Ini adalah hari baik bagi Dewi dan keluarganya. Setelah seminggu dirawat di rumah sakit pasca operasi, Jana sudah diperbolehkan untuk rawat jalan. Dua minggu belakangan ini keluarga itu terasa seperti sedang tinggal di rumah sakit. Tidur, mandi, makan, segalanya mereka lakukan di rumah sakit. Hanya mencuci baju yang menjadi alasan mereka untuk pulang ke rumah.
“Nak, Mama urus administrasi rumah sakit dulu. Papa carikan taksi. kamu tolong bantu beres-bereskan barang Jana.” Sebenarnya tidak banyak lagi barang yang harus dibereskan. Saking senangnya, Dewi sudah mengepak barang-barang sedari subuh. Dia sudah tak sabar membawa pulang adiknya ke rumah.
“Kak, maafin aku ya. Gara-gara aku, semuanya jadi susah, dan sedih. Coba aja kalau aku nggak ada, kalian semua nggak akan kesusahan. Jana cuma jadi beban keluarga, Kak.” Sambil memasang senyum, beberapa rintik air mata jatuh membasahi pipi Jana.
Dewi menghentikan aktivitasnya merapikan ruangan inap itu. Dia menatap mata adiknya lekat-lekat dengan ekspresi marah. “Jana! Sekali lagi kamu ngomong kek gitu, Kakak bakal marah besar.”
Langkah cepat diambil Dewi mendekati sang adik untuk mendekapnya erat. “Hei … Kakak, Mama, sama Papa itu nggak pernah nganggap kamu tuh beban. Kami sayang banget sama kamu. Apa pun bakal kakak lakuin buat kamu. Apapun, Jana!” ucap Dewi sambil menggenggam erat bahu Jana.
Mata yang semakin berkaca-kaca akhirnya tak bisa tertahankan lagi. Suara tangisan Jana semakin besar saat Dewi lebih mengeratkan pelukannya. Tidak hanya memiliki fisik yang rapuh dan sensitif, tapi Jana juga memiliki hati yang lebih lembut dan begitu sensitif.
“Pokoknya kalau kamu ngerasa sakit, atau apa … kabarin kami, oke?” Dewi melepaskan pelukannya dan menatap mata sang adik lekat-lekat. Jana hanya mengangguk sambil mencoba menyunggingkan senyum terbaiknya.
“Kak Dewi juga nggak boleh sakit, ya. Kakak harus menang di semua pertandingan. Pokoknya Jana dukung cita-cita kakak menjadi juara tinju dunia. Meskipun kadang aku juga khawatir seperti Mama, tapi aku percaya kalau kakakku ini pasti tak terkalahkan.” Dewi memberikan senyum unjuk giginya saat mendengar kata-kata sang adik. Ya, Jana adalah salah satu alasan Dewi masih bertahan di ring tinju meski sang ibu telah berkali-kali melarang.
Sejak keluarga mereka pindah ke Jogja dari Bekasi, Dewi berjanji pada diri sendiri untuk membantu meringankan beban keluarga bagaimana pun caranya. Ya, meskipun saat berada di bangku kelas dua SMA dia dikeluarkan dari sekolah itu karena menghajar teman sekolahnya. Bagaimana tidak, para murid-murid di sana sering tak bisa mengontrol mulut mereka menggunjing dan mengejek keluarga Dewi.
“Keluarga penipu, anak koruptor, adiknya sakit-sakitan akibat karma, dan lain-lain.” Setidaknya itulah beberapa julukan yang sering didengar oleh Dewi. Bukan seorang Prameswari Mahadewi namanya kalau dia seorang yang sabar. Dewi memiliki temperamen yang tinggi jika bersangkutan dengan keluarganya. Tak ada yang boleh mengusik kehidupannya dan keluarganya.
Setelah bangkrut dan kehilangan segalanya, keluarga Pak Budi terpaksa tinggal di rumah paman, kakak lelaki Bu Mila. Pak Budi adalah anak tunggal, dia tak memiliki kerabat dekat yang dapat dimintai tolong untuk menumpang hidup. Pilihan terakhir tertuju pada Hermanto, kakak lelaki Bu Mila yang tinggal di Yogyakarta.
Namun, bukannya kehidupan mereka menjadi sedikit membaik. Keluarga Pak Budi selalu mendapat sindiran dari Pak Herman karena dianggap menjadi beban keluarga. Selain itu, segala sesuatu yang telah diberikan oleh sang paman dianggap sebagai hutang olehnya. Makanya, hingga sekarang keluarga Pak Budi masih saja terjerat hutang dengan Pak Herman karena bunganya yang tak habis-habis.
“Kalian sudah selesai beres-beres? Taksinya sudah di depan.” Pak Budi muncul dari balik pintu kamar inap dengan suara terburu-buru.
“Udah, Pa,” jawab Jana, bangkit dari tempat tidur sembari dipapah oleh Dewi menuju keluar dari rumah sakit