QUBA - Perjalanan Menjadi Bayangan

Manna wa Salwaa
Chapter #13

Rumah Pohon

“Rumah pohon ini dibangun di dua pohon oak yang dipagari dengan pohon salak dan dikelilingi pohon jati. Dulu waktu Ahya masih kecil kita sekeluarga sering ke sini.” Jelas mas Saaih menyilakanku menaiki tangga lebih dulu

“Langsung naik aja, tiap tiga hari sekali ada yang bersihin kok, jadi aman,” tambah mas Saaih ketika melihat raguku atas kondisi di atas sana

“Mas jagain dari bawah, takut Ahya kepleset,” tambahnya lagi meyakinkanku

Aku yang setuju mengangguk dan mulai menaiki tangga perlahan.

“Kenapa kita nggak pernah ke sini bareng-bareng lagi ya Mas? Padahal tempatnya enak banget,” ujarku setibanya kami di atas

Dari posisiku setinggi itu, pemandangan yang pertama kali kulihat sejauh mata memandang adalah sungai yang airnya kudengar sejauh telinga mendengar. Aku tersenyum melihat sekeliling. Aku melihat ke mas Saaih yang berdiri di sampingku.

“Kemarin sebelum mas berangkat ke Quba, mas pernah minta ke bunda kita ke sini dulu bareng-bareng sama yang bisa aja, kak Hawa, Mas, Ahya, Bunda, Ayah,”

“Oh ya?” tanyaku

Mas Saaih mengangguk.

“Kok nggak jadi?” tanyaku lagi

“Bukan nggak jadi, permintaan Mas nggak diterima.”

“Loh kenapa?” tanyaku masih melihat mas Saaih dari samping yang tatapannya lurus ke depan melihat sungai

Mas Saaih menarik dan menghembuskan nafasnya panjang. Kemudian berbalik melihat ke arahku. Matanya menatap dalam ke mataku, tangannya mendarat di puncak kepalaku. Bibirnya tersenyum. Dengan melakukan imitasi suara bunda Mas Saaih berujar,

“Hidup itu bukan buat kumpul-kumpul Mas, tapi untuk menjalankan tugas. Maaf bunda kasih jawaban setegas ini, tapi nanti kalau mas udah besar mas akan paham dan memaklumi jawaban bunda.”

Aku tertawa lebar mendengarnya. Fokusku beralih, aku tidak peduli dengan apa maksud jawaban bunda, aku hanya merasa sangat terhibur dengan laku mas Saaih yang meniru suara bunda.

“Kok nggak mirip yaa mas?” tanyaku masih sambil tertawa

Mas Saaih ikut tertawa kemudian menepuk-nepuk poniku.

“Mas kangen main sama Ahya.”

Ujarnya membuat suasana fun sebelumnya berubah. Aku yang semula menunduk melihat ke arahnya sambil tersenyum.

“Ahya juga,” sahutku pendek

“Oke, mau ke sungai?” ajaknya

“Di sana ada tempat duduk? Ahya nggak mau kalau berdiri, capek,”

Mas Saaih tersenyum mengacak poniku lagi. Tangannya meraih lagi tas berisi perlengkapan melukis yang semula sempat di letakkannya di bawah.

“Ada, ada gazebo di sana,” sahutnya sambil menuruni tangga

“Iya?” tanyaku tidak percaya

“Mas nggak lagi bohong kan?” aku memastikan

Mas Saaih tidak memberi jawaban, dia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala berulang.

Kami keluar dari area rumah pohon, aku sempat berbalik sebentar melihat ke arah rumah pohon. Aku baru menyadari di sisi atas kanan dan kiri bagian dalam rumah ada belitan kabel milik lampu kecil yang mengelilingi. Saat itu lampu dimatikan mungkin karena langit masih terang.

Setelah berjalan beberapa ratus meter, menaiki dan menuruni bukit, menyusuri jalan setapak di antara pohon jati akhirnya kami sampai di sungai yang mas Saaih ceritakan. Sungai yang kulihat dari ketinggian rumah pohon. Aku juga melihat gazebo yang letaknya di pinggir atas sungai. Aku juga melihat jembatan gantung yang panjang sekali. Sebelum kami tiba di gazebo mas Saaih sempat bersusah payah memetik daun jati dari pohon di dekatnya.

Kami tiba di gazebo. Aku segera menyadari kalau kami ada di tengah hutan kala itu. Sekeliling mataku hanya bisa menangkap pepohonan jati yang rimbun daunnya.

“Mas, kalau Ahya teriak sekarang di sini, nggak papa nggak?”

Lihat selengkapnya