“Sudah mama bilang, kamu nggak usah ikut tinju lagi. Lihat sekarang? Kalau sudah terbaring di rumah sakit begini, kamu bisa apa, Nak? Pokoknya setelah keluar dari rumah sakit ini, kamu tidak boleh ikutan ‘tinju-tinjuan’ lagi.” Omelan Mama Dewi tak putus-putus terdengar di telinga. Beliau baru berhenti ketika ada pasien di sebelah yang memintanya untuk mengecilkan volume suara.
Harusnya aku melahirkan anak laki-laki saja, gumam Bu Mila merutuki diri sendiri.
“Sudah, Ma. Tenang dulu.. Biarkan anak kita istirahat sebentar. Dia baru saja sadar.” Memang Papa Dewi lah yang selalu membela dirinya kapan pun dan di mana pun.
Tak heran, kenapa Dewi sangat dekat dengan sang papa. Bahkan dirinya menjadi petinju berkat dukungan dan usaha papanya memasukkan dirinya ke tempat pelatihan tinju milik sahabat sang papa.
“Gimana bisa tenang, Pa? Lihat itu matanya, bengkak udah nggak kelihatan lagi bola mata. Tulang rusuknya juga patah, Pa…. Apa coba penyebabnya kalau bukan karena tinju semalam?” Seolah lupa dengan peringatan untuk tidak berisik, Bu Mila terus saja membuat baris-baris kalimat omelan.
“Aku nggak apa-apa, Ma. Dewi baik-baik saja. Paling istirahat sebentar sudah pulih lagi,” ungkap Dewi sambil menggenggam tangan mamanya dengan penuh harap. Dia tidak ingin berhenti dari tinju. Karena tinju sudah dianggap sebagai separuh hidupnya.
Cita-cita Dewi adalah menjadi petinju hebat yang bisa membuat semua orang bangga padanya, tak memandang rendah dia dan keluarganya, dan membawa keluarganya ke dalam kehidupan yang senantiasa cukup, tak perlu berhutang lagi, tak perlu dikejar-kejar penagih hutang lagi.
Mendengar tutur kata dari anak bungsunya, Bu Mila malah langsung keluar dari kamar inap putrinya. Bukan apa-apa, air mata yang dari tadi terbendung di pelupuk mata sudah tak sanggup dia tahan lagi. Semuanya jatuh begitu perempuan baruh baya itu terduduk di bangku lobi rumah sakit.
Perasaan Bu Mila sakit seolah-olah sudah tercabik-cabik melihat darah dagingnya sendiri terbaring di atas kasur rumah sakit dengan wajah babak belur. Dia menggigit bibirnya sekeras mungkin agar orang yang berlalu lalang tidak mendengar isaknya.
Jika boleh jujur, Bu Mila merasa sudah hampir putus asa menghadapi hidupnya. Kebangkrutan sang suami benar-benar membuat hidupnya berubah 180 derajat. Semua hilang, lenyap dalam sekejap. Dia bertahan dan terus bertahan. Demi anak-anaknya yang masih membutuhkan dirinya.
Anak sulung yang sering sakit-sakitan membuat Bu Mila sering menangis dalam kesendirian tanpa ada yang tahu, kecuali suaminya. Dia berusaha tegar di depan anak-anak dan mengeluarkan omelan-omelan khasnya. Tidak ada tujuan lain selain supaya air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya.
Setelah merasa tenang, Bu Mila masuk ke dalam ruangan untuk berpamitan. “Jana di rumah sendirian. Mama pulang saja, ya. Kamu di sini ditemani papa saja.” Ke dua anggota keluarga itu mengangguk tanda mengerti perkataannya. Malam sudah larut, tidak ada lagi transjogja yang bisa dinaiki. Terpaksa Bu Mila memesan ojek online.
Tak membutuhkan waktu lama di perjalanan. Jalanan di malam yang sudah larut memang lebih lenggang. Untung saja saat ini sedang tidak musim klitih[1] ataupun begal. Bisa-bisa Bu Mila yang rumahnya harus masuk ke gang akan menjadi sasaran empuk para pelaku klitih.
“Assalamualaikum. Jana, Mama pulang, Nak.” Meskipun tahu anaknya sudah tertidur pada pukul segini, Bu Mila tetap pergi ke kamar putri sulungnya untuk sekedar melihat kondisinya, mengucapkan selamat tidur yang terlambat.
Derit pintu tua sedikit memecah keheningan membuat orang yang membukanya semakin berhati-hati. Namun, alangkah terkejutnya saat mendapati putri sulungnya itu sedang menahan sesak napas sambil terus memegang dada.
“Ja-na?!” teriak sang ibu lantas berlari ke arah putrinya.
“Ma-ma … dada Jana sesak se-ka-li.” Jana berusaha mengatur pernapasan yang seolah-olah terputus-putus itu dengan sebaik mungkin. Dunia ini seakan pelit oksigen terhadapnya, sehingga dia harus menghemat untuk bernapas setiap detiknya.
“Bertahan, ya, Nak. Mama minta pertolongan ke tetangga dulu, biar kamu i=bisa dibawa ke rumah sakit.” Tanpa menunggu persetujuan Jana. Bu Mila langsung berlari ke luar rumah sambil sesekali berteriak minta tolong.