QUBA - Perjalanan Menjadi Bayangan

Manna wa Salwaa
Chapter #14

Bianglala

Siang di hari berikutnya. Paginya, sebelum berangkat aku sempat mengingatkan mas Saaih tentang janjinya mengajakku naik bianglala. Namun mas Saaih menolak mengatakan janji itu tidak berlaku karena sampai pulang ke rumah hujan itu tidak turun. Namun aku merengek memohon mas Saaih untuk tetap mengajakku naik bianglala. Tidak ada sepatah kata pun diucapnya menanggapi rengekku, mas Saaih hanya menyodorkan tangannya untukku bersalim dan memintaku segera berangkat. Hah, aku kesal sekali ke mas Saaih pagi itu. Pikiranku tentang mas Saaih yang berubah semakin menjadi. Kalau berubah jadi lebih asyik sih oke, tapi mas Saaih berubah jadi kaku, banyak diam, dan lebih tidak perhatian kalau dibanding mas Saaih yang dulu. Selama kelas berlangsung aku tidak fokus, pikiranku tidak membersamai ragaku. Dia berkelana meratapi diri yang merasa kehilangan masnya yang dulu. Masnya sebelum berangkat ke Quba. Mas yang tidak pernah membiarkan dialog kami berhenti di aku. Dengan apapun caranya mas Saaih selalu bertingkah sebagai perespon yang baik, dia tidak pernah meninggalkan percakapan kami lebih dulu. Meski bukan dengan ucapan kalimat, tangannya yang mengacak poniku, bibirnya yang tersenyum atau cemberut, alisnya yang beradu, keningnya yang melipat, itu selalu menjadi caranya ketika sudah kehabisan kalimat menganggapi ocehanku. Sebelumnya, tatap matanya yang selalu beradu dengan sorot mataku. Namun kini mas Saaih lebih sering menyejajari atau membelakangiku, sehingga yang banyak kusaksikan adalah tegas tulang rahang bawahnya atau punggung bidangnya.

Pikiran yang kacau itu membuat aku benar-benar melewatkan kelas sampai selesai. Aku baru sadar kelas sudah selesai ketika teman duduk semejaku menepukkan kedua tangannya di depan wajahku dan memberi tahu kalau mas Saaih sudah menungguku di luar. Aku yang kaget tidak percaya sekaligus senang mendengarnya langsung bangkit dari dudukku. Aku sempat menjinjit melihat ke luar melalui jendela namun aku tidak melihatnya. Aku tetap melakukannya meskipun aku yakin mas Saaih tidak setinggi itu, bahkan puncak rambutnya tidak terlihat sedikit pun di jendela. Menyadarinya aku segera membereskan buku dan alat tulis di atas meja dan memasukkannya ke tas dengan tergesa.

“Aku duluan yaa,,, matane,,,” pamitku ke teman semejaku

Dia membalasku dengan dadah. Tanpa menghiraukan teman lain yang melambaikan tangannya kepadaku, dengan senyum lebar aku sampai di depan pintu. Sebidang punggung dengan sweter abu bertulis sablon Sleep is Action yang kukenal itu berjarak dua meter dari tempatku berdiri. Aku menghitungnya sampai dua belas detik, barulah mas Saaih menoleh ke arahku, ke arah pintu kelas. Aku mengharap tangannya melambai ke arahku disertai senyum di wajahnya. Satu, dua, sampai delapan detik harapanku pupus. Mas Saaih malah menunduk jongkok membenarkan tali sepatunya. Setelah membuang nafas panjang yang terasa berat aku berjalan menghampirinya. Aku jongkok memamerkan wajahku ke wajahnya yang sedang menunduk melihat sepatu. Itu adalah pameran wajah dengan seutas senyum terbaik yang bisa kusuguhkan. Wajah di depanku itu akhirnya membalas senyumku. Tangannya mengacak poniku setelah selesai membenarkan tali sepatunya.

Kami berjalan melewati lorong kelas. Ketika itu aku menyadari masih ada satu hal yang tidak ikut berubah. Kebiasaan itu masih refleks dilakukannya. Yaitu tangan mas Saaih yang selalu menggandeng erat tanganku ketika kami berjalan bersampingan.

“Tadi setelah senseinya keluar kelas mas langsung dadah-dadah ke arah Ahya, tapi Ahya nggak respon, kayaknya Ahya lagi bengong gitu,” ujarnya membuatku salah tingkah

“Hehee…” aku tertawa singkat bingung harus menjawab apa

“Kok belajarnya nggak fokus, malah bengong sendiri?” tambahnya

“Fokus kok mas, bengongnya sebentar aja pas udah mau beres keburu kepikir bianglala,” sahutku mengarang bebas

“Dasaaar…” sahutnya sambil mengacak rambutku

Aku yakin mendengar senyum di akhir kata umpatannya. Aku menoleh melihatnya dari samping memastikan gurat senyum itu masih ada di sana. Dan ya, lesung itu masih ada di pipi itu, bulu matanya merunduk membuat matanya seperti menutup. Aku melihat wajah itu tersenyum, tapi aku tidak melihat senyum milik masku.

“Maaas, maaf Ahya bohong. Tapi gimana mungkin Ahya jawab jujur penyebab Ahya bengong ketika yang menanyakan adalah penyebab itu sendiri.” Gumamku dalam hati masih sambil melihat wajahnya dari samping.

Kami berjalan santai keluar dari area sekolah. Pak satpam di pos sempat menyapaku dengan senyum sambil memanggil namaku. Aku tersenyum ke arahnya berujar pamit pulang.

Tidak lama kemudian, belum terlalu jauh dari gerbang sekolah, mas Saaih melepas genggaman tangannya. Merogoh saku celananya agak dalam. Aku sudah tahu benda apa yang akan keluar dari sakunya itu.

“Buat Ahya, tapi ....”

“Iya, jarinya aja, Mas,”

Ya, dua buah permen kaki warna merah. Dan seperti biasa aku hanya boleh memakan bagian jarinya saja. Bunda yang memberi keringanan itu. Sebenarnya didikan bunda dan ayah adalah tidak ada jajan di luar rumah. Dari mbak Muthi sampai mas Saaih tidak ada budaya jajan di kantin. Tidak seperti kebanyakan orangtua yang memberikan uang saku kepada anaknya, bunda dan ayah membiasakan keenam anaknya untuk membawa bekal sehat dari rumah.

Aku menyimpan permen itu di saku celanaku.

“Mas punya cerita, Ahya mau dengar?” tanyanya sambil meraih tanganku lagi

“Boleh,”sahutku mantap

Ceritanya yang seru menemani perjalanan kami sampai di sebuah lapangan yang menggelar pasar malam. Ada beberapa wahana bermain dan banyak pedagang kebutuhan sandang, pangan, dan jajan. Meski banyak sekali hal yang bisa dilihat, sejak awal sorot mataku sudah tertuju pada bianglala, seperti ada kutub magnet yang menarik ke arahnya.

Siang itu tidak terik. Awan-awan bergumul di langit. Bianglala itu berputar, membuat kami yang ada di dalam salah satu kurungannya merasakan sensasi tinggi dan rendah silih berganti dalam kurun waktu.

Kami duduk berhadapan. Mas Saaih membuang pandangannya ke luar kurungan. Sesekali memandang ke langit. Dia juga menghitung berapa kurungan yang berputar kosong tanpa ada penumpang di dalamnya. Setelah itu mas Saaih mengomentari permainan lain yaitu trampolin yang dari kejauhan terlihat pengunjungnya berlompat ria dengan wajah tertawa lebar.

Aku membuka sebungkus permen kaki yang tadi diberinya. Mas Saaih seketika melihat ke arahku.

"Iya, jarinya aja," ujarku

Mas Saaih mengacak rambutku.


"Selama mas di Quba, Ahya gimana?" Tanyanya

Aku yang sedang sibuk menggigit kelima jari permen kaki tidak segera menjawab pertanyaannya.


"Gimana gimana? Ahya nggak gimana-gimana. Belajar ke kelas, belajar di rumah, belajar di butik sama bunda, belajar sama kak Hawa, baca buku, bantu kak Hawa cuci piring, bantu bunda cuci pakaian, bantu Ayah cuci mobil. Kasih makan Farhah dan anak-anaknya. (Farhah adalah nama kelinci yang kami pelihara). Nyiram tanaman, nyapu taman, kasih makan ikan." Jawabku panjang sambil mengemut permen di mulutku


"Hoooo..." sahut mas Saaih pendek sambil mengangguk berulang


"Oh ya sama satu lagi," tambahku

"Ngelamun sebentar kalau lagi main sendiri. Ahya suka bayangin tiba-tiba mas dateng terus nemenin Ahya main,"


Mas Saaih tersenyum lebar mendengarnya. Tangannya mengacak rambutku lagi.


"Ahya suka tiba-tiba kangen mas," tambahku membuat tangannya mencubit pipiku

"Mas juga. Kalau lagi sendirian di Quba, mas kangen Ahya, bunda, kak Hawa, mbak Muthi, teh Naya, bang Fai, kalau Ayah kan mas lihat hampir setiap hari. Ayah hampir tiap hari di Quba."

Aku mengangguk mendengarnya. Kemudian memberikan sisa permen. Mas Saaih mengambilnya malas-malasan.


"Mas.. mas.. inget lagu ini nggak?

Ibu... ibu... lihatlah ibu... si Adik nakal bermain tintaku...

Lihat selengkapnya