Queen Boxing

Fey Hanindya
Chapter #2

Episode 2

“Atlet kok bangunnya selalu kesiangan. Kamu tau pukul berapa sekarang? Tuh, ayam udah kenyang matokin rejekimu hari ini,” Seperti biasa, omelan sang ibu yang sangat merdu di pagi hari. Baru bangun tidur, sudah mendengar omelan yang tak terlihat titik dan koma.

“Makan dulu, baru mandi. Jam berapa kamu latihan, Nak?” tanya mamanya sambil memotong-motong beberapa bahan untuk soto di warung mereka. 

Sarapan sisa sarapan satu keluarga masih tertata rapi di atas meja makan. Adiknya, Jana sudah berangkat ke sekolah dua jam yang lalu. Sedangkan papa, tentu saja langsung membuka warung setelah sarapan bersama.

Dewi makan dalam diam, tak menghiraukan ocehan-ocehan sang ibu yang hampir tiap hari didengar karena kebiasaan bangun kesiangannya.

“Nak … Mama punya satu permintaan, dan akan selalu meminta satu hal ini.” Tiba-tiba suasana yang rebut dengan kendaraan di luar yang berlalu lalang menjadi hening, seolah ada peredam suara supaya semuanya memusatkan pendengaran pada suara Bu Mila. Dewi menatap mata ibunya, menyiratkan tanda tanya.

“Boleh nggak, tahun depan kamu berhenti tinju?”

Bagai disambar petir, pertanyaan itu berhasil membuat Dewi mematung dan tak bergerak untuk beberapa saat. Suara jantung bergemuruh dan hanya dia yang bisa merasakannya sendiri. Ini memang bukan permintaan pertama dari mamanya. Namun, tiap kali dia mendengar permintaan ini dari mulut mamanya sendiri, dia merasa seperti telah melakukan kejahatan besar.

“Kamu tahu, Nak? Mama takut sekali tiap kali kamu pergi dari pintu rumah untuk mengikuti pertandingan. Perasaan takut, bagaimana kalau anakku tidak akan kembali? Bagaimana kalau anakku pulang hanya raganya saja?

“Banyak sekali, Nak kejadian seperti itu. Bagaimana mama sama papa bisa meneruskan hidup kalau kehilangan kamu? Biar kami saja yang mencari uang. Warung soto kita juga sudah banyak yang datang membeli. Jadi, kamu tidak perlu khawatir dengan kebutuhan sehari-hari kita, Nak.” Mata yang sehari-harinya selalu bersinar, saat ini menampilkan kesedihan yang sangat dalam. Perasaan seorang ibu memang akan menjadi sangat sakit, apabila mengetahui anaknya yang dipukuli oleh orang lain saat bertanding tinju.

“Mama nggak perlu khawatir sama Dewi. Coba mama lihat sekarang, berapa banyak sudah kemenangan yang Dewi dapatkan? Kalau luka di arena pertandingan, itu kan hal biasa. Nanti, diobati sedikit juga sembuh. Sebenarnya, aku bukan takut nggak punya uang untuk makan. Aku sanggup tak makan berhari-hari. Tapi, aku nggak sanggup lihat Jana yang tidak bisa dibawa ke rumah sakit karena kekurangan biaya, Ma.

“Kondisi Jana semakin hari, makin memburuk. Aku tahu mama hanya memikirkan kebaikan untuk Dewi. Tapi, aku akan merasa sangat buruk kalau tak bisa berbuat apa-apa dan melihat adikku kesakitan. Lagian, hutang kita sama Om Lingga juga belum lunas. Mama tenang saja, Dewi akan terus menang dan menang.”

Di atas ring tinju, Dewi boleh menjadi singa hingga semua orang segan dan takut untuk bertanding dengannya. Namun di rumah, dia tidak pernah menunjukkan dirinya adalah seorang petinju. Dia adalah sosok yang sangat penyayang, terlebih pada adik satu-satunya yang sering sakit-sakitan.

Dari penjelasan dokter, Jana mengidap kelainan jantung bawaan dari lahir. Sebelum papa bangkrut, Jana sering dibawa untuk melakukan medical check terhadap penyakit jantungnya. Hal itu sudah jarang dilakukan setelah semua harta benda kami habis satu persatu untuk membayar hutang kerugian papa.

Padahal Bu Mila menamai anaknya dengan nama Uttejana, dengan harapan anaknya akan seperti Putri Uttejana, anaknya Raja Gajayana yang memiliki jiwa kepemimpinan dan tangguh. Siapa sangka, ternyata Jana menjadi tangguh dalam menghadapi penyakit yang kian lama semakin menggerogoti badannya.

 

“Ma, aku pergi, ya.” Suara teriakan Dewi menggelegar ke seluruh isi ruangan. Tak hanya penghuni rumah yang dapat mendengarkan, para tetangga di sebelah juga sudah hafal betul dengan jadwal teriakan Dewi tiap minggunya.

Lihat selengkapnya