~ Sebenarnya tidak peduli kenangan seperti apa yang ada di masa kecil, ketika sudah di masa besar pasti selalu ingin kembali ke masa itu. Karena perihal kembali terkadang bukan karena ada hal yang lebih menyenangkan di masa sebelumnya, hanya saja masih gagal beradaptasi di masa sekarang. ~
Siang itu aku sudah sembilan tahun. Itu adalah tahun pertamaku mulai berkegiatan di luar rumah. Ayah dan Bunda mengizinkan dan mendukungku untuk kursus bahasa dengan pergi ke tempatnya, bukan lagi diparani tutor privat ke rumah seperti ketika usiaku enam sampai delapan. Aku mengambil kelas baru yaitu bahasa Jerman juga melanjutkan kelas bahasa Jepang yang dua tahun sebelumnya ku pelajari bersamaan dengan bahasa Inggris. Jarak tempat kursus dari rumah Ayah tidak terlalu jauh, aku hanya perlu menaiki angkutan umum satu kali selama kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke tempat kursus itu. Jadwal kelas yang kuambil juga tidak setiap hari. Rabu dan Kamis untuk bahasa Jerman, Jumat dan Sabtu untuk bahasa Jepang. Selebihnya aku hanya di rumah mempelajari hal dan pelajaran lain yang dibantu kak Hawa dan Bunda, sesekali Ayah juga. Mbak Muthi dan bang Fai yang sedang kuliah hanya punya waktu sebentar di rumah, juga teh Naya yang bertekad menjadi dokter sejak kecil berinisiatif mengambil banyak kelas tambahan sebagai bentuk mempersiapkan diri. Sedang mas Saaih sudah resmi menjadi warga Quba sebagai murid SMP tingkat pertama. Hanya pada musim libur yang setahun terjadi dua kali itulah mas Saaih pulang ke rumah.
Hanya kak Hawa yang banyak waktu di rumah. Kak Hawa saat itu adalah siswi SMP tingkat akhir, kegiatannya di sekolah tidak membuatnya sesibuk kakak-kakakku yang lain. Aku belajar Matematika, mengenal operasi hitungan campuran, rumus-rumus bangun datar dan bangun ruang beserta teman-temannya, berteori tentang Morfologi dalam cabang Bio dan Geo. Bahasan dasar tentang pengetahuan sosial dan pendidikan kewarganegaraan. Yaa, pelajaran-pelajaran yang tidak ku dapatkan karena aku tidak mengenyam bangku Sekolah Dasar sedikit banyak kudapatkan dengan belajar bersama kak Hawa dan Bunda. Bunda khusus pelajaran Matematika saja sebenarnya. Bunda adalah orang yang membuatku percaya kalau Matematika bukan hal rumit. Karena segala hal yang bisa diproses logika artinya mudah.
Kegiatan dan tanggung jawab bunda yang padat dan besar membuatnya tidak bisa banyak membantuku belajar pelajaran-pelajaran itu. Bunda adalah seorang spesialis kandungan yang sekarang membuka praktik sebagai dokter umum. Bidan adalah panggilan yang disematkan banyak orang kepadanya. Bunda membuka klinik tidak jauh dari rumah yang juga berseberangan dengan butik 'Ainun' yang adalah butik milik bunda. Sebenarnya Ainun adalah nama tengah bunda, tapi Ainun juga berarti 'Mata Air'. Karena dalam perjalanan hidup bunda, butik Ainun adalah ibarat mata air yang memberi banyak penghidupan pada sudut-sudut kematian. Butik Ainun yang senantiasa menemani bunda menyelesaikan pendidikan spesialis kandungan sampai bisa membuka klinik sendiri. Butik Ainun juga yang membantu bunda mewujudkan salah satu impiannya menjadi nyata. Yaitu membuka kelas menjahit gratis untuk anak usia SMP dan SMA, perempuan dan laki-laki. Bunda percaya bahwa memberi keterampilan yang bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang berarti memberi modal hidup. Itu adalah kepercayaan yang diturunkan dari orangtua bunda. Keterampilan menjahit sudah dimiliki sejak bunda SMP, bunda belajar menjahit sejak usia SD dan mulai mendapat pesanan membuat baju ketika SMP. Jadi kalau bunda mengenalkan identitasnya dengan cara anak milenial hari ini mungkin akan terdengar begini, bahwa passion bunda adalah desain, tapi paksaan orangtua menuntunnya menjadi spesialis kandungan yang dalam karirnya menjadi dokter umum. Tanpa bermaksud menyiakan spesialis kandungan, hanya saja bunda ingin bermanfaat untuk lebih banyak orang. Begitulah Bunda.
Sedang Ayah yang dipercaya memimpin Quba membuat Ayah menggunakan sekitar enam belas jam dalam setiap harinya di Quba. Ayah mengajar bahasa arab di beberapa kelas, Ayah juga terjun ke sawah, ladang, kebun, kandang ternak, kolam ikan, hutan. Sesekali Ayah juga mengecek laboratorium, apotek herba, dan tempat produksi bahan mentah yang ada di Quba untuk dijadikan produk bermanfaat yang nantinya dijual di pasaran.
Ayah dan Bunda sibuk. Kelima kakakku juga sibuk. Sejak kecil aku terbiasa melihat orang di sekitarku produktif. Meski begitu, dari kelima kakakku aku paling dekat dengan mas Saaih. Karena ketika mas Saaih masih SD dan kegiatanku kursus bahasa masih di rumah mas Saaih adalah orang yang paling banyak kutemui di setiap harinya. Aku adalah orang yang paling sedih ketika tahu mas Saaih akan melanjutkan sekolah di Quba. Karena aku akan kehilangan teman bermain congklak, masak-masakan, dokter-dokteran, dan banyak lagi kegiatan bermain peran yang aku dan mas Saaih lakukan.
Sampai datang hari itu. Adalah hari pertama libur panjang mas Saaih setelah setahun di Quba. Aku baru mengetahuinya ketika kulihat mas Saaih berdiri di luar kelasku belajar bahasa.
"Maas Saaih?" Panggilku ragu-ragu takut salah orang
Orang itu menoleh, dan ya benar, itu mas Saaih. Dia tersenyum lebar kepadaku sambil mengacak rambut di kepalaku.
"Kok mas di sini?" Tanyaku sambil merapikan rambut
Mas Saaih menggenggam tanganku kami pun berjalan bersebelahan.
"Kan mas udah ada jadwal libur. Tadi ba'da dzhuhur sampai di rumah Ayah, terus izin deh ke bunda mau njemput Ahya," terang mas Saaih kepadaku
"Horeee, jadi mas lama kan di rumah?" Tanyaku lagi
Mas Saaih menjawabnya hanya dengan senyum.
"Mas, tadi lihat ga di lapangan yang mau ke gang rumah ada pasar kan? Ada bianglalanya juga Mas," ucapku membuka percakapan
"Terus bianglalanya kenapa?" Tanyanya berpura-pura tidak paham maksudku
"Ahya mau naik bianglala," sahutku mantap
"Panas Ya, siang-siang begini. Terik banget mataharinya," jawab mas Saaih
"Mending ikut Mas yuk, mas mau pergi ke suatu tempat,"
"Kemana?" Tanyaku antusias
"Ayo ikut aja, tempatnya bagus,"
Aku mengangguk menyetujui.
Sesampainya di rumah Ayah, rumah kosong. Kemungkinan besar Ayah masih di Quba, Bunda ada di antara butik atau kliniknya. Kak Hawa belum pulang dari sekolah. Mas Saaih meminta aku bergegas ganti baju dan makan siang. Sedang mas Saaih sendiri menyiapkan alat lukis sederhana kemudian dipak dalam sebuah tas coklat.
"Mas mau ngelukis?" Tanyaku sambil mengunyah makananku
"Iya, Ahya juga kan?" Sahutnya
"Iih Ahya nggak mau, Ahya lihatin Mas aja,"
"Ya udah, tapi ini mas bawa lebih dari satu set, siapa tahu nanti Ahya tiba-tiba mau ikutan juga,"
Aku tidak mengacuhkan jawabannya dan langsung bertanya ke pertanyaanku selanjutnya.
"Emang kita mau ke mana Mas?" Tanyaku yang sangat penasaran dengan tempat yang akan kami tuju kali itu
"Hiii penasaran yaa?" Ledeknya masih sambil melihat-lihat ukuran kuas
"Tebak deh kita mau ke mana?" Tambahnya
"Kalau tebakan Ahya bener, Mas beliin Ahya permen kaki ya," aku menegosiasi
Mas Saaih hanya mringis mendengarku.
Selesainya aku makan siang dan alat lukis mas Saaih siap kami pun berangkat ke butik bunda. Mas Saaih menyampaikan izin kepada bunda membisikkan tempat tujuan kami. Dia juga berjanji menjaga aku agar tetap aman. Awalnya bunda tidak mengizinkan, menurut bunda tempat yang kami tuju terlalu berbahaya untuk dikunjungi oleh dua anak di bawah umur. Tapi setelah mas Saaih menyampaikan bujuk rayunya, akhirnya bunda mengizinkan. Bunda memberi syarat jam empat sore kami harus sudah ada di rumah. Dengan sigap mas Saaih pun mengiyakan. Wajahnya memancarkan aura senang sekali, aku saat itu ikut bersenang juga membayangkan aku akan pergi ke suatu tempat baru yang sama sekali tidak ku ketahui. Bunda tersenyum ke arah kami, tangan bunda mendarat di pundak mas Saaih kemudian mengatakan, "fii amanilah yaa Mas, adiknya dijagain," Mas Saaih mengiyakan kemudian mencium tangan bunda. Bunda balas mencium kening mas Saaih. Aku hendak meraih tangan bunda, namun tangan bunda malah mengelus rambutku. Menarik pelan ikat rambut yang tidak lagi mengikat semua helai rambutku. Membenarkan poniku ke depan, bunda menyisir rambutku dengan kelima jarinya barulah kemudian mengikatnya dengan rapi dan kuat ke belakang seperti buntut kuda. Rapi dan bersih, itu yang terasa olehku, tidak ada anak rambut yang menggelitik pipi.
"Naah kan begini rapi anak bunda," ujarnya merapikan poniku