"Saya bawa laban, ada yang mau?"
Muusir menawari susu yang dibawanya dalam termos.
"Ida mau, Mas," sahut Ida segera
"Ahya?" Muusir menawariku
"Eee... boleh," sahutku ragu
Aku dan Ida mengeluarkan botol masing-masing. Membuka tutupnya yang lumayan besar cukup untuk menyimpan air sebanyak dua ratus mililiter. Di atas kapal yang terus bergerak ini Muusir menuangkan susu ke tutup botol milik aku dan Ida secara bergantian. Terlihat uap mengepul dari dalam termos dan jatuh ke gelas buatan milik aku dan Ida. Aroma hangat susu pun menyebar. Aku dan Ida juga tidak lupa berujar terima kasih dan barulah kemudian Muusir menawari Salman, Adhi, dan Adam.
Setelah beberapa saat menyeberangi Nil kami pun sampai dan langsung diarahkan menaiki mobil untuk menuju ke puncak tempat kami akan menaiki balon udara itu. Langit saat itu masih gelap ketika kami sampai di tempat penerbangan. Selain melihat pemandangan Luxor yang masih kurang terlihat karena langit masih sangat gelap, kami juga melihat prosesi bagaimana balon itu diberi udara sampai kemudian balon itu siap dinaiki. Kami berenam menaiki keranjang balon yang sama dengan sekitar empat belas orang lainnya. Di dalam keranjang suhu terasa agak hangat karena tenaga gas api yang berada di atas kami.
Aku dan Ida bergandengan tangan ketika balon mulai bergerak naik. Aku merasa genggaman tangan kami agak mengerat ketika balon semakin meninggi.
"Deg-degan yaa?" Ujar Ida kepadaku
Aku mengangguk menyetujuinya.
Kami berdua melempar senyum ke satu sama lain.
Tiba-tiba Salman yang sejak tadi berdiri di samping Ida merangkul leher Ida.
"Pinjem Ida nya sebentar yaa," ujar Salman kepadaku
Aku sempat mengangkat alis agak kaget dengan cara Salman menyahut adiknya. Tapi kemudian aku tersenyum mengangguk mengiyakan. Gandengan kami pun terlepas. Perlahan, Ida dan Salman bergeser membelakangiku. Ketika itu aku merasa ada gerakan lain yang mendekat ke arahku. Itu langkah kaki Muusir.
"Kaif, Ya?" Tanya Muusir
Aku sempat menoleh ke Muusir sebentar.
"Speechless," sahutku singkat
"Nanti kalau udah sunrise bakal lebih cantik. Siap-siap aja kameranya," ujarnya lagi
Aku mengangguk mendengarnya.
"Nanti setelah turun, kita sewa dahabiya buat lihat-lihat Nil. Kan nanti kalau udah turun langitnya udah terang, jadi bakal lebih banyak yang bisa dilihat,"
Aku mengangguk menyetujui.
"Terima kasih ya," ujarku
"Ahya nih seneng banget berterima kasih?" Sahut Muusir
Aku mengangguk menunduk mendengar jawabannya.
"Nggak gitu konsepnya, Mas,"
Suara Ida yang sangat terdengar di telingaku dan Muusir membuat kami sama-sama melihat ke arah Ida. Aku melihat tangan Salman merangkul Ida erat. Aku juga melihat tangan kanan Ida melingkar di pinggang Salman. Tiba-tiba sosok mas Saaih melintas di benakku. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
Dari sudut lain terdengar sang pilot menjelaskan banyak hal. Sedang dari sudut yang lumayan agak dekat denganku masih ada Muusir.
Aku menoleh ke Muusir sebentar untuk menanyakan suatu hal yang kupikir tidak seharusnya juga ku tanyakan. Tapi ku tanyakan juga akhirnya karena aku penasaran.
Aku mengawali diri dengan berdehem,
"Ahyaa.... kalau nggak salah ingat, tempat pertama kita ketemu kemarin kan di Shalalat, dan akhi Muusir mengenalkan Ida dengan sebutan Mahram mas Salman, ah ini sebenernya bukan hal penting. Tapi kenapa akhi Muusir nggak mengenalkan dengan istilah adik saja? Kalau mahram kan kesannya...."
"Aaaa, iya-iya paham-paham," serobot Muusir
"Jadi sebenernya Salman nggak setuju dengan ide ngajak Ida. Katanya adiknya itu bakal merepotkan. Salman minta cari akhwat lain, tapi karena saya pikir sekarang musim liburan, nggak mudah kan cari yang mau diajak mendadak, pasti mereka sudah punya rencana masing-masing. Jadi kami sebenernya punya kesepakatan buat merahasiakan identitas saudara Salman dan Ida, tapi yaa begitulah Ida. Dan kami menduga hal ini kok." Jelas Muusir panjang membuatku mengangguk sambil tersenyum
"Karena saya nggak niat bohong ke Ahya, jadi yaa saya kenalkan dengan sebutan mahram," tambah Muusir
"Ohh begitu," sahutku singkat
"Iya. Dan jujur, pertanyaan Ahya jadi mengingatkan saya ke seorang teman. Katanya dia punya keinginan untuk bisa mengenalkan adik perempuannya ke orang lain, ke teman-temannya sebagai wanitanya."
"Loh gitu?" Responku lagi-lagi refleks
"Yaa, beberapa kakak laki-laki cenderung pakai cara itu untuk menjaga adik perempuannya," jelas Muusir membuatku terperangah
Aku baru tahu ada praktik teori seperti itu dalam dunia kakak-adik. Karena selama ini baik mas Saaih maupun bang Fai setahuku mereka dengan yakin mengenalkan ke teman-teman mereka kalau aku adik perempuan terakhir mereka.
Tanpa terasa matahari yang ditunggu-tunggu akhirnya nampak juga. Aku bersiap dengan kameraku, begitu juga Muusir. Aku melihat beberapa balon udara lain ada yang mengudara di bawah kami ada juga yang agak sejajar dengan kami.
Sang pilot mulai menjelaskan tempat-tempat yang semakin terlihat karena suasana yang semakin terang. Kami bisa melihat hijaunya perkebunan, persawahan, dan merahnya gurun pasir, tenangnya sungai Nil juga terlihat dari kejauhan. Beberapa kuil juga cukup terlihat dan menambah pengetahuan kami karena sang pilot menjelaskannya kepada kami. Baik itu sesingkat sejarahnya, sampai kondisi temple itu hari ini.
Aku melihat ke arah Muusir yang terlihat khidmat melihat apa yang dilihatnya. Aku berujar terima kasih dalam hati. Ketika lamat-lamat aku melihatnya dari samping tiba-tiba Muusir menoleh ke arahku. Aku yang gugup langsung menunduk malu.
"Kenapa, Ya? Mau bilang terima kasih lagi?" Tanya Muusir dengan nada meledek
Aku menahan senyum mendengarnya.
"Iya, terima kasih. Akhi Muusir benar. Julukan indah mungkin diraih Alex, tapi indah tidaknya itu perihal sudut pandang. Bukan tentang ada apa di sana."
"Juga, sudut pandang yang saya maksud bukan dari sini, tapi dari sini." Sahut Muusir menyentuh mata dan bagian hatinya bergantian
Aku mengangguk menyetujui.
"Foto bareng dulu yuk!" Seru Ida