelah menengok ke belakang sebentar melihat wajah Ida yang cemberut
Aku yang memang sedang memerhatikannya dari belakang tidak sengaja bertabrak pandang sebentar dengannya.
"Alaffu Adhi-Idah," Adam menanggapi ujar Salman
"Eh, Ida aja, kalau manggilnya masih Idah berarti belum beneran minta maafnya!" Sahut Ida dari belakang dengan nada sewot
Aku mengelus pundaknya. Menanggapinya, Ida menjatuhkan kepalanya ke lenganku ditambah suara meringik seperti menahan tangis. Mendengarnya, aku melihat Salman refleks menengok ke belakang. Tentu matanya tidak bisa menemukan mata adiknya, akibatnya, matanya menggelinding ke arahku sebentar sebelum berpaling kembali fokus dengan jalan di depannya. Salman memanggil Ida tiga kali dengan intonasi yang berbeda dari cara berbicara sebelumnya ketika meledek Adhi yang juga meledek Ida imbasnya.
"Iyaa, mas minta maaf," itu tambahnya sambil melihat sekali lagi ke belakang
Refleks, mata kami bertemu lagi. Aku tidak sempat menghindarinya karena pandanganku memang sedang lurus ke depan melihat jalan. Tiba-tiba sepasang mata lain ikut menetap di depan mataku. Ya, itu mata Muusir. Aku yang terlampau kaget refleks batuk.
Ida yang tangannya mengelilingi punggungku refleks menepuk punggungku pelan menyadari aku tiba-tiba batuk. Setelah aku berhenti batuk Ida melepas pelukannya.
Seisi mobil kembali hening. Beberapa saat kemudian Ida tertidur pulas dengan kepala menyandar ke bahuku.
Aku memeriksa ponsel akibat getar yang sempat mengagetkanku sebelumnya. Ternyata getar itu akibat pesan dari bunda, aku mengetahuinya dari bagian atas layar yang menggulirkan pesan dengan nama pengirim Bunda. Ada tiga pesan yang dikirimnya, pesan pertama berisi pertanyaan tentang kabarku.
Pesan kedua berisi tangkapan layar story aplikasi whatsapp milik mas Saaih. Tangkapan layar itu berisi foto daun Jati semi kering dan daun Ulin warna hijau yang ukurannya lebih kecil di atasnya. Di bawahnya tertulis sepenggal kalimat yang lekat di ingatanku.
“Ulin tetap dijuluki si Besi meski tidak mampu mempertahankan Dedaunnya ketika dihempas angin. Meski dijuluki begitu, Ulin tetap bisa digergaji dan dibentuk, menjadi konstruksi bangunan, juga furnitur rumah tangga. Meski begitu, Ulin tetaplah si Besi. Dari Ulin kita belajar definisi kuat bukan tidak terkalahkan, tapi tetap bermanfaat sampai akhir.”
Bunda tahu aku tidak menyimpan nomor mas Saaih di ponselku. Selama ini aku dan mas Saaih hanya berkomunikasi via email. Aku juga tidak menyimpan nomor Ayah.
“Perlu waktu berapa lama lagi untuk memaknai kuat, Nak?”
Itu kalimat yang bunda tulis untuk menyertai foto tangkapan layar itu. Aku hanya membuang nafas dan menggeleng membacanya.
Selanjutnya pesan ketiga dari bunda masih sama berisi foto juga, tapi kali itu foto set wedding dress dan jilbab, jas koko dan celana yang semuanya bernuansa biru langit.
“Designed and sewed by Bunda. Gimana menurut Ahya?”
Aku zoom in dan zoom out gambar set wedding wearing itu. Sampai kemudian aku menemukan motif aneh di bagian tangan gaun dan koko. Bukan aneh, hanya saja itu tidak seperti biasanya Bunda yang tidak suka membuat satu motif mencolok di antara motif lainnya dalam satu lembaran karya seninya. Tapi di karyanya kali ini bunda menambahkan bordiran membentuk bulatan kecil yang mengelilingi bagian ujung tangannya.
“Seperti biasa Bun, elegan. But btw itu di bagian tangannya tumben ada motif yang mencolok?”
Aku membalas satu dari tiga pesan yang dikirim Bunda.
“Emang mencolok banget Ya? Alhamdulillaah berarti berhasil. Permintaan calon pengantinnya itu, Ya. Di jilbabnya juga ada motif begitu di bagian belakangnya.”
“Ohh gitu, bagus kok Bun, perfect.” Balasku lagi
Setelah itu perhatianku kembali ke foto sebelumnya. Daun Jati dan Daun Ulin hanya memulangkan ingatanku pada sebuah nama, mas Saaih. Ketika itu, tanpa ku sadari secara refleks tanganku memainkan cincin di jari manis di tangan kananku. Bahkan aku sempat melepasnya sebentar, melihat ukiran tersembunyi di bagian dalam cincin itu, kemudian memakainya lagi. Pikiranku terbang lagi, meninggalkan jasadku duduk bergeming bahkan seperti tidak bernapas di jok belakang. Sampai-sampai aku tidak mendengar kalau Muusir memanggilku. Ruhku kembali ketika Adam menepukkan tangannya di depan wajahku, angin yang keluar darinya membuat bulu mataku berkedip dan barulah aku terperanjat sadar. Ternyata Muusir dan teman-temannya bermaksud meminta persetujuanku untuk kami melipir dulu ke tempat makan sebelum pergi ke penginapan. Tanpa banyak menimbang aku langsung menyetujuinya. Muusir juga berizin akan turun lebih dulu di sebuah kafe untuk menemui temannya dan akan pulang ke penginapan setelahnya. Semua (tanpa Ida) sepakat dengan rencana yang disusun dadakan itu. Mobil kembali hening sebelum kemudian terdengar Adhi menegur Salman mengajak bergantian menyetir. Setelah menemukan jalan agak lengang untuk berganti posisi duduk dengan Adhi, Salman pun memarkirkan mobilnya mepet ke bahu jalan. Keduanya keluar dari mobil dan masuk lagi tanpa berlama.
Lima jam berlalu mobil pun melipir ke sisi jalan seberang sebuah kafe. Muusir pun berpamit turun dari mobil.
“Loh, mas Ibnu mau ke mana?” Ida yang baru bangun dari tidurnya heran melihat Muusir keluar dari mobil