Pagi yang benar-benar melelahkan. Seorang kakak yang sedang merawat sang adik di rumah sakit itu baru bisa tertidur pukul empat dini hari tadi. Sedangkan kedua orang tuanya diminta untuk beristirahat di rumah saja.
Berkali-kali Dewi mencoba untuk memejamkan kedua matanya. Namun, dia sering merasa cemas jika tiba-tiba Jana memanggil dan tidak ada yang mendengarkan. Berkali-kali rasa kantuk menyerang, berusaha tidur, akhirnya terbangun tiba-tiba. Benar-benar melelahkan tidur dengan perasaan khawatir.
Pukul enam pagi papa dan mama Dewi sudah tiba di rumah sakit, membawa beberapa peralatan yang dibutuhkan dan juga makanan untuk sarapan pagi.
“Kamu kelihatan kurang tidur, Nak. Pulang aja dulu, biar Jana kami yang temenin. Atau mau makan di sini dulu? Tapi, di rumah Mama masih tinggalkan sarapan buat kamu.” Bu Mila terlihat khawatir dengan kondisi putri sulungnya itu. Pasalnya, wajah Dewi benar-benar terlihat seperti zombi: lingkaran wajah yang hitam dan raut wajah lelah terpancar jelas.
“Aku pulang aja, Ma,” ucap perempuan 26 tahun itu sambal mengenakan hoodie miliknya. Sebelum beranjak keluar, Dewi mengelus kepada adiknya yang masih terlelap dalam tidurnya.
“Nanti aku ke sini lagi biar kalian bisa buka warung. Aku pulang dulu, Ma, Pa,” Ada tarikan dan hembusan napas berat yang berat keluar dari mulut Dewi sebelum beranjak keluar dari ruang inap itu.
Kondisi Jana semakin parah. Ternyata operasi yang dilakukan bulan lalu tidak berhasil mengobat penyakit jantung bawaan yang dimiliki oleh anak bungsu dari pasangan Pak Budi dan Bu Mila.
Menurut dokter yang semalam menangani Jana, opsi terakhir yang bisa dilakukan oleh keluarganya adalah pengobatan dengan cara transplantasi jantung. Artinya, harus ada donor jantung segar dan sehat untuk Jana.
Satu lagi masalah timbul di keluarga itu. Hampir mustahil mencari donor jantung di Indonesia. Jangankan jantung, dari berita yang beredar mencari donor kornea mata saja sangat sulit. Apalagi untuk donor jantung?
Sekarang Dewi harus bagaimana? Apa dia harus mengorbankan jantungnya sendiri?
Perlahan namun pasti, Dewi berjalan ke arah gerbang rumah sakit Dr. Sardjito. Setelah pemeriksaan semalam, Jana dipindahkan ke rumah sakit lain karena alasan yang tak sempat dimengerti oleh Dewi.
Kebetulan sekali, ada halte trans Jogja di seberang rumah sakit itu. Dewi segera merapat ke pinggir jalan untuk menyeberang. Tak banyak kendaraan yang berlalu Lalang di bawah pukul tujuh pagi. Biasanya yang memadati daerah itu adalah para mahasiswa, pedagang kantin, dan pegawai rumah sakit dan universitas.
“Mbak! Mbak yang semalam kan? Kok di sini?” Tiba-tiba sebuah Jazz hitam menepi tepat di depan Dewi berada. Kaca jendela spontan turun dan memperlihatkan pengemudinya.
“Adik saya dipindahkan ke sini semalam.” Tak ada senyum ramah tamah di muka perempuan yang sering adu jotos tersebut.
“Mbak mau ke mana? Mari saya antar aja,” tawar Radi sambal membuka pintu di sebelahnya. Sejujurnya dia sedang ada urusan untuk mengambil barang organisasinya sebelum satu jam lagi jam kelasnya tiba.
“Matur nuwun, Mas. Saya naik bus saja. Rumah saya jauh.” Tanpa memperbanyak basa-basi lagi, Dewi segera bergerak dari tempatnya hendak menyeberangi jalan itu.
Namun, Radi dengan sigap keluar dari mobil dan membujuk perempuan berambut keriting itu untuk menerima tawarannya.
Akhirnya Radi berhasil membujuk Dewi dan memutar balik mobilnya ke arah Godean. Lumayan jauh juga ya, alamatnya, gerutu Radi dalam hati. Sing penting ikhlas wae.
Hanya hening, tak ada obrolan apapun yang dibuka oleh ke duanya. Bagi Radi yang memang tipe manusia yang suka berbicara dengan orang-orang, keadaan di mobilnya saat ini benar-benar terasa canggung. Dia sendiri tak tahu harus memulai dengan pertanyaan atau pernyataan seperti apa.
“Oh ya, aku Radi. Kamu?” Radi yang sedang mengemudikan mobil, menjulurkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan orang yang bisa dibilang sebagai penumpangnya sekarang.
“Dewi,” jawabnya singkat dan tak mengacuhkan tangan dari lawan bicaranya itu. Matanya nanar ke depan menatap jalanan yang lenggang.
Dewi … Oke, ucap Radi pada dirinya sendiri dengan sedikit berbisik. Dia benar-benar diabaikan oleh orang di sebelahnya. Baiklah, anggap saja Radi sedang beralih profesi sebagai pengemudi taksi online.