Pukul lima pagi di Al qarana. Dingin. Angka suhu mencapai tujuh derajat selsius. Mobil yang Salman kendarai parkir di pelabuhan yang akan menyeberangkan kami menuju stasiun destinasi balon udara. Kami menaiki salah satu kapal yang terparkir dengan beberapa orang lainnya kemudian terlihatlah kami seperti satu rombongan.
Aku dan Ida duduk bersebelahan. Kami mengenakan jaket super tebal juga sarung tangan karena cuaca yang sangat dingin. Ida memelukku erat sekali dari samping membuat suhu hangat menjalar ke tubuhku. Tangannya melingkar di pinggangku.
"Nanti pas kita turun dari sana kan udah mulai ada matahari, pemandangan Nilnya kelihatan lebih jelas deh," ucap Ida
Aku mengangguk mendengarnya.
"Ahya, boleh aku tanya?" Tanyanya tiba-tiba berbisik di telingaku
Aku sempat menoleh ke Ida sebentar. Aneh karena kenapa harus berbisik. Tapi kemudian aku mengangguk.
"Ini tentang mas Ibnu. Maaf kalau sebenarnya Ahya nggak tertarik sama topik ini. Tapi aku pernah nguping pembicaraan masku sama mas Ibnu, dan kalau hasil ngupingku benar, kepulangan mas Ibnu besok bukan cuma buat menikahkan adeknya,"
"Melainkan juga untuk?" Sahutku segera
Kami masih dalam mode berbisik meski sebenarnya kami bersuara pelan pun Muusir tidak akan mendengarnya. Suara sekeliling kami lumayan berisik, ditambah angin yang berkelebat di sekeliling kami.
"Masih inget ceritaku kalau calonnya itu dokter kan?"
Aku mengangguk, tapi beberapa zeptodetik kemudian aku refleks menutup mulutku.
"Aku membenarkan apa yang Ahya pikir," sambung Ida melihat ekspresiku
"Aku penasaran deh bu dokter itu belajar dan praktik di mana sampai berhasil menyembuhkan luka mas Ibnu tentang si gadis Jembatan," tambah Ida
Aku menahan tawa mendengar ucapan Ida.
"Tapi Ahya justru lebih penasaran sama si gadis jembatan itu deh,"
"Hoo oke, but no no sih, aku lebih ingin tahu siapa yang akan bersama mas Ibnu ke depannya. Aku justru nggak mau tahu si gadis jembatan, aku takut benci, padahal kenal aja nggak, hahaa,"
Kali itu aku tidak bisa menahan tawaku, aku dan Ida tertawa kecil bersama. Namun sepertinya tidak sekecil itu karena ternyata Salman dan Muusir yang duduk di depan kami menoleh ke arah kami bersamaan. Ketika Muusir hanya melihat kami sebentar dengan wajah datarnya, pandangan Salman menetap di adiknya. Salman juga tidak menampakkan wajah datar, dahinya mengernyit dan alisnya beradu.
"Any problem?" Tanya Ida masih sambil memelukku dan memiringkan kepalanya ke bahuku
"Sedingin itu, dik?" Tanya Salman
"Iya, kenapa? Mas juga kedinginan? Mau Ida peluk juga?" Sahut Ida santai masih dengan posisi yang sama
Salman hanya menggeleng kemudian membuang pandangan dari adiknya.
"Jadi Ahya ngerti kan kenapa hal pertama yang kutanya sesampainya kita di flat kemarin adalah, status of this ring,"
Ida membuka percakapan lagi tapi kali itu tidak berbisik. Tangan kirinya meraih tangan kananku dan menyentuh cincin di jari manisku dari balik sarung tangan yang kupakai.
"Sejak dulu ketika kutanya perempuan seperti apa yang dia mau, jawabannya selalu sama, katanya, adalah perempuan yang bisa menerima kalau seorang Ida yang aneh ini adalah adik Mas,"
Aku mengangguk berulang. Ida melepas pelukannya dariku. Wajahnya menyamping melihat ke arahku.
"Kalau Ahya belum menikah nih yaa, sebagai perempuan, Ahya bisa nerima Ida nggak?" Tanya Ida sempat membuatku tertegun sebentar
"Ahhh, pertanyaannya agak mengecoh nih," sahutku pendek
"Begini, tentu Ida orang yang mudah diterima. Ida humble, pandai menempatkan diri, menggemaskan, cerdas, bagi Ahya, selama kebersamaan sejak kemarin sampai saat ini Ida nggak aneh. Tapi... tapii... penerimaan Ida di sini bukan karena menjadi syarat Masnya Ida. Pure, Ida orang yang menyenangkan," tambahku panjang
"Haah...." Ida menjatuhkan lagi kepalanya ke bahuku
"Sudah pasti begitu jawabannya," tambah Ida lagi
Aku tidak berbohong ketika mengatakan Ida orang yang menyenangkan. Ida punya rasa peduli yang tinggi, pengasih yang tulus, dan senang bercerita. Di pertemuan kami yang baru hampir 24 jam ini saja aku jadi mengetahui banyak tentang Muusir dari cerita Ida.
Kemarin sore setelah selesai salat magrib, kami melanjutkan makan dengan makanan yang dibelikan Adam dan Adhi. Kegiatan makan diwarnai dengan percakapan-percakapan yang semula hanya tentang Ida dan kesehariannya, sampai kemudian tanpa sengaja aku melihat layar HP Ida yang menyala karena ada pesan masuk. Sebuah gambar jembatan yang terpampang di layar menarik perhatianku. Ida yang ternyata menangkap ketertarikanku menjelaskan.
"Lukisan mas Ibnu," ujar Ida sambil mengambil ponselnya
Aku memajukan wajahku mendengar ujarnya.