“Rad, lo mau manggung di kafe Pak Juno, nggak?” Kegiatan mengunyah sarapan di dapur berhenti sejenak. Mereka berdua saling bertatap-tatapan. Keadaan dapur yang sepi dan hening, hanya diisi oleh bunyi tik-tik air yang jatuh dari kepala keran wastafel.
“Beneran, Mas? Kemarin katanya di kafe itu nggak ada panggung buat stand-up. Lha?” tanya Radi meneruskan memasukkan nasi ke mulut dengan tangannya perlahan.
“Awalnya sih nggak ada. Tapi, semalam Pak Juno berubah pikiran. Kayaknya kalau ada stand-up comedy asyik juga tuh kafe.”
Kafe milik Pak Juno memang memiliki panggung kecil. Namun, biasanya panggung itu diisi dengan musik ataupun penampilan seputar kekoreaan. Memang kebanyakan pengunjung lebih menikmati dengan adanya panggung musik daripada yang lain. Hanya saja, pemilik kafe itu sepertinya tertarik dengan pertanyaan yang diajukan Radi untuk penampilan stand-up comedy-nya.
“Nanti gue ada sif malam. Lo hubungin gue aja pas sampe di kafe yak,” sambung lelaki Jakarta itu dengan logat Jaksel-nya.
“Shap Bosque!” jawab Radi dengan antusias sambal memeragakan gaya hormat bendera dengan tangan yang dipenuhi nasi.
Meja dapur itu hanya meninggalkan Radi yang masih mengunyah sarapannya secara perlahan. Teman makannya sudah beranjak dari tempat, pergi entah ke mana.
Usai menyelesaikan sarapan, Radi bergegas masuk ke kamarnya mempersiapkan materi untuk nanti malam. Ini memang permintaan yang sangat mendadak. Biasanya komika itu mempersiapkan materi minimal tiga hari sebelum acara.
Hmmm … aku bawa materi apa ya nanti malam? gumam Radi sambil mencari pena yang akan digunakan untuk menulis.
Kamar berwarna kuning muda, dengan beberapa poster Doraemon dan Sinchan itu hanya diisi oleh Radi seorang diri. Kipas angin yang sudah berumur dengan suara khasnya terus saja berputar-putar mendinginkan ruangan persegi itu.
“Argh! Aku ora iso. Piye iki, otakku buntu tenan!” teriak pria dengan kacamata itu sambil menjambak rambut frustrasi, mencoba untuk mengatur napas. Radi mengambil ponselnya, menonton pertunjukan-pertunjukan stand-up comedy dari para komika terkenal.
Sesekali lelaki itu menuliskan beberapa ide yang muncul di benak, memodifikasi, lantas berlatih. Tak heran, berkali-kali Radi tertawa terbahak-bahak dengan humor yang dibawakan oleh komika yang sedang ditonton.
“Untung rating sepak bola di Indonesia selalu tinggi. Soalnya biasanya kalau di Indonesia, kebiasaan kalau ratingnya rendah ada gimik-gimik drama nggak jelas. Contohnya nih, Drogba lagi mau sepak penalty. Eh, ada wasit yang bilang ‘Bagaimana perasaan kamu ditonton oleh seluruh keluargamu? Katanya kalau nge-gol, mau naikin bapak haji ya?’ sambil mengharu biru. Pas Drogba mau nendang, diambil bola sama wasitnya ‘Akankah Drogba berhasil?’”
“Ya Allah!” Tawa terbahak-bahak Radi pecah seketika mendengar materi komedi yang dibawakan oleh komika favoritnya, Ardit Erwanda. Dia memukul-mukul guling sambil berguling-guling di atas kasur. Mungkin sebentar lagi Radi akan salto di atas tempat tidurnya sendiri karena tak habis pikir dengan lucunya seorang Ardit Erwanda.
***
“Lo udah siap, Rad?” tanya Aldi memastikan kalau temannya itu siap untuk naik ke panggung sebentar lagi.
Radi hanya mengangguk tanda setuju sambil terus memakan gula merah yang dibawa dari rumah. Kebiasaan yang aneh itu memang sudah dia lakukan sejak pertama kali stand-up di panggung besar, di luar kampusnya. Rasa gugup yang dirasakan dipanggung organisasi dengan panggung sebenarnya di dunia luar benar-benar berbeda.
Serpihan-serpihan gula merah mengotori kemeja flanel kotak-kotaknya. Segera saja Radi membersihkan sisa-sisa manisan itu tepat sebelum dia akhirnya dipanggil ke atas panggung.
“Anyonghaseo, Yeorobun!” Padahal sudah beberapa kali Radi melakukan pertunjukan di panggung. Namun, dia tetap saja gugup dan merasa kalau dirinya masih selalu memiliki kekurangan.
Materi-materi komedinya mulai diulas satu persatu. Tak disangka, malam itu suasanya kafe Korea itu cukup ramai. Ada satu kerumunan yang sepertinya sedang membuat perayaan di sana.
“Yeaay!” Suara teriakan dan tepuk tangan yang cukup nyaring itu membuat Radi terkejut dan berhenti sebentar memperhatikan kelompok itu. Dia merasa sedikit jengkel karena mengganggu pertunjukannya.
Tak mau kalah, Radi memperbesar suara yang lemah lembut orang Jawa tersebut menjadi dua oktaf lebih tinggi. Sejenak perhatian penonton kembali lagi ke arahnya. Sekitar 10 menit, akhirnya Radi menyelesaikan materi lawakan yang sudah dipersiapkan dari pagi tadi.
Gemuruh tepuk tangan mengisi kafe Korea itu. Pak Juno yang kebetulan sedang berada di tempat itu mengacungkan dua jempolnya ke arah Radi.