“Kita sambut, penantang dari pojok kiri saya … Laila! Petarung hebat dari Jawa Timur. Dan penantang dari pojok kanan, julukannya adalah ‘Queen Boxing’! Siapa lagi kalau bukan Mahadewi!”
Tepuk tangan yang gemuruh dari para penonton mengalahkan suara nyaring dari komentator yang sedang mengenalkan petarung-petarung di babak penyisihan ini.
Pagi itu Balai Sarbini, Jakarta Selatan dipadati oleh para penonton yang tak sabar ingin menyaksikan pertandingan tinju profesional wanita. Babak ini akan menentukan siapa yang akan berdiri untuk tahap selanjutnya sebagai perwakilan untuk mengikuti tinju profesional tingkat internasional.
Seorang petinju memang sudah sadar bahwa mungkin saja detik-detik mereka sebelum naik ke atas ring merupakan saat-saat terakhir untuk mereka. Tak jarang ada petinju yang mati di atas ring. Setidaknya jika tidak mati, mereka akan membawa pulang oleh-oleh riasan di wajah.
Tepuk tangan semakin bergemuruh ketika bel tanda pertandingan dimulai. Kedua petarung itu sedang mengambil ancang-ancang sebelum melayangkan pukulan andalan masing-masing.
Masih sangat membekas dengan jelas, dua tahun yang lalu. Saat Dewi dikalahkan oleh lawan yang akan dihadapi kali ini. “Pak, aku betul-betul minta maaf kalau kali ini nggak menang.” Dewi dengan raut wajah gugup mencoba menenangkan diri sebelum masuk ke dalam ruang timbangan berat badan.
“Wi! Kamu yang hari ini bukanlah kamu yang kemarin. Berhenti merendahkan diri. Kita sudah berlatih berhari-hari untuk ini. Jangan kecewakan pelatihmu ini.”
Pak Dani selalu menyemangati anak didiknya itu. Meskipun dia sendiri juga sedikit ragu kali ini. Benar saja, siapa yang tak ragu menghadapi lawan yang pernah mengalahkanmu di pertandingan sebelumnya? Bahkan, nyamuk saja tak akan kembali ke kulit yang sama setelah kena tepuk.
“Heh, kamu pasti bisa, Wi. Kalau berhasil, dikit lagi kita akan berangkat ke Manila bulan depan. Hadiahnya nggak main-main lho, Wi.” Ucapan yang menggiurkan itu memang tak pernah salah dilontarkan oleh Wila. Dia tahu betul, petinjunya itu akan kembali berapi-api mendengar tentang uang.
Setelah insiden pertarungan ilegal di black house demi uang operasi sang adik, Dewi bekerja lebih keras untuk membayar hutang. Semua orang di sekitar Dewi tahu kalau perempuan itu melakukan banyak pekerjaan paruh waktu di luar jam latihannya.
Mulai dari kerja serabutan di pasar, menjadi penjaga kasir di toko kelontong, dan lain-lain. Setidaknya itu yang bisa dilakukan dengan hanya bermodalkan tenaga dan ijazah SMP. Ya, meskipun Dewi hanya bekerja pada keadaan tertentu saja. Bagaimanapun juga, sebagai seorang petinju, ada saatnya dia memiliki cukup uang saat keluarganya tidak memiliki masalah apa-apa.
Dewi berharap-harap cemas sambil menunggu di ruang ganti atlet. Sesekali Wila masuk untuk berbicara atau menanyakan kebutuhan Dewi.
“Aku Oke, Bu Manajer. Lo nggak usah sering-sering ke sini. Ntar gosip kita berdua bisa menyebar di Jakarta. Udah cukup di Jogja aja tuh gosip.” Gelak tau mengisi ruang ganti kosong itu.
Siapa yang tak tahu dengan gosip yang sangat terkenal di kalangan petinju itu? Sepertinya seluruh masyarakat Yogyakarta sudah tau kalau Dewi adalah seorang lesbian. Ya, Dewi digosipkan berkencan dengan manajernya sendiri.
Mereka sering bersama, sering berduaan, terlebih lagi Dewi yang tak pernah terlihat sekalipun membicarakan lelaki idaman. Sebenarnya awal mula gosip itu adalah Ketika Rio tak sengaja mengganggu Dewi yang saat itu sedang bercanda dengan Wila. “Hati-hati kalian sering berduaan, ntar saling suka. Atau kalian emang sebenarnya pacaran di belakang kami semua?” Begitulah Rio: teman yang sangat senang mengusili teman berlatihnya.
“Haha. Pokoknya 15 menit lagi kamu harus stand by di pintu masuk ring ya, Sayang,” ucap Wila sambal berlalu dari ruang ganti.
“Oy!” teriak Dewi yang tak digubris oleh sang manajer. Untung saja tidak ada orang di ruang itu. Bisa-bisa nama julukan yang dimiliki Dewi semakin bertambah, menjadi Sappho Lesbos, si Dewi kesenian yang menyukai sesama jenis.
15 tidak terasa karena kegugupan yang dirasakan si petarung itu. Dia memakai jubah tinju, pergi menuju ambang pintu di mana dia akan melihat sorak sorai orang-orang yang mendukungnya.
Bintang-bintang bertaburan di atap Balai Sarbini dengan gema riuh suara penonton. Kilat-kita dari kamera para wartawan sesekali terlihat. Meskipun pada saat pertandingan dimulai, no flash kamera yang diizinkan oleh penanggung jawab.
Dengan percaya diri, seorang wanita, lawan tanding Dewi muncul dari ambang pintu yang sama menuju ring. Suara gemuruh penonton lebih banyak. Para penonton tahu kalau Dewi pernah dikalahkan oleh Laila. Seorang Laila, petarung dari Jawa Timur itu telah meng-KO 15 orang dalam 20 pertandingan. Hanya satu kali kekalahannya dari seluruh pertandingan yang pernah dimilikinya. Meskipun baru terjun di dunia tinju profesional, dia patut diwaspadai sebagai lawan.
Para petaruh itu mulai mengumpulkan uang-uang mereka, berharap jagoan mereka benar-benar akan memuat mereka membawa pulang beberapa peser uang. Benar saja, lebih dari setengah pejudi itu bertaruh untuk Laila.
Laila!