~"Kalau dunia memberimu satu kesempatan untuk mengenalkan diri, seperti apa kamu akan menjelaskan dirimu? Kalau kamu bertanya bagaimana denganku, aku akan melewatkan kesempatan itu."~
Aku di mata Ayah.
Ujar beliau, aku anak yang multitalent. Aku memiliki otak kanan dan kiri yang bekerja beriringan, salah satu darinya tidak ada yang mencoba mendominasi. Menurutnya dia bisa melihatnya dari caraku menyimpulkan suatu informasi dan kemudian menyampaikan kembali informasi tersebut. Caraku mengemukakan dan menyanggah pendapat. Juga sikapku ketika belajar ilmu hitung. Menurutnya aku tipe yang mudah ingat/bisa dan akan bosan jika hal yang sudah bisa tersebut diulang-ulang. Singkatnya, aku menyukai tantangan, aku sarat akan rasa penasaran dan ingin mencari tahu, mencoba segala hal yang aku ingin.
Ungkapnya otakku bekerja lebih cepat dan cepat fokus dibanding kelima anaknya yang lain. Itu alasan Ayah tidak menyekolahkanku formal. Juga karena menilik pengalaman ketika memasukkan ku di jenjang Taman Kanak-Kanak.
Ketika itu usiaku empat. Di Taman kanak-kanak, kegiatan belajarnya adalah seperti melipat, menggunting, dan mengelem kertas. Menggambar, mewarnai, bernyanyi, mendengarkan, dan menjawab pertanyaan, juga senam setiap paginya. Tanganku yang sudah terlatih membuat seni origami bersama Mbak Muthi untuk menghias rumah membuatku sangat cepat menyelesaikan materi kertas. Ketika teman yang lain masih merengek dan meminta bantuan ke bundanya, atau ada juga yang berulang kali bertanya pada bu guru bagaimana caranya, aku sudah menyelesaikannya. Dimulai dari membuat perahu, burung bangau, kucing, kelinci, bunga mawar, burung kenari, kupu-kupu, origami baju, bentuk love, dan masih banyak lagi. Kelas itu cukup membuatku bosan. Tidak jauh berbeda dengan kelas menggambar, mewarnai, dan bernyanyi, aku tidak suka kegiatan itu, karenanya aku sangat tidak nyaman berada di kelas itu. Tiga puluh menit terasa tiga puluh hari di kelas menggambar dan mewarnai. Aku tidak suka melihat anak lain berebut krayon atau pensil warna hingga salah satu darinya menangis, lalu karena melihat temannya menangis dan perhatian kelas tertuju padanya, maka teman yang satu lagi ikut menangis. Karena pada menangis kelas jadi gaduh. Beberapa anak yang aktif sekali langsung berhambur keluar pintu melapor pada Bundanya, menceritakan temannya yang berebut dan kemudian saling menangis, mereka bercerita dengan penuh drama dan kalimat memuji diri yang seringkali aku dengar. Begini bunyinya,
"Aku kan anak pinter yaa Bun, jadi aku ga nangis, ga rebutan pensil warna."
Atau masih banyak lagi kalimat memuji diri khas anak dini. Untuk kemudian sang Bunda meng-iya kannya. Mengecup kening si buah hati dengan posisi bibir terbuka lebar hingga kening si anak sedikit basah dan juga warna merah lipsticknya yang membentuk bibir menempel di jidat anaknya. Menyadarinya, si Bunda kemudian mencoba menghapusnya, namun karena tidak bisa akhirnya poni si anak yang awalnya dijepit ke atas, dibuka dan diurai ke depan menutupi jidat dan mengganggu kerja bulu mata.
Hal serupa terjadi di kelas menyanyi. Lagu favorit khas guru taman kanak-kanak zamanku adalah Kasih Ibu dan Topi Bundar dengan gerakannya yang menurutku terlalu apa adanya. Entahlah, aku setidak suka itu dengan kelas bernyanyi. Aturan bermainnya begini, pertama, kami bernyanyi bersama di tempat duduk masing-masing dengan dipandu ibu guru di depan. Setelah sekitar dua dan tiga kali diulang, kemudian per banjar kami diunjuk ke depan untuk bernyanyi. Kala itu kelasku sekitar tujuh anak per banjar, cukup ramai dengan beragam sikap ketika tampil. Ada yang over percaya diri hingga nyanyinya sangat nyaring, juga dengan gerakan yang terlalu semangat hingga tak jarang menyikut tangan atau menginjak kaki temannya. Sikap begitu yang akhirnya berujung drama sama seperti di kelas menggambar dan mewarnai.