Rasanya seperti ada kupu-kupu yang menari-nari di hati pemuda itu. Dia melupakan tugas kuliah yang tenggat waktunya tinggal dua jam lagi menjelang tengah malam.
Usai salat isya, pikiran Radi terus saja tertuju pada perempuan yang diantarnya tadi pagi. Selama tiga jam itu pula, lelaki itu tidak beranjak dari kasur dan terus menatap langit-langit kamar yang dicat putih.
Layar ponsel hanya digulir dengan jempol tangannya menelusuri beranda Tiktok miliknya selama tiga jam. Sesekali dia beralih ke sebuah kontak yang baru disimpannya. Tertuliskan nama ‘Dewi si Petarung Tangguh’. Ya, selama tiga jam itu Radi hanya memikirkan tentang Dewi.
Dewi yang membuatnya menyesal tentang cara pikirnya terhadap petinju wanita. Dewi yang sangat tangguh dalam menghadapi masalah hidupnya. Dewi yang sangat menyayangi adiknya.
Meskipun Radi sendiri sadar, dia baru bertemu dengan Dewi dua kali. Namun, lelaki itu seolah sudah paham dengan cerita hidup dan perasaan petinju itu: dari sorot matanya. Dewi memang terlihat garang dari luar, tapi perempuan itu begitu rapuh di dalamnya. Selalu saja meluapkan emosinya pada samsak tinju.
Sebenarnya bukan tipe seorang Radi Mahendra, cewek kasar dan terpaut umur lima tahun lebih tua dari dia sendiri. Perasaan itu tiba-tiba saja muncul sendiri. Dari rasa kasihan, kagum, dan mungkin sebentar lagi berubah menjadi … sayang? Tidak ada yang tahu tentang hati. Allah Maha membolak-balikkan hati manusia.
“Rad, mabar yok!” Ucup mendadak masuk ke kamar di mana pemiliknya masih saja termenung menatap layar ponsel.
“Radi. Buruan! Udah ditungguin sama anak-anak tuh di atas. Hayuk.” Tanpa fafifu lagi, Ucup menarik baju Radi membawa temannya itu ke kamar Jaka yang berada di lantai atas.
Benar saja, di dalam kamar itu sudah berkumpul tiga pasukan yang sudah siap untuk bertarung melawan kejahatan. “Lama banget kamu, Rad!” gerutu Agung yang sedari tadi sudah mengambil posisi wenak dekat kasur.
“Udah lengkap semua nih. Yok mulai!” Aldi sebagai penghuni kos yang paling tua mencoba menenangkan suasana dan memimpin keadaan. Dengan antusias, mereka berlima mengambil ponsel masing-masing dan bersiap-siap memulai pertarungan.
Benar saja, Radi benar-benar sudah melupakan tugasnya yang memiliki tenggat satu jam lagi. Laptop yang sepertinya masih tetap menyala di dalam kamar dibiarkan saja tanpa disentuh sedikit pun sejak pertama kali dihidupkan.
Suasana di kamar Jaka benar-benar sudah seperti stadion olah raga. Semuanya berteriak geram saat sedang bermain. Sudah dua kali Bu Ratih naik ke lantai atas untuk menyuruh mereka untuk tidak terlalu berisik. Namun, begitulah kalau anak laki-laki dilarang. Semakin dilarang, semakin menjadi-jadi.
Di tengah-tengah permainan ronde ke dua, Radi membicarakan tentang perempuan yang ditolongnya semalam. “Kayak e aku suka karo cewek iku.”
“Seh … kawan kita udah puber, Cup. Dari dulu nolak kalau kita jodohin. Eh, sekarang baru ketemu sekali langsung nyantol,” goda Aldi sambil menyenggol bahu Radi dengan bahunya.
“Yang mana sih orangnya?” tanya Ucup penasaran. Kemudian Radi berhenti sejenak, memperlihatkan sebuah foto yang diambilnya menggunakan kamera ponsel secara diam-diam saat makan nasi kuning tadi pagi.
Mata Jaka dan Ucup melongo seolah hampir keluar melihat seorang wanita yang sangat tidak asing bagi mereka berdua. “Itu kan Dewi!” teriak keduanya bersamaan.
“Siapa? Dewi yang pernah kita nonton gebuk-gebukan itu?” sambung Agung yang penasaran mendengar obrolan teman-temannya. Jaka dan Ucup kompak mengangguk.
“Wah, kamu Rad. Katanya nggak minat sama cewek bar-bar. Sukanya yang lemah lembut. Cewek kan nggak boleh kasar-kasar.” Jaka mulai menggoda Radi, disambung dengan Ucup. Agung yang masih bingung dengan jalan pikiran Radi pun ikut menambahkan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan temannya itu.
“Ya, ini tuh beda. Aku baru ketemu dua kali. Tapi, yo aku wes ngerasa piye ngono lho. Ono sesuatu yang bedo yang ngebuat aku tertarik,” kilah Radi menceritakan pertemuan antara dirinya dan Dewi.